JIKA ingin merangkum kehidupan masyarakat Provinsi DIY dalam satu tembang, lirik Miskin tapi Bahagia yang acap dilantunkan orkestra dangdut pantura selayaknya bisa jadi pilihan. Tercatat sebagai provinsi dengan rerata pendapatan sekaligus upah minimum regional terendah, sekaligus prosentase tingkat pengangguran terbuka dan harga tanah tertinggi di Pulau Jawa versi Badan Pusat Statistik (BPS), data itu membawa setiap analis pada satu kesimpulan: Yogyakarta miskin.
Tapi dalam segala keterbatasan itu, tak membuat masyarakat berhenti menggoyangkan pinggulnya dan menepuk kendhang layaknya kebahagiaan dalam konser dangdut. Masyarakat tetap bertahan hidup dan cukup, tanpa merasa kekurangan walau tak pula berlebih. Serta yang paling penting: bahagia. Atas melimpahnya hasil bumi Yogya yang mengerek naik daya beli, dan kehidupan sebagai warga daerah istimewa yang masih memegang teguh filsafat jawa dalam perlindungan Gubernur sekaligus raja tercinta. Sehingga angka usia harapan hidup DIY yang berada di angka 73,62 tahun, bisa jadi bukti bahwa warga Yogya hidup miskin, namun bahagia.
Setidaknya, demikianlah yang diungkapkan Octo Lampito MPd, Pemimpin Redaksi SKH Kedaulatan Rakyat, dalam merefleksikan kondisi Yogya terkini dan bagaimana vokasi UNY di masa mendatang. Menilik kehidupan masyarakat Yogya dan memberdayakannya, sembari tetap mempertahankan kebahagiaan yang telah lama terpancar dalam ragam rintangan.
“Jadi (ketika mendengar) UNY akan buka vokasi, saya nyes (tersentuh) gitu. Sehingga bagaimana vokasi bisa mendukung pengentasan kemiskinan, Ini bisa jadi lompatan,” harapnya dalam Diskusi Pendidikan di Ruang Sidang Utama Rektorat UNY, Senin (05/06/2017).
Potensi Prodi Baru: Jurnalistik hingga Pertanian
Data tenaga kerja Indonesia dengan kualifikasi pendidikan tinggi sebesar 11,01% kemudian terketuk dengan rencana ini. Beragam angan tentang program studi baru terbuka jalannya dengan keberadaan Sekolah Vokasi UNY yang direncanakan mulai beroperasi tahun depan. Dalam upayanya mengentaskan kemiskinan masyarakat, yang acap terikat gaji rendah karena ketiadaan kompetensi.
Perhotelan, pariwisata, desain interior, dan beberapa prodi lainnya, kemudian menjadi beberapa yang ada di benak Rektor UNY, Prof. Sutrisna Wibawa, akan terbentuk ketika Sekolah Vokasi telah berdiri. Termasuk, kompetensi jurnalistik dengan mengundang dosen dari media massa, sekaligus magang dan jika dimungkinkan kerjasama rekruitmen di media massa, ia mengharapkan program studi ini bisa jadi langkah konkret UNY mendekatkan diri pada dunia industri.
“Jadi kita akan perjuangkan. Termasuk surat keterangan pendamping ijazah bahwa siswa kita yang ada di jurusan itu punya keahlian yang dibutuhkan. Pernah magang dan bisa menulis jurnalistik,” tekan Sutrisna.
Kerjasama serupa di bidang jurnalistik sebelumnya pernah berlangsung dengan Akademi Komunikasi Yogyakarta (AKY). Dimana pendidikan jurnalistik yang digelar di kampus tersebut, mengundang pengajar dari media, dan menjalin kesepakatan magang dengan perusahaan media.
“Kami (Kedaulatan Rakyat) sempat bekerja sama beberapa tahun. Tapi sudah lama, bukan saat saya menjadi pemimpin redaksi. Saya hanya pernah ngajar disana dan karena kooperasi tersebut akhirnya ada beberapa wartawan KR yang alumni sana,” ungkap Octo.
Potensi prodi baru dalam mengentaskan kemiskinan, juga terletak dari bagaimana vokasi bisa berperan dalam menyukseskan program pemerintah. Program pembukaan lahan satu juta hektar di Papua misal, akan membutuhkan tenaga kerja di bidang pertanian yang cukup masif. Sehingga vokasi UNY kedepan bagi Sutrisna, harus berperan lewat pengembangan prodi yang berkaitan dengan kebutuhan tersebut. Terlebih lagi dengan status UNY yang memiliki program kerjasama beasiswa juga dengan Papua, memberikan kampus ini keleluasaan dapat secara langsung memberi putra putri daerah keahlian konkret.
“Seperti misal meneguhkan poros maritim dalam menilik program Nawacitanya Pak Jokowi, ya pertanian. Karena memang kalau kelautan dan perkapalan di Yogya kok ya kurang cocok,” tekan Sutrisna.
Walaupun, membuka program studi ini juga tidak mudah. Octo menyatakan siapapun yang membuka program studi pertanian mengemban tugas berat untuk melawan dan stereotip masyarakat. Pandangan negatif yang acap menganggap prodi pertanian sebagai kelas dua karena harus kerja di sawah membawa pacul, ditengah kebutuhan teknologi pangan negeri ini yang terus meningkat seiring waktu. Hal tersebutlah yang akhirnya membuat Indonesia sebagai negara maritim, kekurangan tenaga ahli pertanian dan hingga kini belum bisa swasembada pangan.
“Sehingga, ini juga termasuk cara kita ikut membangun Indonesia dari Timur. Ini peluang yang harus kita ambil dengan bekerja sama dengan pers. Menyebarkan informasi kepada masyarakat untuk kemajuan pendidikan,” ujar Prof. Widarto, Dekan Fakultas Teknik UNY.
Penuhi Kebutuhan Lokal
Yang juga menjadi penekanan dalam pembangunan vokasi, bagi Sutrisna, adalah bagaimana sekolah ini nantinya bisa berperan dan menjadi tuan di tanahnya tersendiri. Ditengah mulai terbukanya tenaga kerja asing masuk ke Indonesia dan Masyarakat Ekonomi ASEAN yang berada di depan mata, kebutuhan pekerjaan di dalam negeri setidaknya harus Indonesia penuhi. Tak terkecuali Yogyakarta yang akan menghadirkan ragam potensi dalam pembangunan bandara internasional baru Kulonprogo
“Jadi nanti bandara internasional baru Kulonprogo pastilah butuh pekerja infrastuktur. Disitulah nanti akan kita per banyak kuota D3 teknik sipil. Juga diploma manajemen transportasi, pembangunan wilayah, maupun pariwisata dan prodi-prodi lainnya,” ungkapnya.
Keterlibatan UNY dalam pengembangan Yogyakarta bagi Sutrisna penting, karena selain dalam rangka mengentaskan kemiskinan, upaya ini juga dilakukan sebagai langkah membangun Kulonprogo tanpa meninggalkan nilai luhur khas Yogyakarta. Karakter lokal berbasis filsafat Jawa yang direfleksikan dalam kehidupan perkuliahan di UNY, diiringi dengan pemupukan karakter berbasis ketaqwaan dan kecendikiaan, akan membangun Yogyakarta bukan hanya fisik semata.
“Tapi bagaimana pembangunan Yogya bisa jadi hamemayu hayuning bawana, membangun Yogyakarta lahir dan batin, kita harus turut serta memikul tugas ini, ” harapnya.
Selain itu, UNY juga harus mengambil peran dalam mengembangkan potensi lokal para mahasiswanya yang datang dari penjuru Indonesia. Selama ini, banyak pelajar yang tidak kembali ke daerah asalnya dan memilih menetap di kota untuk mencari nafkah. Padahal menurut Putut Wiryawan, Pemimpin Redaksi Harian Bernas, urbanisasi semacam ini juga tidak baik bagi tumbuh kembang kota. Menyebabkan harga hunian dan tanah terkerek naik, serta jalanan menjadi semakin macet.
“Yang kalau mau kita akui, universitas berperan dalam proses urbanisasi ini. Memberikan keahlian yang pangsa kerjanya ada di kota. Membuat mereka jarang pulang ke daerah kecuali mudik lebaran,” ungkapnya.
Kedepan, vokasi UNY harus mencari tahu keahlian konkret apa yang dibutuhkan untuk membangun desa. Terlebih lagi, peluang terbuka lebar dengan adanya dana desa dari pemerintah pusat dan keberadaan Badan Usaha Milik Desa.
“Jadi jawaban saya sangat simpel. Dari Yogyakarta-lah, Indonesia dulu dibangun. Sebagai ibukota, sebagai penyumbang dana pemerintah, dan sebagai pendidik pemikir-pemikir bangsa lewat kampus kampus kita. Dan kini itu harus diulang, dengan mendidik anak-anak bangsa untuk kita kirim ke desa,” pungkas Putut
No Responses