Herjuno Penjaga Harmoni Tanah Mataram
Rony K. Pratama
“Raja Yogya mendapat gelar kehormatan Doktor Honoris Causa dari Universitas Negeri Yogyakarta. Dia spesifik memperoleh gelar tertinggi di bidang akademik itu dalam bidang Manajemen Pendidikan Karakter Berbasis Budaya”
Ruang Auditorium, UNY, kedatangan tamu istimewa. Raja Yogya beserta keluarga besarnya telah duduk di barisan pertama. Hari itu, Kamis, 5 September, nama asli Sri Sultan Hamengkubuwana X, Bendara Raden Mas Herjuno Darpito, mendapat anugerah Doktor Honoris Causa dari Universitas Negeri Yogyakarta. Pemberian itu merupakan Doktor HC Herjuno yang ketujuh. Sebelumnya mendapat gelar serupa dari University of Tasmania, Australia (2015), University Tun Hussein Onn, Malaysia (2013), University of Meliksyah, Turki (2013), ISI Yogyakarta (2013), UGM (2011), dan Hankuk University of Foreign Studies, Korea Selatan (2011).
Tiap Doktor HC yang dia sabet, menunjukkan betapa kiprahnya turut diperhitungkan matang. Bukan hanya level nasional, melainkan internasional. UNY sendiri menganugerahkan sultan di bidang Manajemen Pendidikan Karakter Berbasis Budaya. Suatu pemberian yang relevan bagi rekam jejaknya, selain sebagai raja, dia juga ikut serta merumuskan praksis kebudayaan melalui pendidikan karakter. UNY sendiri telah lama menjadi poros sekaligus perumus paling aktif wacana pendidikan karakter di Indonesia.
Sutrisna Wibawa, Rektor UNY, menegaskan, “Lahirnya Kurikulum Berbasis Budaya melalui Dinas Pendidikan Provinsi DIY, berdirinya Akademi Komunitas, munculnya desa-desa budaya dan para pendampingnya, pemberian penghargaan seni dan budaya secara periodik kepada seniman dan budayawan DIY, dan berbagai macam aktivitas seni budaya lain yang tak terhitung jumlahnya di DIY. Semuanya menunjukkan bahwa selaku Gubernur DIY, Sri Sultan HB X tidak hanya bernarasi tentang pentingnya budaya sebagai basis pendidikan karakter, tetapi melaksanakannya.”
Herjuno sendiri dilantik menjadi Gubernur DIY tahun 1998. Pertama kali dinobatkan dia lekas mempraktikkan pesan luhur ilmu iku kalokane kanthi laku. Dia melampaui narasi teoretis dengan menyodorkan sejumlah konsep praksis. Terlebih, sebagaimana tuturan Staf Ahli Gubernur DIY Bidang Hukum, Pemerintahan, dan Politik Umar Priyono, bahwa sultan itu paham betul esensi kebudayaan. “Sultan memahami inti kebudayaan sebagai pendidikan karakter, sehingga penganugerahan tersebut sangat tepat,” jelasnya.
Dalam naskah orasi ilmiahnya, Herjuno merumuskan pendidikan ala Yogyakarta. “Pendidikan ke-Yogyakarta-an ini berbasiskan filsafat Hamêmayu-Hayuning Bawânâdengan menginduk pada nilai-nilai harmoni. Dengan begitu paradigmanya adalah humanisme yang berorientasi pada Jalmâ kang Utâmâ.Saya kira kemudian etos atau kredonya adalah Jiwa Satriyâ,” ungkapnya.
Sultan dalam buah pemikirannya itu memberi rumusan alternatif bagi konsep pendidikan di Indonesia. Dia menandaskan kalau itu merupakan upaya sistemik atas manifestasi PP. No. 38 Tahun 2017 tentang Inovasi Daerah. “Jika telah mendapat rekomendasi dan persetujuan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI, yang materinya dapat direplikasi, didiseminasikan untuk menjadi inspirasi provinsi lain sesuai kondisi eco-systembudaya setempat. Di sinilah posisi pendidikan khas ke-yogyakarta-an dalam perspektif Indonesia,” lanjutnya.
Pemilik nama takhta Ngarsa Dalem Sampeyan Dalem ingkang Sinuwun Kangjeng Sultan Hamengku Buwana Senapati-ing-Ngalaga Abdurrahman Sayidin Panatagama Khalifatullah ingkang Jumeneng Kaping Sadasa ing Ngayogyakarta Hadiningratini lahir di Yogyakarta, 12 Desember 1946. Anak tertua Gusti Raden Mas Dorodjatun (Sultan Hamengkubuwana IX) dari ibu bernama KRAy. Widyaningrum ini menikah dengan Tatiek Dradjad Supriastuti (Gusti Kanjeng Ratu Hemas) pada 1968.
Saat itu Tatiek berusia 19 tahun, selisih enam tahun dari Herjuno, saat melangsungkan pernikahan. Sultan dan Ratu Hemas memiliki enam anak: (a) GRA Nurmalita Sari/GKR Mangkubumi, (b) GRA Nurmagupita/GKR Condrokirono, (c) GRA Nurkamnari Dewi/GKR Maduretno, (d) GRA Nurabra Juwita/GKR Hayu, dan (e) GRA Nurastuti Wijareni/GKR Bendoro.
No Responses