Menjaga Pancasila, Memintas Terorisme

 LAPORAN UTAMA

 

“Terorisme masuk kampus lewat paham eksklusif yang menutup rapat dialog. Pancasila menjadi jawaban strategis menangkal radikalisme. UNY menawarkan formula baru internalisasi nilai-nilai Pancasila di ranah akademik”

 

Kepulan asap hitam menggelayut di Surabaya. Bom meletus secara beruntun pada tanggal 13-14 Mei 2018. GKI Diponegoro, Gereja Santa Maria Tak Bercela, dan Gereja Pantekosta Pusat Surabaya Jemaat Sawahan berduka. Markas Polrestabes Surabaya dan Rumah Susun Wonocolo, Taman, Sidoarjo juga tak luput dari kebengisan teroris.

 

Kabar pilu di dua titik kota besar di Jawa Timur itu terjadi belum seminggu setelah kerusuhan di Markas Korps Brigade Mobil, Depok, Jawa Barat, pada 8 hingga 10 Mei. Lima polisi wafat setelah penyandraan di sel khusus teroris yang dilakukan 155 narapidana terorisme.

 

Menurut Vice lewat warta bertajuk ISIS Claims Responsibility for Riot at Prison Housing Former Jakarta Governor Ahok, 11 Mei, Negara Islam, Irak, dan Suriah (NIIS) menandaskan langsung ikut bertanggung jawab atas peristiwa sepihak itu. Gerakan terorisme internasional, seperti dilakukan NIIS, selalu berhilir pada aksi teror yang merugikan liyan—apalagi mereka yang berada di luar dinding iman acap kali dinegasikan.

 

Tak sampai seminggu, peristiwa senada terulang di Riau. Bom belum sempat diledakan tapi tiga orang perakit telah diamankan Densus 88 dan Polda Riau pada 2 Juni 2018. Mereka, seperti dilansir kompas.com, mengaku merakit bom di gelanggang mahasiswa FISIP Universitas Riau. Pelaku mengatakan kalau bom itu hendak diledakan di dua wilayah, yakni DPRD Riau dan DPR RI.

 

Aksi terorisme dan teroris punya wajah sama di pelbagai tempat: memperjuangkan ideologi kelompok secara sepihak dengan penuh wajah garang. Tiga peristiwa terorisme di tiga provinsi itu bukan hal baru di Indonesia. Sekian tahun sebelumnya telah terjadi peristiwa serupa.

 

Bom Bali salah satu yang dianggap paling mencekam publik internasional. Gerakan mereka sedemikian sistematis dan masif. Kampus diduga dan dianggap lahan empuk penyebarannya di kalangan kawula muda. Sutrisna Wibawa, Rektor UNY, menawarkan penggalian kembali nilai-nilai Pancasila dalam rangka menangkal terorisme.

 

Pancasila sebagai pilar bangsa-negara ditengarai mampu menggunting aksi terorisme. Sutrisna memberi catatan penting melalui kandungan esensial nilai toleransi pada sila pertama. “Kita sadarkan lewat implementasi pendidikan Pancasila sehingga mereka bisa berpikir kembali untuk Indonesia. Yang cocok ya Pancasila. Sila pertama itu menganggap semua agama dan tiap agama harus saling menghormati,” jelasnya.

 

Lebih spesifik Sutrisna sebagai penggawa UNY melakukan terobosan bernas untuk menanggulangi praktik terorisme di kampus. Menurutnya, mencegah merebaknya teroris di universitas sama artinya dengan menggalakan kembali kegiatan bernuansa Pancasila seperti pelatihan soft-skill. Kegiatan itu diperuntukkan bagi mahasiswa baru. Mereka dianggap perlu dibentengi secara kultural nilai-nilai Pancasila sedari awal.

 

“Kalau fondasinya sudah mapan, Pancasila diinternalkan secara personal, mahasiswa lebih terbuka dan toleran akan perbedaan,” ungkap profesor filsafat Jawa kelahiran Gunungkidul itu. Radikalisme sebagai akar terorisme bermula dari eksklusivisme. Dengan keterbukaan pikiran dan rendah hati, yang diulas tuntas dan mendalam di pelatihan, kecenderungan terorisme sedikit-banyak tercegah. “Kuncinya diri sendiri. Program hanya fasilitas pendamping.”

 

Nilai imateriel Jawa dapat diterapkan dalam menanggulangi terorisme. Sutrisna membabarkan tiga konsep dasar. Pertama, nilai rukun antarsesama. “Kalau sudah rukun satu sama lain maka tidak ada lagi kesempatan untuk mencari kesalahan orang lain. Efeknya masyarakat menjadi kompak,” katanya. Bagi Sutrisna, radikalisme tak mungkin masuk di wilayah kekompakan suatu komunitas.

 

“Yang kedua nilai saling menghormati dalam kehidupan toleransi,” lanjut Sutrisna. Titik tolak hormat ini mencakup komponen rendah hati. Konsep budaya Jawa familier dengan hal ini seperti pemuda hormat kepada orang tua, sesama orang tua, dan sesama anak. Jati diri menjadi kunci kenapa tiap orang harus menerapkan sikap ini. Menurutnya, kesejatian diri tiap manusia terletak pada sikap hormat, sedangkan perilaku radikal yang melahirkan teroris menihilkan hal itu.

 

Dua poin yang dipaparkan Rektor UNY itu dimantapkan melalui poin ketiga, yaitu nilai luhur untuk menjaga keselarasan. “Di Jawa itu kan nilai-nilai keharmonisan dijunjung tinggi untuk saling menghormati,” ucapnya. Sutrisna memberi contoh sederhana perwujudan nilai harmonis seperti ketika terdapat orang bertamu saat sedang makan, tamu tersebut langsung ditawari menyantap kuliner.

 

Rukun, hormat, dan selaras adalah tiga kunci utama menjaga diri dari pengaruh radikal. Terorisme mustahil menginfiltrasi pikiran dan sikap manakala ketiga hal itu diejawantahkan dalam laku sehari-hari. Ketiganya adalah koentji. UNY melalui kebijakan ciamik Sutrisna memadatkan substansi nilai Jawa itu di dalam pelatihan soft-skill bagi mahasiswa baru.

 

Seperti dikatakan Sutrisna, nilai-nilai itu mesti diamalkan berdasarkan Pancasila. Itupun tak sekadar teori, tapi praktik di lapangan. “Saya berharap mahasiswa di berbagai kegiatan dilibatkan penuh sebagai bagian dari pengawalan nilai-nilai Pancasila. Sehingga sekecil apa pun bisa menerapkannya. Tidak hanya belajar teori. Makna membumikan terletak di situ,” tuturnya.

 

Motor penggerak Pancasila di UNY dinavigasikan Pusat Studi Pancasila dan Konstitusi (PSPK) UNY. Baru berdiri awal Juni 2017, bersamaan dengan Hari Lahir Pancasila, bertempat di LPPM, lembaga itu dipimpin Samsuri. Tugasnya meliputi kajian pengetahuan dan implementasi Pancasila. Saat ini PSPK mempunyai beragam program.

 

“Kami sedang melakukan riset dengan beberapa pihak. Dana anggaran kami dari jajaran satu tahun ini sudah direncanakan untuk sekitar 25 proyek penelitian. Itu diharapkan dapat diimplementasikan di perguruan tinggi dan satuan pendidikan,” ujarnya.

 

Di samping kegiatan penelitian, PSPK telah menjalin relasi dengan 60-an Pusat Studi Pancasila di seluruh perguruan tinggi di Indonesia. Tak berjalan sendiri, PSPK di bawah koordinasi Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila (UKP-PIP). Belakangan PSPK menyelenggarakan Festival Pancasila yang mengundang Yudi Latif dan beberapa rektor di Yogyakarta.

 

Samsuri, melalui PSPK, mengharapkan supaya radikalisme di UNY terbendung. Memutus mata rantai radikalisme itu ia tawarkan lewat sejumlah program. Modalnya Pancasila sebagai landasan utama. Kenapa Pancasila, Samsuri punya argumen khusus.

 

“Ide gagasan Pancasila itu gagasan radikal. Sukarno menawarkan pilihan yang sudah diberikan. Yaitu keluar dari mainstream ide liberalisme dan komunisme. Sukarno membangun ide dengan kepribadian kita sendiri. Akhirnya lahir Pancasila,” tegasnya.

 

Menurut Samsuri, Pancasila, selain diwacanakan sebagai ideologi negara, juga perlu digalakan dalam rangka, “Counter Issue untuk mengantisipasi pola-pola radikalisme dari ideologi lain.” Dalam konteks UNY, menjaga Pancasila dari gempuran ideologi teroris dilakukan secara sistematis. Kultur akademik harus dijaga. Baik perkuliahan maupun organisasi mahasiswa harus saling menunjang. Dialog menjadi jembatan penting untuk saling memahami.

 

Senada dengan Samsuri, radikalisme, menurut Yudi Latif, tak sekali jadi. “Radikalisme itu merupakan proses pertumbuhan yang panjang. Perkembangannya intens, makin intens, dan proses itu kemudian masuk ke paham-paham yang sifatnya tertutup.” Yudi mengilustrasikan kalau sifat diskusi kelompok radikal itu doktriner di lingkaran internal. Akibat dari kondisi dialog semacam itu akhirnya membentuk pikiran yang keras dan eksklusif.

 

Yudi mengurai kausalitas radikalisme yang semula diakibatkan karena tafsir tunggal. “Fundamentalis sebenarnya hanya mengikuti satu track tafsir paham tertentu karena tidak diperkenalkan paham lain. Jadi, kampus harus belajar Pancasila dan memberi ruang bagi mereka yang terjebak dalam kubangan eksklusivisme,” tutupnya.

No Responses

Comments are closed.