Alvin Toffler, penulis buku Future Shock (1970), telah meramalkan dentuman informasi di tahun 2000. Futurolog asal negeri Paman Sam itu benar. Masuk ke periode milenum, dunia dibanjiri bejibun informasi tanpa kenal ampun. Gejalanya mulai mengemuka sejak awal 1990. Ditandai teknologi siber, internet, pada gilirannya, mendorong babak peradaban baru.
Internet membawa iklim baru pada tiap sendi kehidupan manusia. Setengah abad lampau, pengetahuan ditempatkan eksklusif. Ia hanya dimiliki oleh segelintir orang yang berduit maupun berstatus ningrat. Kini pandangan semacam itu berubah drastis. Siapa pun punya potensi sama untuk mengakses pengetahuan. Hanya bermodal alat canggih bernama telepon pintar, orang dengan mudah mengakses tanpa terkecuali.
Simptom mencari pengetahuan dengan modal kuota dan klik berdampak signifikan terhadap habituasi. Manusia menjadi subyek sekaligus obyek informasi itu sendiri. Pengetahuan seakan bebas dikendalikan, didistribusikan, bahkan dimonopoli oleh kekuasaan dalam skala singular dan plural. Di sini berlaku demokratisasi informasi. Di Indonesia, keran terbukanya informasi mulai menyeruak kuat sejak genderang Reformasi 1998 ditabuh.
Di Senayan, tempat perdebatan konstitusi diujarkan dan disahkan, legalisasi hak asasi pengetahuan diwacanakan panas. Jamak anggota parlemen adu argumentasi hingga dini hari. Proses panjang itu akhirnya membuahkan hasil. Undang-undang Nomor 14 Tahun 2008 sebanyak 64 Pasal tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP) diketokpalu. Publik sorak-sorai tanda syukur.
UU KIP menandai babak baru. Ia berisikan kehendak kuat agar tiap manusia punya hak sama dalam mendapatkan informasi. Memperoleh informasi tanpa keterbukaan publik berarti sia-sia. UU KIP, karenanya, mendedah dua poros utama, yakni “hak asasi informasi” dan “keterbukaan publik”—suatu wujud konkret dari spirit reformasi yang secara historis dibayar mahal dengan tumpah darah para aktivis.
Semua institusi negara wajib terbuka. Sebagai masyarakat sipil yang suaranya dilindungi konstitusi, posisi masyarakat sedemikian strategis untuk berhak mendapatkan informasi dari institusi negara. Jenis informasi itu juga tak sepenuhnya boleh didesiminasikan secara umum, karena, betapapun, ia tak terlepas oleh unsur-unsur kerahasiaan yang signifikansinya dilindungi rapat. UU KIP menyoal kenyataan ini: Kriteria informasi apa saja yang diperbolehkan atau tidak untuk diakses khalayak.
Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) gayung bersambut UU KIP. Kampus kependidikan negeri di Kota Gudeg ini meresponsnya dengan meneken surat rektor soal Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID) bertanggal 29 Mei 2017. UNY membangun sistem berikut aparaturnya agar KIP dimanifestasikan secara konkret. Kebijakan ini menjadi bukti komitmen UNY terhadap demokratisasi informasi.
No Responses