Reporter Pewara Dinamika, Rony K. Pratama, mewawancarai Abdul Malik Usman, Dosen Filsafat UGM dan UIN yang juga mengajar mata kuliah umum Agama Islam di UNY. Pada kesempatan itu Abdul mengisahkan kenangan mudik tahun 80-an. Kala itu ia mahasiswa asal NTT yang studi di kota gudeg. Hidup di perantauan membuat Abdul, pada masa awal perkuliahan, harus menahan rindu untuk pulang kampung halaman. Baru tiga tahun kemudian ia mudik. Itupun dilewatinya dengan naik perahu dari Surabaya.
Kapan mulai merantau?
Saya merantau ke Yogya tahun 1981. Tahun 1983 baru pulang sekali. Saat itu Yogya dan masyarakat Yogya beda sekali dengan sekarang. Komunikasi sangat terbatas. Jadi, saat mau pulang ke Flores Timur, saya kalau mau pulang harus ke Surabaya dulu.
Naik apa?
Ya, ke Surabaya naik bus atau kereta. Di Surabaya tidak bisa langsung berangkat. Bisa menunggu sekitar tiga sampai empat hari. Soalnya harus menunggu jadwal kapal. Kalau naik kapal feri bisa sampai sepuluh hari atau lebih. Harus tinggal di Surabaya. Tapi ada famili di sana. Busa transit.
Kapalanya sesuai jadwal?
Kadang tidak sesuai. Pas mudik pertama kali, saya nunggu semingguan. Akhirnya naik kapal kayu. Kapal yang pemiliknya orang kampung. Biasanya kapal itu ke Surabaya untuk belanja bahan-bahan kebutuhan pokok. Jadinya kapal itu akan kembali ke NTT. Makanya saya ikut. Tidak ada transit kecuali ambil air di Lombok.
Berapa hari di perairan?
Empat hari saya di perairan. Gelombangnya hebat sekali.
Sampai tahun berapa mudik pakai kapal?
Tahun 1987. Tahun-tahun setelahnya, 1988, biasa pakai pesawat hingga sekarang. Tapi, ada pengalaman unik pada tahun 1985. Kapal yang saya naiki itu kan kembali ke Surabaya. Pas perjalanan balik tenggelam. Tidak ditemukan hingga sekarang.
Berapa orang di kapal?
Sekitar enam atau tujuh orang.
Kira-kira tenggelam di mana?
Sekitar perairan antara Lombok dan Sumbawa. Di kawasan itu kan gelombangnya besar. Gelombang samudera soalnya. Pertemuan tiga titik aliran laut.
Berapa kali pulang ke NTT dalam setahun?
Kadang-kadang dua sampai tiga tahun. Tergantung momen di NTT. Biasanya dapat undagan manten dari famili. Juga undangan-undangan untuk mengisi acara terkait dengan keagamaan.
Tahun ini mengisi juga?
Iya. Tahun ini saya mengisi di Kupang. Tahun lalu safari di Alor dan mengisi di kepulauan Baranusa. Karena itu, saya bisa ke kampung. Kira-kira sekitar tujuh jam.
Naik apa ke kampung?
Naik kapal kecil. Menyeberang sekitar tiga jam. Gelombangnya besar juga. Tapi saya kan orang laut. Jadi udah biasa. Kalau naik jalur darat bisa tiga jam. Menyeberang lagi sekitar dua setengah jam.
Berapa hari di kampung?
Biasanya cuma dua hari. Kadang-kadang seminggu. Pernah pula satu setengah bulan. Tergantung keperluan. Tapi belakangan ini tidak bisa lama-lama karena terikat tugas.
Mudik bersama keluarga?
Iya, saya bawa anak dan istri saya ke sana. Soalnya sampai sana banyak silaturahmi. Tentu modalnya juga kuat. Apalagi membawa keluarga. Tidak hanya mudik sebetulnya. Karena di kampung halaman juga membawa keberkahan bagi orang lain.
Maksudnya?
Begini. Saya kenalkan keluarga saya ke orang-orang kampung. Agar mereka tahu bagaimana kehidupan di sana. Dan mereka akan bisa merekam. Bahwa di kampung ini, tradisi semacam ini, ternyata bapaknya bisa begini. Saya kan dosen. Secara kasatmata kan tidak mungkin. Di sana itu masyarakatnya masih terpencil. Masih banyak pula yang miskin.
Berarti karena tekad?
Iya. Sebab itu semua karena tekad, kesiapan, dan keinginan kuat untuk merubah keadaan sehingga saya bisa seperti ini. Tidak menyerah terhadap situasi alam dan sosial. Tapi ada usaha untuk keluar untuk melakukan perubahan.
Bagaimana tindakan bapak untuk membawa berkah ke masyarakat di sana dalam rangka mudik?
Saya kalau ke kampung pasti punya sebuah misi. Utamanya ke sekolah. Di sana ada sebuah sekolah yang tahun lalu baru dinegerikan oleh Kementerian Agama. Itu adalah Madrasah Ibtidaiyah (MI). Saya adalah murid pertamanya.
Semacam menginspirasi ke peserta didik di sana, ya?
Saya kalau ke sekolah itu, saya selalu memotivasi. Agar jangan menyerah di tengah keadaan. Sebab sekolah itu adalah sekolah yang melahirkan alumnus seperti saya. Motivasi saya, terutama, soal kelanjutan studi. Alhamdulillah, sekarang sudah lumayan. Ada lebih dari sembilan orang sekolah ke Jogja.
Angkatan bapak dulu yang ke Yogya berapa orang?
Cuma dua orang. Satunya saudara. Kalau konsep mereka, merantau itu ke Malaysia untuk kerja.
Kan ada orang NTT yang juga merantau sekolah seperti Ignas Kleden
Itu angkatan atas saya. Memang latar belakangnya sudah punya tradisi literasi yang baik. Sejak kecil sudah dibangun tradisi itu. Soalnya sejak kecil belajar di seminari. Tokoh-tokoh seperti dia banyak di Jogja dan Jakarta. Sedangkan kalau kami yang muslim masih sedikit. Namun, beberapa tahun terakhir mengalami lompatan (jumlah) yang lumayan.
Terakhir, apa pesan bapak mengenai momen mudik?
Saya selalu mengatakan kepada mahasiswa-mahasiswi saya. Terutama ketika masuk momen ramadan. Yang pertama, Anda tahu bahwa Anda ke sini itu untuk belajar. Untuk sekolah. Merantau untuk mencari ilmu. Kalau mudik, sampaikan ke orang di kampung. Bahwa belajar itu kebutuhan. Belajar itu penting. Belajar untuk sebuah ikhtiar perubahan yang lebih baik. Belajar untuk memaknai kehidupan.
Yang kedua, selalu saya sampaikan, bahwa Anda adalah orang yang lebih tercerahkan karena pelajar. Jadi, Anda harus memberi contoh. Sebuah bukti. Sesuatu yang positif sebagai oleh-oleh untuk orang kampung. Jangan sampai kita orang terdidik tapi pulang tidak seperti orang terdidik.
Related Posts
Guru Itu Tugas Mulia, Penyalur dan Investasi Peradaban
Tilik Rancangan Dasar Hukum PTNBH UNY
Ir. Drajat Ruswandono, MT. (Sekretaris Daerah Gunungkidul) Pemkab Gunungkidul Dukung Penuh Kampus UNY!
Prof. Dr. Lantip Diat Prasojo, M.Pd. – Majukan UNY dengan Kecepatan Cahaya
GKR Hemas – Anugerah yang Sangat Layak
No Responses