Penekanan yang berlebihan terhadap standardized tes (tes terstandar) telah jadi kontroversi di banyak negara. Dalam praktiknya, tak semua kompetensi bisa diukur lewat jenis tes pilihan ganda. Asesmen Nasional sebagai suatu evaluasi mutu pendidikan Indonesia diharapkan dapat menciptakan kondisi yang lebih baik untuk berkembangnya kompetensi yang diperlukan siswa untuk hidup secara produktif di zamannya.
Sebagian besar sudah menyadari bahwa standardized test itu memang perlu, tetapi akibatnya cukup besar. Tak semua kompetensi bisa diukur, sebagai contoh yang sering kita dengar terkait kompetensi hid- up Abad 21,” ungkap Asrijanty Ph.D., Kepala Pusat Asesmen dan Pembela-jaran (Pusmenjar) saat diwawancarai, Kamis (8/4).
Kompetensi hidup Abad 21 yang dimaksud adalah 4C, yakni critical thinking and problem solving (berpikir kritis dan memecahkan masalah), communication skills (kemampuan berkomunikasi), creativity (kreatifitas) dan ability to work collaboratively (kemampuan untuk bekerja sama).
“Jadi yang sebenarnya harus ditekankan adalah apa yang terjadi di Jadi yang harus ditekankan adalah apa yang terjadi di kelas, proses pembelajaran di kelas, itulah yang mempengaruhi kompetensi siswa. kelas, proses pembelajaran di kelas, itulah yang mempengaruhi kom- petensi siswa. Kalau standardized test hanya mengukur, tapi tak bisa mendorong kompetensi-kompetensi yang penting karena standardized test terbatas dalam pengukurannya,” imbuh Asrijanty.
Konteks keterbatasan yang dimaksud adalah terkait dengan UN yang meng- gunakan jenis soal pilihan ganda. Ia menjelaskan, tak semua kompetensi bisa diukur dengan model pilihan ganda, salah satu contohnya adalah keterampilan menulis.
“Siswa yang mampu mengerjakan soal pilihan ganda terkait kepenuliki keterampilan menulis,” terang Asrijanty.
Kontroversi Standardized Test UN
Menilik tes yang sering digunakan di Indonesia, jika ditinjau dari ruang lingkup perbandingan penilaian, jenis tes dapat dibedakan menjadi tes terstandar (standardized test) dan tes buatan guru. Hasil standard- ized test dapat digunakan untuk membandingkan kemampuan siswa antar sekolah, sementara tes buatan guru hanya bisa digunakan untuk membandingkan kemampuan siswa di lingkup sekolah tersebut.
Dengan kata lain, standardized test dapat digunakan untuk mengukur kemampuan siswa dalam skala yang lebih besar ketimbang tes buatan guru. Ujian Nasional kemudian men- jadi salah satu contoh standardized test yang menggunakan jenis soal pilihan ganda.
Menurut Asrijanty, terdapat beberapa dampak negatif yang muncul selama pelaksanaan UN di Indonesia. Ujian Nasional kerap diangap sebagai kiblat dan hasil yang tinggi dianggap sebagai sebuah prestasi. Akibatnya, banyak sekolah yang hanya fokus pada UN dan mengesampingkan mata pelajaran lain.
Untuk menunjang target nilai UN, sekolah kerap mengadopsi jenis soal pilihan ganda guna menilai siswa. Padahal, jenis soal tersebut memiliki keterbatasan untuk mengukur kompetensi.
“Kalau melihat perkembangan saat ini, model pembelajaran seperti itu tidak bisa lagi digunakan, siswa perlu disiapkan sesuai dengan kebutuhan zaman. Dalam kehidupan nyata tidak cukup hanya dengan mengetahui, tapi juga butuh kompetensi,” ujar Asrijanty.
“Kompetensi yang diperlukan, misal berpikir kritis tingkat tinggi, komu- nikasi, kolaborasi, kreatif, semua Laporan Utama tidak akan mampu diukur hanya dengan pilihan ganda skala besar,” imbuh Kepala Pusmenjar tersebut.
Dalam perkembangannya, Asrijanty juga kerap menemui fenomena UN yang justru menjadi beban bagi guru. Ia menerangkan bahwa banyak guru tak membuat pembelajaran menarik agar siswa memahami konteks dengan alasan bahwa jika pembelajaran dilakukan secara ideal, maka materi UN tidak bisa dibahas tuntas.
“Artinya UN semacam membebani dan jadi alasan untuk tidak melaku- kan pembelajaran ideal,” terangnya. Fenomena permasalahan stan- dardzed test semacam ini tak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga men- jadi perdebatan para ahli pendidikan di banyak negara.
selengkapnya baca dimajalah pewara edisi februari
No Responses