Merantau dari Temanggung, Asti secara konsisten belajar dan nguri-nguri kebudayaan Jawa lewat menguasai tarian tradisional. Mengantarkannya menjadi Abdi Dalem Beksa dan tampil di berbagai belahan dunia.
Asti percaya bahwa ia tak selayaknya hidup dari tari. Namun bukan berarti ia tak boleh menghidupkan pijar keindahan seni tari di Yogyakarta. Hal itulah yang mengantarkan Asti, walaupun memilih berkecimpung dalam studi tata rias di UNY sejak tahun 2017, secara konsisten belajar dan nguri-nguri kebudayaan Jawa lewat menguasai tarian tradisional Jawa. Belajar menari kemudian dilakoninya dari sanggar ke sanggar, lalu tampil di hadapan pengunjung keraton.
Perjuangan dalam menari itulah, yang dibayar tuntas oleh Yogyakarta lewat penunjukkannya sebagai abdi dalem beksa pada penghujung 2017. Sejak saat itu, ia menjadi penari istimewa milik sang daerah istimewa. Dengan tarian sekaligus darma bakti dalam hidupnya, didedikasikan penuh untuk warga Jogja.
“Menjadi abdi dalem adalah amanah. Grogi, namun bangga, campur jadi satu. Semua kulakukan dengan membagi waktu antara kuliah, tugas, dan kegiatan keraton terutama bila bila ada tamu berkunjung,” tutur Asti yang merelakan waktu senggangnya untuk melayani mereka yang tertarik dengan kekayaan budaya Yogyakarta.
Berkat Ibunda
Sebutlah pementasan Ramayana di Prambanan, hingga aksi unjuk tari di Kraton Ngayogyakarta. Dalam setiap pementasan tari yang dilakoni Asti di Yogyakarta, selalu ada satu wajah yang familiar di tribun penonton.
Ialah Nurwidya Ariyani, ibu Asti yang sehari-hari tinggal di Parakan Temanggung. Nurwidya rela menempuh perjalanan panjang demi menyaksikan lenggokan sang putri. Juga mendukungnya.
Namun, dukungan dari sang ibu tak hanya hadir sejak Asti tampil menari di Yogyakarta saja. Nurwidya lah yang sejak awal mengarahkan Asti menekuni tari tradisional.
Alkisah saat kelas dua SD, Asti ingin meniru tarian para muda-mudi yang ia kerap saksikan di televisi. Tarian itu kerap disebut sebagai modern dance.
Namun, Asti tak tahu julukan tersebut. Ia hanya tahu, lalu mengabarkan kepada sang ibu, bahwa ia ingin belajar menari. Jadilah ia didaftarkan ke sanggar tari tradisional.
“Jadi Asti kepingin modern dance. Tapi namanya anak-anak kan nggak tahu namanya. Ya sudah minta ibu, terus didaftarin ke sanggar tari tradisional,” kenang Asti sembari terkekeh.
Dalam perio awal belajar menari, Asti merasa malas karena tarian yang dipelajarinya berbeda dengan apa yang ada di televisi. Seribu jurus sempat ia keluarkan untuk membolos kegiatan di sanggar tari. Tapi, sang ibu selalu membujuk Asti untuk menekuni apa yang sudah ia kehendaki.
“Telat tidak apa-apa, yang penting berangkat. Untuk kebaikan kamu sendiri,” demikian bujuk Nurwidya, yang akhirnya meluluhkan hati Asti.
Empat tahun berlalu, Asti akhirnya keluar dari sanggar karena sudah menginjak bangku SMP. Namun, bukan berarti kiprahnya dalam menari berakhir. Asti tiba-tiba saja mengikuti seleksi dan terpilih sebagai tim inti pembuatan tari icon Kabupaten Temanggung. Menjadi wajah depan pariwisata kabupaten penghasil tembakau tersebut membuatnya tekun dan mulai sungguh-sungguh mendalami bidang tari tradisional.
Salah satu ketekunan tersebut ditunaikannya dengan cara mendaftar di SMK Negeri 1 Kasihan. Populer dengan nama SMKI, sekolah ini telah lama terkenal dalam kemampuannya unjuk gigi di bidang koreografi. Mendaftarlah Asti di sekolah tersebut dengan harapan mendalami lebih lanjut tari tradisional.
Namun, keputusan itu tidaklah mudah. Kedua orang tua Asti memang memberi restu. Namun, beberapa teman-temannya memandang remeh pilihan yang diambil Asti. Tari tradisional masih dipandang sebagian temannya sebagai kuno dan membosankan.
“Teman-teman lain mempertanyakan keputusan Asti kembali menari. Hah, nari lagi? Begitu katanya,” kenang Asti.
Asti yang sudah berikhtiar untuk tekun akhirnya tetap teguh untuk mendaftar SMKI. Bahkan ia tidak mencoba sekolah negeri lainnya, karena waktu pendaftaran yang relatif berdekatan. Dengan kemampuan seni tari dan keberuntungan di tangannya, ia tak hanya lolos. Asti menduduki ranking satu dalam proses seleksi.
Melalangbuana
Keunggulan yang dimilikinya tersebut membawa Asti dalam prestasi yang tak kalah gemilang semasa duduk di bangku SMKI. Ia lolos dalam seleksi Duta Seni Pelajar Jawa-Lampung-Bali, yang digelar di Lampung. Juga ikut dalam perwakilan delegasi tari Yogyakarta dan Indonesia ke China, Korea Selatan, dan Singapura. Menerbangkannya dengan pesawat untuk pertama kali, ke luar pulau dan ke luar negeri.
“Itu satu prestasi buat saya, terbang naik pesawat dan dibayarin. Ke luar negeri lagi,” kenang Asti dengan haru.
Ia ingin terus menekuni seni tari. Itulah mengapa sejak kelas satu SMKI, Asti telah bergabung di sanggar yang berada di Yogyakarta. Tak lama kemudian, karena ajakan dari banyak guru SMKI yang mendidik tari di kraton, Asti juga diajak untuk unjuk gigi di Bangsal Ksatrian dan Bangsal Sri Menghanti. Tahun 2014 menjadi awalnya.
Prambanan juga jadi panggung untuk semua mata memandang kebolehan Asti dalam menari tradisional. Seperti Bandung Bondowoso yang dikejar tenggat waktu dalam membangun candi, Asti juga harus belajar cepat disana. Karena baru tiga kali menari di Prambanan, ia langsung diberi tugas untuk memainkan pemeran utama: Dewi Sinta.
“Ada beberapa yang memandang Asti belum punya kapasitas, mengucilkan Asti. Tapi bagi Asti itu amanah, karena sebagai penari baru di Yogyakarta, Asti bisa jadi tokoh,” ungkapnya yang tak lagi aktif di Prambanan karena tugas besar telah menantinya di Kraton. Pada 2017, ia diangkat sebagai abdi dalam beksa. Juga sebagai pengajar untuk sanggar tari yang dulu menjadi tempatnya belajar.
Ditengah kesibukan tari itulah, Asti masih meletakkan perhatian utuh kepada masa depan studinya. Walaupun sudah memperoleh pendapatan dan karir baik di bidang tari tradisional, Asti ingin menambah kapasitas. Namun, belajar seni tari secara formal di bangku sarjana tidak menjadi pilihan di hatinya.
Alasan Asti sederhana, belajar tari bisa dilakukan di mana saja. Selain itu, lowongan pengajar pendidikan seni tari juga terbatas. Hal itulah yang mengantarkan Asti yang akhirnya memilih berkecimpung dalam studi tata rias di UNY sejak tahun 2017. Namun tetap secara konsisten belajar dan nguri-nguri kebudayaan Jawa lewat menguasai tarian tradisional Jawa.
“Asti diterima jalur SM Prestasi. Prinsip Asti, guru sudah banyak, hidup dari tari nggak cukup, harus memperluas pengetahuan. Walaupun tetap selalu menekuni tari,” tukasnya.
Untuk mengatur waktu belajar, Asti mengalokasikan kapan ia harus di kampus dan di kraton seefisien mungkin. Jika perkuliahan telah tuntas pada pukul tiga sore misalnya, Asti akan langsung pulang untuk istirahat sebentar. Atau jika sudah ada kegiatan menari baik di Kraton ataupun sanggar tari, Asti langsung meluncur.
Tak jarang pula Asti mengerjakan tugas atau laporan yang harus diketik menggunakan telepon genggam. Keterbatasan tersebut dilakukannya karena telepon genggam lebih fleksibel jika ia sedang berada di luar rumah. Dibanding harus membawa laptop kemana-mana.
“Disela-sela latihan sama bikin tugas. Akibatnya ya nggak bobok sudah biasa. Tapi teman-teman selalu mengingatkan, memberitahukan beban tugas: materinya sulit, ada tugas atau tidak,” kenang Asti.
Kurang tidur bagi Asti juga sudah biasa. Termasuk, menjadi mahasiswa kupu-kupu karena tidak mengikuti kegiatan organisasi di dalam kampus. Dalam pandangan Asti, semuanya adalah resiko yang harus ditanggungnya dalam mengatur skala prioritas. Asalkan yang paling penting, dalam aktivitas apapun yang ia tekuni dirinya harus total dalam belajar, berlatih, dan mengabdi.
“Kalau mau berhasil harus berusaha. Asti sering menyayangkan ada yang senang pentas dan punya bakat luar biasa, tapi belum dimaksimalkan. Hasil datang dari proses, dan kita bisa membuktikan siapapun yang meragukan pilihan kita dengan kerja keras,” pungkasnya.
Tempat Tanggal Lahir: Temanggung, 14 Oktober 1997
Latar Belakang Pendidikan:
SMKN 1 Kasihan (2013-2016)
D3 Tata Rias dan Kecantikan (2017-sekarang)
No Responses