Walaupun masih dipandang sebelah mata, mereka memiliki kesempatan bahkan peluang yang lebih besar daripada sarjana. merekalah para lulusan bergelar Ahli Madya.
Tak banyak yang tau, sekolah vokasi melahirkan generasi-generasi yang siap bersaing, terlebih di era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA). Hal tersebut berlaku bagi para lulusan vokasi yang dibekali ketrampilan khusus selama mengikuti perkuliahan. Berbeda dengan lulusan sarjana, lulusan vokasi lebih banyak memiliki bekal pengalaman kerja.
Namun, dogma yang berkembang di masyarakat cenderung memandang remeh lulusan sekolah vokasi. Lulusan dengan gelar Ahli Madya kebanyakan minder dengan statusnya, sehingga buru-buru untuk melanjutkan tingkat Strata 1 atau sarjana. Padahal, sekolah vokasi berbeda dengan program sarjana.
Kenyataan lain menunjukkan tak sedikit lulusan sarjana yang menganggur karena belum siap terjun di dunia kerja. Sebaliknya, banyak lulusan diploma yang berhasil menyalurkan ilmu di tempat kerja.
Hari Nurcahyo telah membuktikannya. Gagal dalam ujian seleksi masuk perguruan tinggi tak lantas membuatnya menyerah. Justru jalan selanjutnya yang membawanya kini sampai pada kesusksesan. Pasca lulus dari Madrasah Aliyah, Cahyo sempat mengikuti ujian masuk perguruan tinggi pada tahun 2008, namun gagal. Ia kemudian mengikuti ujian masuk program diploma jurusan elektronika. Walaupun lulus dari sekolah non kejuruan, ia memiliki kecintaan pada dunia elektronik. Atas saran keluarga kemudian ia mengambil jurusan tersebut.
“Ga lolos SNMPTN terus ambil D3. Saran keluarga ambil teknik. Dulu ga tau beda S1 dan D3. Taunya S1 lama lulusnya. Setelah menjalani kuliah jadi tau bedanya D3 dan S1,” paparnya.
Pada mulanya, pria kelahiran Tegal tersebut memang belum mengetahui perbedaan sekolah vokasi dan program sarjana. Yang ia tau bahwa program sarjana memiliki waktu tempuh studi yang lebih lama daripada diploma.
Ketidaktahuannya tersebut justru membawanya pada kehidupan perkuliahan yang menyenangkan. Selain mengikuti kuliah, Cahyo juga aktif mengikuti kegiatan Himpunan Mahasiswa. Hal tersebut tentu menjadi nilai tersendiri yang tidak didapat di dalam kelas maupun di ruang praktik. “Seneng menjalani kuliah. Banyak teman, banyak praktik. Ga hanya ngejar nilai,” ungkapnya.
Sejak awal Cahyo bertekad untuk menjadi pengusaha. Berbagai usaha kecil ia jalani. Program diploma yang lebih banyak mengajarkan praktik, menjadikannya terlatih untuk praktik langsung ketimbang berkutat pada teori. Hal tersebut ia lakukan untuk melatih diri agar tahan banting dan tidak membebani orang lain. “Dari jaman kuliah udah praktik di lapangan, jadi pedagang, jadi macem-macem. Karena emang komitmen ga minta uang saku dari orangtua.,” jelasnya.
Pasca lulus, tak sulit baginya untuk memperoleh pekerjaan. Dengan bekal ketrampilan yang cukup, saat ini ia bekerja sebagai Production Technician di Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang bergerak di bidang perminyakan, Pertamina. Meski harus bekerja di tengah laut, saat ini ia juga membantu sang istri mengembangkan usaha online-nya.
Ia mengaku sangat bersyukur dapat memperoleh pekerjaan luar biasa meski “hanya” menempuh studi diploma. “Alhamdulillah sangat bersyukur, bisa sejauh ini sebagai lulusan D3,” ungkapnya.
Cahyo sempat berfikir untuk melanjutkan jenjang sarjana karena gelar masih sangat dijunjung di negeri ini. “Sedih kadang, soalnya kalau di Eropa memang skill kebanyakan digunakan bahkan punya tempat. Tapi kalau di negara-negara Asia, gelar masih sangat berpengaruh ketika start kerja,” keluhnya.
Namun lain daripada itu, ia optimis bisa menjadi pribadi yang ahli di bidangnya dan bermanfaat untuk orang lain. “Nilai bukanlah satu-satunya ukuran sukses seseorang atau bukanlah penentu masa depan. Tak perlu minder jadi lulusan diploma. Masih banyak faktor lain yang bisa mencapai impian dan cita-cita. Perlu perpaduan antara usaha dan doa. Ke depan saya ingin menjadi expert di bidang saya ini, dan bisa bermanfaat bagi banyak orang” pungkasnya. Jadi, masih ragu dengan lulusan diploma?
No Responses