Gelora digitalisasi merambah perbukuan. Digilib digadang-gadang mengisi perayaan buku elektronik. Siapa saja bisa mengakses tanpa keharusan meminjam. Geliat ini terus menyeruak seperempat abad terakhir
Maharani terlihat serius di depan Macbook Pro sejak pagi. Matanya menyapu layar dengan sesekali mengernyitkan dahi. Tangan kanannya sibuk menggenggam tetikus—peranti penunjuk. Sesekali jemarinya menari di atas papan ketik. Di saat itu berarti ia mendapatkan ide dan sedang menuliskannya. Sekarang sudah siang. Mulai jam istirahat siang.
Aktivis mahasiswa FMIPA itu kini sibuk mengerjakan skripsi. Duduk khusyuk di lantai dua ruang jurnal, perpustakaan pusat, dilakoni sejak judul tugas akhirnya diteken. Itu sekitar dua bulan lalu. Selama menggayung referensi, Maharani tak mau diganggu. “Soalnya mencari pustaka dan mengutip buat skripsi itu agak susah. Harus telaten,” tuturnya.
Walau fisik di perpustakaan, pikiran Maharani bervakansi ke lintas benua. Ia termasuk jeli mencari sumber referensi. Tak sekadar di rak buku, Maharani juga memanfaatkan teknologi informasi. Ia bisa berjam-jam mengunduh buku elektronik. Yang paling disuka, selain situs Perpustakaan Nasional, ialah situs Gutenberg. “Menurutku sih web ini cukup lengkap e-book-nya,” ucapnya.
Gutenberg merupakan salah satu situs penyedia buku elektronik terlengkap di dunia. Namanya dicuplik dari seorang penemu mesin cetak. Nama aslinya Johannes Gensfleish zur Laden zum Gutenberg (1398-1468). Pria berkebangsaan Jerman itu semula bekerja sebagai pandai logam. Berkat inovasinya, pada 1450, ia menciptakan teknologi percetakan.
Laman Gutenberg menyediakan lebih dari 56 ribu buku elektronik secara cuma-cuma. Pendirinya Michael Hart, penulis kondang The 100: A Rangking of the Most Influential Persons in History (1978), sejak 1971. Literatur lintas disiplin tersedia gratis. Prasyaratnya relatif mudah. Cukup mendaftar, mengisi data pribadi, dan bejibun referensi digital siap diakses.
***
Di antara ratusan juta penduduk bumi Indonesia, Maharani termasuk melek teknologi. Baginya perpustakaan telah bersolek rupa. Perpustakaan, menurutnya, tak berlokasi khusus. Ia bertempat tinggal di jagat maya. Siapa pun bisa bertandang ke sana. Tanpa terikat ruang dan waktu.
Pada perkembangannya, perpustakaan digital (digilib) lahir atas inisiatif Paul Outlet pada 1892. Mulanya ia ingin melakukan terobosan ilmiah untuk mengintegrasikan jutaan dokumen, foto, video, maupun audio. Paul mengharapkan paket informasi itu dikonsumsi publik secara luas. Ia geram karena perang terus berkecamuk dan menginginkan perekatan nasionalisme.
Michael Riordan dan Lillian Hoddeson, penulis buku masyhur bertajuk Birth of the Information Age (1997), mengurai persoalan dunia abad ke-21. Keduanya berangkat dari asumsi Paul agar umat manusia saling berbagi informasi. Impian futuristik Paul akhirnya terwujud pada tahun 90-an. Layanan internet mulai masif. Konsekuensinya, portal informasi yang menyediakan beragam referensi bermunculan.
Satu dekade sebelumnya, di negeri Paman Sam, Online Public Access Catalog (OPAC) sudah mulai dirumuskan. Keberadaannya menggeser eksistensi kartu katalog yang telah mengakar di dunia akademik. Tiap institusi yang menyediakan layanan perpustakaan segera berbenah. Era kertas lambat-laun mulai gulung tikar. Meski ia masih dipertahankan.
Tahun 1994, digilib naik daun. Howard Besser, penulis The Past, Present, and Future of Digital Libraries (2002), sekitar 24,4 juta pengguna turut merayakan. Pemerintah Amerika Serikat kemudian mendanai enam universitas untuk pengembangan lanjutan. Di antaranya University of California-Berkeley, Carnegie Mellon University, University of Illinois, Stanford University, University of California-Santa Barbara, dan University of Michigan.
Digilib berkembang pesat tiap tahun. Inovasi demi inovasi dilakukan serentak di tiap negara. Dunia kemudian mengenal Google. Selain mesin pencari, ia juga menyediakan ribuan buku elektronik. Keadaan ini disambut baik perguruan tinggi. Termasuk Universitas Negeri Yogyakarta yang baru meresmikan digilib pada awal Maret 2018.
Zamtinah, Kepala Perpustakaan UNY, sudah menyiapkan perencanaan digitalisasi buku. Ia mengharapkan agar buku itu bisa diakses siapa saja tanpa harus meminjam. “Tentunya buku yang akan didigitalkan harus sesuai izin. Biar sama-sama legal. Jadi mahasiswa bisa membaca buku digital di mana saja dan kapan saja,” ungkapnya.
Digilib berkembang pesat tiap tahun. Inovasi demi inovasi dilakukan serentak di tiap negara
No Responses