Berbahasa Satu, Bahasa Milenial
Rony K. Pratama
“Bahasa gado-gado di kalangan milenial membuat ketar-ketir sebagian besar orang. Dianggap merusak bahasa Indonesia, fenomena itu dicibir karena tak taat kaidah. Jamak pula yang menyikapi secara elegan lantaran wujud aneka rupa ekspresi. Momen Sumpah Pemuda menjadi anjangsana pikiran yang perlu direnungi. Terutama milenial which is generasi emas Indonesia”
Mahfud naik pitam saat mendengar teman kelasnya sering mengucapkan istilah which is, even, maupun literally. Banjir nginggris di lingkaran Mahfud makin menyeruak. Selain dilisankan, gejala nginggrismemenuhi dinding-dinding media sosialnya. Terlepas hak asasi medsos, bagi Mahfud, fenomena itu membuatnya prihatin. Ditambah pula pelaku tersebut berlatar belakang bahasa. Ucapan mereka, baginya, justru memperparah keadaan. Yang seharusnya memberikan teladan malah sebaliknya. Contoh tak contoh ironinya diproduksi terus-menerus.
Belakangan fenomena nginggris itu menjadi buah bibir di medsos. Khususnya publik mengarahkan wajahnya ke Jakarta Selatan. Praktik berbahasa ala Jaksel dikatakan merupakan citra buruk pengunaan bahasa di kalangan kawula muda. Praktik bahasa Inggris tentu bukan masalah. Problemnya menyasar pada penggunaan gado-gado. Comot sana, comot sini, pakai istilah bahasa Inggris di satu sisi, namun mencampurbaurkannya ke struktur bahasa Indonesia. Masalah peliknya, dengan demikian, adalah konsistensi berbahasa.
Ivan Lanin, Wikipediawan Pencinta Bahasa Indonesia, menanggapi kalau fenomena itu telah lama munyeruak di kalangan anak muda. Nginggrisdan dialek Jaksel dicampur serampangan. Jaksel seakan-akan menjadi stereotip baru. Faktor penyebabnya beraneka rupa. Antara lain kekacauan berpikir, lemah menyusun kalimat, bingung memilih kosa kata.
Pendekar bahasa Indonesia di Twitter ini menyebut pula faktor nonkebahasaan. Salah satunya faktor inferioritas terhadap pemakaian bahasa Indonesia. “Kalau menurut saya motivasi utamanya mau menunjukkan kekerenan, bahwa penggunaan bahasa seperti itu lebih wah,” jelasnya seperti dikutip Tirto.id.Pandangan atas superioritas dan inferioritas dalam konteks bahasa mengakik di benak negara-negara poskolonial. Indonesia salah satunya.
***
Jauh sebelum fenomena nginggris, bahasa Indonesia sebagai lingua franca—bahasa persatuan—pernah dikukuhkan secara kolektif 91 tahun silam. Saat peristiwa Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928. Ceritanya cukup asyik karena sarat akan nuansa nostalgia. Mohammad Yamin, pencipta “imaji keindonesiaan” itu, mengajukan secarik kertas kepada Soegondo. “Ik heb een eleganter formulering voor de resolutie(Saya mempunyai suatu formulasi yang lebih elegan untuk keputusan kongres ini),” bisiknya, seperti ditulis Soegondo pada Ke Arah Kongres Pemuda IItahun 1973. Teks itu diberikannya tatkala Mr. Soenario sedang berpidato menjelang akhir acara. Setelah dibaca sekilas, Soegondo langsung memaraf di bawah tulisan Batavia, 28 Oktober 1928.
Harapan Tanah Air Indonesia, Bangsa Indonesia, dan Bahasa Indonesiaakhirnya resmi lahir. Ikatan kolektif Sumpah Pemuda itu dikenang antargenerasi sebagai tonggak perdana kebangkitan bangsa. Ia bahasa persatuan dan simbol identitas baru. Bahasa Indonesia juga menandai babak kemunculan revolusi kebudayaan melalui kesenian dan kesusastraan. Ide kreatif dalam novel, cerpen, puisi, dan drama masih dibaca dan dipentaskan. Sementara itu, syair berbahasa Indonesia dengan iringan musik juga tetap setia didendangkan hingga hari ini. Itu semua semata-mata dirayakan dengan dan melalui bahasa Indonesia sebagai alat percakapan estetik.
Dua dekade sebelumnya, pada 1908, pemerintah Hindia Belanda membentuk Commissie voor de Indlandsche School Volkslectuur(Komisi Bacaan Rakyat dan Pendidikan Pribumi). Momen itu secara tak langsung mendorong bahasa Melayu. Cikal-bakal bahasa Indonesia mulai berkembang. Di belakang layar, G.A.J. Hazeu, menyusun strategi bersama enam orang anggotanya. Misi mayor mereka tiada lain memilih karangan untuk dipakai sebagai bahan pembelajaran dan bacaan di sekolah.
Sekilas upaya Hazeu dalam peningkatan literasi pribumi tampak mulia. Tak dinyana bila masyarakat pribumi banyak yang melek huruf. Tujuan implisit komisi itu tak jauh dari kepentingan politis kolonial Belanda: menguasai alam pikiran melalui bacaan. Kalau masyarakat telah dikuasai pikirannya maka retorika Hindia Belanda pun bak kebenaran semesta.
Prediksi Hazeu kurang tepat. Sembilan tahun setelahnya, komisi itu diubah menjadi Balai Pustaka dengan D.A. Ringkes sebagai pimpinan. Intelektual dan pujangga pribumi memanfaatkannya untuk mengembangkan proses kreatif. Semula buku-buku dipenuhi penulis Belanda, namun setelah tahun 1917, bermunculan penulis muda dari Jawa, Sumatera, Madura, dan daerah-daerah lain yang turut memperkaya karya fiksi maupun pengetahuan umum.
Pada 1920 novel Azab dan Sengsarakarya Marah Rusli mendapat tempat di dunia pendidikan. Ia didedah dan diteladani sebagai novel modern perdana dalam bahasa Indonesia. Setelahnya muncul nama-nama penulis masyhur seperti Abdul Muis, Sutan Takdir Alisjahbana, Pramoedya Ananta Toer, Nur Sutan Iskandar, dan lain sebagainya.
***
Gayung bersambut perkembangan bahasa Indonesia setelah Sumpah Pemuda diselenggarakan pada 25-28 Juni 1938. Bertempat di Solo, Jawa Tengah, kongres pertama itu dicetuskan wartawan Soeara Oemoem Soerabaja, R.M. Soedardjo Tjokrosisworo. “Kala itu Soedardjo rajin menciptakan istilah-istilah baru dalam bahasa Indonesia, karena dia tidak puas dengan pemakaian bahasa dalam surat-surat kabar buatan orang Tionghoa,” tulis Ariefyanto, dilansir dari republika.co.id.
Diketuai Poerbatjaraka, abdi dalem kesayangan Pakubuwana X, 500 orang hadir pada acara besar itu. H.B. Perdi, K.I. Hajar Dewantara, Sanoesi Pane, Amir Syarifudin, dan M. Yamin juga tak absen sebagai perwakilan intelektual sekaligus aktivis politik pejuang kemerdekaan. Pada malam pembukaannya, pembesar dari keresidenan pelbagai daerah juga hadir. “Bahkan, Pers Tionghoa, Java Institute, Sultan Yogyakarta, Mangkunegara, Sunan Solo, maupun Paku Alam juga ada di sana,” tulis M. Irwan.
Tak ada perubahan signifikan pada kongres perdana itu, kecuali kesepakatan supaya ejaan bahasa Indonesia diharapkan lebih banyak diinternasionalkan. Tentu yang dimaksudkan ialah Ejaan Van Ophuijsen. Ejaan bahasa Melayu berhuruf Latin itu ditetapkan pada 1901 dengan bantuan M. Taib Soetan Ibrahim dan Engku Nawawi.
Perubahan ejaan baru terjadi sembilan tahun setelahnya. Pada 1947, dua tahun setelah proklamasi, Mendikbud Soewandi menetapkan Ejaan Republik. Perubahan itu ditandai dengan ditekennya surat keputusan tanggal 19 Maret 1947 No. 264/Bhg. Menurut penggawa pendidikan lulusan Rechtschoogeschool te Bataviaitu perubahan ejaan di masa kepemimpinannya disambut baik masyarakat.
Ejaan Republik mengganti huruf oe menjadi u, seperti bangoenmenjadi bangun. Sedangkan secara fonologis, bunyi glotal (hamzah) yang sebelumnya ditulis apostrof (‘) diganti dengan (k), sebagaimana penulisan rakyat,maklum, pak, dan tak. Penulisan kata ulang juga boleh ditulis dengan angka 2: ber-main2, putar2, maupun ke-barat2-an. Selain itu, awalan (di-) dan kata depan (di-) dianggap sama sehingga boleh ditulis serangkai dengan kata yang mengikutinya. Seperti kata depan dirumah,disekolah, diladangyang tak dibedakan dengan imbuhan (di-) pada dikasih, dimakan, atau dijual.
Nasib bahasa Indonesia kian meroket. Di Malaysia sendiri bahasa Melayu makin terdesak bahasa Mandarin dan Hindi. Relasi bilateral antara Republik Indonesia dan Persekutuan Tanah Melayu membuka angin baru pada 1959. Keduanya sepakat menyamakan ejaan bahasa Indonesia dan Melayu. Melalui sidang di penghujung tahun, Slamet Muljana dan Syed Nasir bin Ismail mengenalkan Ejaan Melindo. Namun, ia tak bertahan lama karena perkembangan politik kedua negara kala itu sedang tak kondusif.
Penjaga gawang bahasa Indonesia pun berubah tiga kali. Pertama, ia dikenal sebagai Lembaga Bahasa dan Kesusastraan. Kedua, pada 1968, berubah menjadi Lembaga Bahasa Nasional. Ketiga, berubah bernama Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa di tahun 1975. Perubahan itu diiringi rancangan perubahan ejaan di masa Orde Baru.
Pada momen Seminar Bahasa Indonesia yang diselenggarakan di Puncak Bogor pada 1972, Ida Bagus Mantra dan Lukman Ali ditetapkan sebagai panitia. Seminar itu sebagai pijakan baru perubahan Ejaan yang Disempurnakan(EYD) berdasarkan Keputusan Presiden No. 57 di tahun yang sama. Produk kebijakan tersebut ialah buku Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan.
Ejaan ini bertahan cukup lama, bahkan sampai Soeharto turun jabatan pada 1998. Perubahan yang kentara pascapemberlakuan ejaan itu antara lain penggunaan tj, dj, j, nj,sj,chmenjadi c, j, y, ny,sy, kh. Setelahnya tak ada lagi kata tjinta, djangkar, sajang, njaman, sjahdan, achlak untuk menyebut cinta, jangkar, sayang, nyaman, syahdan, akhlak. Sementara kata depan (di-) yang berfungsi menandai tempat ditulis terpisah: di rumah, di sawah, di sebelah, di Sleman. Demikian pula sebaliknya, jika (di-) sebagai awalan, maka disambung dan difungsikan untuk membentuk kata kerja pasif: dibuat, disuap, disambung, dibeli, ditampar.
Selama 43 tahun EYD diperkenalkan melalui pelajaran Bahasa Indonesia di semua jenjang sekolah. Sampai pada Kabinet Kerja di bawah komando Jokowi, Anies Baswedan, Mendikbud, menetapkan Ejaan Bahasa Indonesia(EBI) sebagai pengganti EYD. Pada EBI, huruf vokal diftong eiseperti kata surveidan geiserditambahkan untuk melengkapi ai, au, oiyang telah ada di EYD. Penggunaan huruf kapital dan huruf tebal juga menjadi pembeda EBI.
No Responses