Tak semua artikel jurnal dapat dengan mudah terpublikasi di jurnal internasional terindeks Scopus. Namun hal tersebut dapat diatasi lewat cara-cara sederhana namun tepat guna.
Bagi sebagian dosen, menulis jurnal bukanlah perkara yang mudah. Terlebih dengan adanya spekulasi serta ketakutan tulisannya dianggap jelek dan lain sebagainya. Hal tersebut menjadi satu dari beberapa alasan banyak dosen enggan menulis jurnal. Padahal, menulis jurnal akan menjadi mudah jika mengetahui pola-pola menulis yang diinginkan jurnal internasional terindeks Scopus.
Salah satu sosok yang giat menulis jurnal, Burhan Nurgiantoro mengungkapkan satu hal penting yang perlu disiapkan saat menulis jurnal adalah dengan banyak membaca. Membaca jurnal-jurnal yang sudah dimuat misalnya. “Dari baca kita tahu, oh.. caranya begitu to. Ikuti saja. Nggak ada yang lain, oh… ternyata dimuat,” ujarnya.
Di tempat lain, koordinator jurnal Pascasarjana UNY, Ashadi mengungkapkan hal senada. Menurutnya membaca menjadi poin penting saat proses menulis jurnal. “Kita harus menguasai ya, harus banyak membaca. Dalam menyusun argumen dasarnya terori bukan common sense. Itu yg membuat berat. Menajamkan tulisan, menunjukkan kebaharuan dari bidang kajian kita. Itu yang paling susah. Karena tidak semua orang menguasai bidangnya itu,” tuturnya.
Hal lain menurut Burhan adalah perlu memperhatikan topik-topik yang aktual. “Kita tidak boleh kuper. Jurnal terakhir itu sudah nulis apa dan sampai dimana pengetahuannya atas topik yang akan kita bahas. Apakah itu settled atau perlu kita challenge. Ikuti dan respon tren itu. Misal di sastra, trennya ekokritik. Ikuti perkembangan. Intinya jangan malas,” katanya.
Tidak jauh berbeda, Ashadi mengungkapkan bahwa perlu pengetahuan mengenai sasaran atau jurnal yang dituju. Setelah itu, peneliti dapat melakukan penelitian dan kemudian menulis jurnal. Selama ini banyak dosen yang langsung menulis tanpa menentukan target terlebih dahulu. “Sudah banyak dosen yang mulai menulis. Temen-temen banyak yang berusaha menulis. Sebenarnya yang perlu dibangun dari awal itu awareness. Sasarannya harus tahu dulu.” ungkapnya.
Jika terdapat dosen yang beralasan tidak memiliki waktu cukup untuk riset dan menulis jurnal, dosen bahasa Inggris tersebut memberikan salah satu alternatif yaitu dengan sistem kolaborasi. “Menulis kolaborasi, lebih mudah, lebih enak dan lebih tajam. Enam mata lebih bagus daripada dua mata,” katanya.
Di lingkungan Pascasarjana, budaya kolaboratif antara dosen dan mahasiswa sudah terjalin. Melalui mata kuliah penulisan karya ilmiah, mahasiswa dituntut untuk menulis artikel yang nantinya siap diterbitkan. Beberapa dosen juga sengaja mengajak mahasiswanya untuk ikut melakukan riset. “Makanya di Pasca ini kami juga menggerakkan kolaborasi mahasiswa dan dosen. Mata kuliah penulisan karya ilmiah misalnya. Output-nya manuskrip yang siap diterbitkan. Dan itu memang sudah kami rapatkan. Output-nya memang ke sana. Kendala bahasa, data. Dibebaskan mereka menulis artikel berdasarkan opini, riset atau review. Artinya mereka harus punya data. Tapi ada juga dosen yang melihat kemampuan mahasiswa kemudian mengajak. Harusnya seperti itu. Dosen bisa sangat produktif saat mengajak mahasiswanya. Mahasiswa lebih banyak punya waktu. Nanti tinggal menajamkan,” jelasnya.
Dosen sosiologi, Adi Cilik melihat dari kaca mata berbeda. Menurutnya tantangan pertama yang perlu diatasi adalah mental. Lulusan psikologi tersebut mengungkapkan bahwa mental block menjadi satu poin penting yang perlu dibangun. “Kita harus punya mental block. Banyak yang sudah ketakutan duluan. Padahal belum tahu setinggi apa persaingannya. Tanpa kita mempelajari dulu. Sekarang memang banyak sekali yang ingin diterbitkan jurnalnya jadi mulai naik lagi persaingannya. Sebenarnya ada jurnal yang relatif tinggi dan sedang atau rendah. Satu hal yang perlu menurut saya secara mental harus terbit satu dulu. Jadi pede. Kalo bahasa psikologi kita bicara efficacious. Oh saya pernah mencapai satu titik itu gitu. Ada sense. Kemudian ada pada titik tertentu akan ketagihan. Karna kita sudah punya pengalaman maka bisa,” jelasnya.
Hal kedua yang perlu diperhatikan adalah fokus pada satu hal yang berkaitan dengan tulisan yang diinginkan. Saat fokus, seseorang akan menemukan banyak hal yang berkaitan dengan apa yang sedang ia fokuskan. “Kalo kita fokus pada satu hal. Maka sebenarnya kesempatan-kesempatan untuk mencapai itu akan banyak. Kita akan banyak menemui. Secara tidak sengaja akan ditemukan dengan orang-orang atau event-event terkait dengan tulisan itu,” ungkapnya.
Secara teknis, beberapa hal yang perlu diperhatikan adalah mengetahui kemauan jurnal sasaran. Artinya penulis harus mengetahui misalnya bahasa, logika menulis dan lain-lain. “Berarti memahami yang diminta dari sana. Umpamanya dari sisi bahasa. Mereka minta style tertentu. Tapi kita ada bantuan editor yang bisa membantu kita,” tandasnya.
Logika menulis jurnal juga menjadi tantangan tersendiri. Pola menulis jurnal berbeda dengan menulis laporan biasa, sehingga perlu diketahui bagaimana logika menulis jurnal yang diminta. “Tantangan kedua logika menulis jurnal sendiri. Karena menulis jurnal berbeda dengan menulis laporan biasa,” ungkapnya.
Menurutnya pola tersebut dapat dipelajari. Adi menawarkan beberapa cara untuk memahami pola penulisan jurnal. Pertama adalah dengan mencermati jurnal-jurnal yang sudah dipublikasikan. Selanjutnya dapat pula membaca buku-buku panduan penulisan jurnal. Adi sendiri lebih senang menerapkan cara mencontoh. Ia mencermati tulisan di jurnal untuk kemudian dicontoh gaya menulisnya. Hal tersebut menurutnya merupakan hal yang alami. “Kita melakukan sesuatu pertama pasti mencontoh. Contoh tapi dengan baik dan telaten. Pertama saya tulis, tulis tangan. Jadi saya mencontoh, kemudian jadi tahu polanya. Kalo belum kita harus kumpulkan banyak info. Ketemu banyak orang-orang yang tepat untuk sharing,” pungkasnya.
Setiap peneliti memiliki cara masing-masing dalam usaha menulis jurnal internasional terindeks. Bagaimanapun caranya, menulis merupakan suatu proses panjang yang memerlukan kesabaran dan ketekunan dari pelakunya.
No Responses