“Menggadang Universitas Negeri Yogyakarta dari pojok Karangmalang. Menjaga jarak menghindari kedekatan, agar mampu menggumam seraya mengkontemplasikan, kampus mantan IKIP itu lebih manasuka”
Pendidikan adalah investasi peradaban. Kalimat ini menandakan betapa pentingnya pendidikan dalam membangun sendi-sendi peradaban sebuah bangsa. Bisa dikatakan, tanpa pendidikan, sebuah negara akan lemah, bahkan dapat hancur. Itu kenapa tiap bangsa, termasuk Indonesia, telah menyusun sedemikian rupa konsep strategisnya guna memperkuat landasan filosofis pendidikan dalam rangka menyiapkan generasi penerus yang cendekia.
Filsafat dasar pendidikan Indonesia mengacu pada rumusan Ki Hadjar Dewantara. Menteri Pengajaran pertama Republik Indonesia ini telah meletakan fundamen pendidikan yang berasas kearifan lokal. Artinya, seberapa kuat rumusan pendidikan yang disusun itu maka harus berbasiskan nilai-nilai keindonesiaan. Hal inilah yang menjadi kekhasan pendidikan di Indonesia. Secara tujuan tetap dinamis mengikuti perkembangan zaman, tetapi tak terlepas dari akar kebudayaan nasionalnya.
Hari ini dunia pendidikan dikejutkan oleh narasi global yang memosisikan subjek didik mengalami Gelombang Keempat. Wacana Revolusi Industri 4.0. bukan isapan jempol, namun keberadannya menggeser berbagai lini, termasuk arah kebijakan pendidikan praksisnya. Basis nilai yang khas dari gelombang ini adalah digitalisasi dan automasi, sehingga mendisrupsi peran manusia. Konon manusia akan digeser oleh robot, baik langsung maupun tak langsung. Kekhawatiran guru dan siswa bukan tanpa alasan. Keduanya was-was kalau pekerjaannya direbut total oleh Artificial Intelligence (AI).
Revolusi Industri 4.0. ini telah diprediksi futurolog berkebangsaan Amerika Serikat pada tahun 1970-an. Ia bernama Alvin Toffler. Bukunya bertajuk Third Wave (1980) dan Future Shock (1970) populer dibaca masyarakat internasional. Dua buku ini seperti menjelaskan hambatan dan tantangan dunia yang digelisahkan banyak orang. Alvin dalam bukunya itu secara implisit telah memprediksi kedatangan gelombang keempat yang ternyata terbukti pada era milenium.
Wacana gelombang keempat sesungguhnya bukan hal baru dalam tiap “pergantian peradaban”. Kita tahu gelombang pertama dan kedua telah lewat sejak abad ke-18 sampai ke-19. Selama ilmu pengetahuan dikembangkan terus-menerus hingga menjadi teknologi tepat guna maka ia akan berdampak signifikan terhadap peta kehidupan manusia. Semuanya ini bermula dari temuan saintifik yang pada gilirannya mengubah total relasi antarmasyarakat internasional.
Hari ini kita memperbincangkan perubahan global bisa di mana saja. Revolusi komunikasi yang kini telah menyodorkan telepon pintar sebagai benda canggih untuk melipat jarak antarmanusia menjadi hal biasa. Dahulu barangkali kita tak pernah memprediksi untuk memiliki dan memanfaatkan benda canggih yang cukup digenggam tapi multifungsi itu. Namun, angan-angan manusia di masa silam tersebut kini ternyata terwujud. Kita hampir tak bisa lepas dari telepon pintar. Yang dahulu pada awal 2000-an dianggap barang tersier karena hanya terjangkau bagi orang berduit tapi sekarang dapat dimiliki siapa saja dengan harga bersahabat.
Dunia pendidikan respons kehadiran teknologi informasi dan komunikasi dalam lanskap Revolusi Industri 4.0. dengan tangan terbuka. Meskipun demikian, pendidikan tak seharusnya semata-mata bergantung pada temuan termutakhir itu. Pendidikan dan teknologi berbasis digital mesti diposisikan secara dialektis, bukan saling bergantung, apalagi cenderung mengintervensi. Inilah yang seharusnya menjadi basis paradigma pendidikan, baik secara teoretis maupun praktis, yakni tetap dinamis menerima perubahan tapi harus senantiasa mengakar kuat pada kepribadian bangsa Indonesia.
Tantangan Kebijakan Pendidikan
Mewujudkan kebijakan pendidikan berbasis Revolusi Industri 4.0., harus dilihat terlebih dahulu visi pemerintah Indonesia dalam rangka menyiapkan generasi di masa depan. Pemerintah saat ini hendak mewujudkan negara maju tahun 2045 dengan memperkuat sumber daya manusia yang ditargetkan masuk 30 besar dunia. Penguatan ini harus disertai dengan pemerataan pembangunan yang juga berdaya saing global, terutama pendidikan dan kesehatan. Titik tolak inilah yang menjadi basis strategis pendidikan manusia di masa mendatang.
Pendidikan harus pula menyiapkan peserta didiknya untuk cerdas menghadapi sharing economy era di dunia global. Artinya, lulusan perguruan tinggi harus memiliki kecerdasan sosial untuk melakukan terobosan dalam dunia bisnis yang tren sekarang didasarkan atas kolaborasi ekonomi. Sederhananya, lulusan universitas melek akan konstelasi unicorn di Indonesia maupun internasional seperti bagaimana bukalapak bekerja, tokopedia menawarkan mekanisme pasar, traveloka memberi kemudahan memesan jasa transportasi, dan gojek atau grab yang meringankan pribadi dalam mobilitas maupun konsumsi. Contoh-contoh tersebut membuka peluang besar bagi lulusan universitas untuk mempelajari konsep product service system, redistribution market, dan collaborative lifestyle.
Klaus Martin Schwab, ketua eksekutif Forum Ekonomi Dunia, pada tahun 2017 pernah mengatakan, “Technology disruption era is the combination of physical, digital, and biological domain.” Pernyataan ini menyiratkan di balik narasi Revolusi Industri 4.0. terpampang tantangan apa saja yang mesti diharapi, terutama dalam dunia pendidikan. Setidaknya terdapat sebelas tantangan yang harus diikuti dunia pendidikan agar tak gamang mengikuti perkembangan global: Internet of Things, Artificial Intelligence, New Materials, Big Data, Robotics, Augmented Reality, Cloud Computing, Additive Manufacturing 3D Printing, Nanotech & Biotech, Genetic Editing, dan E-learning.
Semua poin itu kemudian bisa direspons dunia pendidikan untuk terbuka luas terhadap massive online open course yang niscaya mengubah paradigma tentang kurikulum, modul, dan platform dalam perkuliahan. Pemerintah Indonesia saat ini kemudian sedang menggalakan sistem pengajaran yang setengah tatap muka dan separuh daring. Dilansir dari Cyber Institute of Indonesia, kini sistem pembelajaran daring telah diterapkan oleh 51 perguruan tinggi dengan 1268 modul. Sementara untuk Indonesia Research and Education Network sudah dilakukan 80 perguruan tinggi dengan 1268 modul. Jumlah ini kian melejit seiring dengan persiapan dan kesiapan masing-masing perguruan tinggi di bawah naungan Kemenristekdikti.
Bagaimana seharusnya merespons tantangan kebijakan pendidikan di era gelombang empat ini? Tentunya segala muatan pembelajaran harus memenuhi kompetensi yang berbasiskan pikiran kritis, kreativitas, komunikasi, kolaborasi, keingintahuan, inisiasi, tekad, empati, dan adaptabilitas. Semua elemen kecakapan tersebut harus dikerangkakan dalam kecerdasan literasi yang meliputi membaca & menulis kritis, numerasi, literasi sains, kemampuan teknologi informasi & komunikasi, kecakapan berbahasa internasional, kesadaran kultural & warga negara, dan berpikir logis.
No Responses