Geliat sekolah vokasi di Eropa dimulai tiga abad lampau. Pada mulanya karena dorongan Abad Kebangkitan. Semangat zaman itu berdampak signifikan hingga hari ini.
Oleh: Rony K. Pratama, Editor: Budi Mulyono
EROPA Abad Pertengahan dipenuhi kabut industrialisasi. Tiap kota, dari ujung utara Britania Raya hingga selatan Italia, menarasikan geliat modernisasi. Manusia, sebagai instrumen utama pembangunan, mengendalikan hajatan akbar itu. Bumi Anglo-Saxon yang semula tertidur selama Abad Kegelapan, kini bangun, bergerak, dan berjaya. Wolf-Dietrich Greinert, Profesor Pendidikan Vokasi pada Universitas Teknik Berlin, mencatat, “Perubahan tak hanya sektor ekonomi dan teknologi, tapi juga struktur masyarakat, interaksi sosial, sistem politik, hingga gaya hidup.”
Wolf menilik sejarah pendidikan vokasi yang berkelindan dengan dentuman Revolusi Industri abad ke-18. Ia menyatakan kebutuhan lapangan begitu mendesak, karenanya, “Tak ada cara lain kecuali membangun lembaga pendidikan berorientasi kerja.” Namun, ia menyayangkan nihilnya keseragaman sistem dan konsep pendidikan vokasi pada masa itu. Akibatnya, menurut Profesor Wolf, terjadi kesenjangan industri antarnegara. Terlebih soal kualitas calon pekerja yang dididik: sedemikian kontras, terutama Eropa Barat dan Timur.
Senada dengan Wolf, Helga Reuter-Kumpmann, dengan jurnal ilmiahnya berjudul From Divergence to Convergence: A History of Vocational Educational and Training in Europe meneliti tiga model klasik pendidikan vokasi. Ia mengambil Britania Raya, Prancis, dan Jerman sebagai tolok ukur. Di Britania Raya, pendidikan vokasi diselenggarakan di sekolah, perusahaan, dan gabungan antarkeduanya. Secara sistem penempatan, para lulusan akan ditempatkan di perusahaan yang sesuai bidangnya. “Mereka ditempatkan dan mengikuti arus pasar bebas,” katanya.
Berbeda dengan Inggris, Prancis cenderung menitikberatkan pada kekuasaan penuh negara. Karena itu, pendidikan vokasi di Prancis dikhususkan tersendiri dan biasa disebut Production Schools atau the Ecole Polytechnique. Penemuan Helga menunjukan keunggulan pendidikan di Inggris pada awal Revolusi Industri ketimbang negara-negara Eropa lain. Prancis yang sejak awal berfokus pada ilmu alam dan terapan, betapa pun, tak pernah meraih poin tertinggi hingga akhir abad ke-19.
Dampak sosial Revolusi Industri itu juga mengubah Prancis, yang semula dikendalikan Gereja Katolik, pada gilirannya digantikan semangat republik. Napoleon Bonaparte (1769-1821) memainkan peran politik di belakangnya. Selama Revolusi Prancis I berlangsung, ia menggemakan semangat liberté, égalité, dan fraternité—kebebasan, keadilan, dan persaudaraan—sebagai gol. Efek domino kebijakan Napoleon wajib belajar usia 13 tahun. Pelajar itu meliputi mereka yang sengaja dikirim orang tua dan gelandangan yang dipunggut dari gang-gang sempit.
Potret itu terkesan sarat pemaksaan karena semata-mata hanya untuk memenuhi kepentingan industri. Ia berlangsung selama kurang-lebih tiga abad. Bila semula sistem masih ala kadarnya, menjelang abad ke-21, model dan fungsi pendidikan vokasi berangsur membaik. Negara dan korporasi saling berkerja sama mengalokasikan dana agar memenuhi standar kualitas. Tanpa keseriusan kedua belah pihak mustahil pendidikan vokasi berkembang baik.
Selain itu, pendidikan vokasi di negara-negara Eropa, menurut Helga, disokong oleh pemasukan finansial oleh pelajar. “Di Inggris, terutama, selain biaya pemerintah, penyelenggaraan pendidikan vokasi diambilkan dari biaya per-individu,” tuturnya. Kendati demikian, perusahaan yang berkerja sama dengan institusi itu juga menanggung biaya pada SKS tertentu. “Terutama itu berkaitan dengan pelajar yang magang di perusahaan. Mereka dibebaskan biaya. Tapi itu tidak semua. Tergantung MoU.”
Serupa dengan Inggris, Prancis mengatur biaya pendidikan dengan sumber dari pemerintah dan perusahaan. “Yang berbeda itu Jerman. Di sana semua biaya pendidikan vokasi ditanggung negara secara penuh,” ungkap Helga, seperti dilansir Vocational European Journal Training, Edisi 32 Mei-Agustus 2004.
***
PERKEMBANGAN pendidikan vokasi, baik di Eropa maupun Asia, menurut Prof. Slamet P.H., M.A., M.Ed., M.A., M.L.H.R., Ph.D., meliputi keahlian teoretis dan terapan. “Jadi, harus ada link dan match antara pengetahuan dan keterampilan,” tegas pakar pendidikan vokasi itu. Prof. Slamet turut serta merumuskan sekolah vokasi UNY. Menurutnya, filosofi dasar sekolah vokasi harus menembak empat sektor mayor: primer, sekunder, tersier, dan kuarter.
Keempat sasaran yang dipaparkan Prof. Slamet itu ditujukan agar sekolah vokasi mampu menjawab kebutuhan zaman. “Bagaimana bisa berguna buat indusri jika para pelajar yang hendak dididik di sekolah vokasi tidak dibekali pemahaman lapangan. Jadi, model sekolahnya harus menginduk pada realitas perusahaan sekarang,” jelasnya pada Diskusi Pendidikan dan Forum Media, pekan pertama Juni lalu.
Miller (2008) menguraikan segi epistemologis sekolah vokasi dalam karya masyhurnya berjudul Professionalism in the Early Years. Garis besar apa yang ia tulis selaras dengan pernyataan Prof. Slamet. Pertama, Miller memandang kurikulum sekolah vokasi harus hasil turunan dari kebutuhan industri. Kedua, dasar pengembangan sekolah vokasi bersifat dinamis—selalu tanggap terhadap tuntutan zaman. Ketiga, tanpa inovasi, sekolah vokasi akan mandul sebagai penyedia tenaga terampil. Keempat, karena tujuannya dunia kerja, maka sekolah vokasi harus memberi porsi praktik lebih banyak.
Belajar dari masa lalu di Abad Pertengahan, Eropa kini tak seperti seabad lampau yang mengisolasikan diri satu sama lain. Sejak 16 Februari 1975, lahir kesepakatan antarnegara-negara di Eropa, yakni European Centre for the Development of Vocational Training (CEDEFOP). Badan Uni-Eropa itu mengurusi hal-ihwal peningkatan dan pengembangan pendidikan vokasi, baik meliputi kerja sama maupun penyusunan kebijaksanaan kolektif. Hadirnya CEDEFOP tiga dekade lalu sebetulnya merupakan jawaban atas harapan Prof. Slamet dan Miller.
Finlandia termasuk anggota tetap CEDEFOP. Di negeri paling utara Eropa itu sekolah vokasi sangat diminati. Pelajar di Finlandia termasuk tipe pekerja keras. Sejak sekolah dasar mereka diajarkan “mencintai sekolah”. Karenanya, tak heran jika selepas sekolah mereka memilih sekolah vokasi untuk mengasah bakat.
Pendalaman bakat natural siswa itu yang ditekankan sistem pendidikan Finlandia. Luarannya, mereka menjadi pekerja yang sekaligus mencintai pekerjaannya. “Mengenali kompetensi (bakat-minat) sedini mungkin dan peka terhadap kebutuhan lapangan adalah dua poin penting dalam prinsip sekolah vokasi di Finlandia,” ungkapnya, seperti dikutip helsinkitimes.fi. Wajar bila pendidikan vokasi di Finlandia maju karena sudah mengintegrasikan antara bakat dan keterampilan lapangan.
No Responses