“Teguh pada prinsip mengantarkan Wulan ke Inggris. Sebelum pulang ia mengonsep integrasi seni dan sains untuk Indonesia.”
Bagian langit-langit gedung Cardiff Castle itu masih terlihat kinclong. Warna dominan kuning-keemasan dengan corak Timur Tengah mencolok para pengunjung. Tak terkecuali Dwi Wulandari, mahasiswi S-2 Creative Arts in Education, University of Exeter, Britania Raya. Ia terpukau, memotret, dan mengunggahnya di jejaring media sosial Instagram. “Apakah desain interior itu mendapatkan sentuhan budaya visual Arab di masa lalu?” tulisnya.
Mata Wulan acap awas tatkala melihat benda maupun gambar bernilai seni tinggi. Baginya, seni adalah perwujudan batin manusia. Atas kegandrungannya terhadap seni itu, usai sekolah menengah, Wulan melanjutkan studi S-1 di Jurusan Pendidikan Seni Rupa, FBS, UNY pada tahun 2010. Berkat ketekunan dan dorongan keluarga ia kemudian mendapatkan beasiswa LPDP untuk belajar di almamater J.K. Rowling, penulis legendaris Harry Potter.
“Di Inggris saya menekuni ilmu pendidikan yang memfokuskan pada kajian kreativitas dan kaitannya dengan seni,” katanya. Di Eropa Wulan ingin mengembangkan dua komponen kreativitas dan seni dalam konteks pendidikan di Indonesia. Ia percaya, betapapun, manusia hari ini dan hari depan selalu menggunakan daya inovasinya dalam melakukan apa pun.
Melalui pendidikan kreatif, menurut Wulan, “Tiap potensi personal maupun komunal akan dihargai.” Apresiasi tersebut merupakan bentuk kesadaran atas keunikan sekaligus keberagaman manusia. “Saya optimis bidang ini dapat berguna bagi Indonesia dalam merespons tantangan global.”
Gadis berkacamata itu tak ingin penelitian masternya hanya bernasib di rak perpustakaan, tanpa ada yang merealisasikan. Ia mengambil data di Amban, Manokwari, Papua Barat. Pertengahan tahun ini ia menyempatkan pulang ke tanah air, meskipun tak mampir di Sumatera tempat kelahirannya. Di bumi suku Asmat Wulan meneliti keterkaitan sains dengan seni visual dalam konteks cross-curricular learning.
Riset Wulan berpijak pada teori STEAM, yaitu integrasi seni dengan Pendidikan Science, Technology, Engineering, Mathematics (STEAM). “STEM tersebut digunakan untuk menambah capaian pada masing-masing disiplin, terutama yang terkait kreativitas dan inovasi. Tujuannya untuk menyeimbangkan aspek humanistic dan logic siswa,” paparnya.
Dengan penelitian itu Wulan hendak membuktikan bahwa pendidikan, khususnya di sekolah, tak hanya sebagai tempat transfer pengetahuan, tetapi juga tempat mendidik siswa untuk mampu menciptakan pelbagai kemungkinan dan kebaruan.
Pembuktian itu Wulan eksplorasi melalui penelitian masternya yang mengkaji tentang peluang pendidikan kreatif di dalam kurikulum Indonesia. “Harapan saya semoga riset ini bisa menjadi kontribusi kecil yang akan membawa perubahan besar bagi masa depan Indonesia,” jelasnya.
Rajin Membaca, Pandai Berorganisasi
Mahasiswa baru, menurut Wulan, idealnya memiliki kecakapan literasi (membaca dan menulis) yang tinggi. Namun, baginya, giat membaca saja belum cukup bila absen organisasi. “Perlu dibedakan antara membaca status jejaring sosial dan membaca buku berkualitas,” terang Wulan. Ia percaya bahwa semakin banyak membaca, maka semakin tak mudah terpengaruh berita kacangan. “Saya yakin, bila kita membaca bacaan yang baik dan bernas, kita tidak akan mudah terprovokasi.”
Bagi Wulan, mahasiswa seyogianya mempunyai relasi yang luas. “Tapi juga harus harus pandai memilih komunitas. Karena, bagaimanapun juga, komunitas yang kita ikuti akan membentuk kepribadian kita. Jadi, pilihlah komunitas yang berdampak positif dan kita merasa nyaman berada di dalamnya,” ucap aktivis LDK (Al-Huda dan UKKI) dan DPM itu.
Selain faktor di atas, Wulan menitikberatkan pada aspek psikologi manusia. “Sebaiknya mahasiswa baru memiliki prinsip yang kuat. Kita perlu menanyakan kepada diri sendiri apakah pilihan studi yang kita tentukan itu sesuai dengan bakat dan minat. Faktor kenyamanan terhadap bidang studi juga penting. Dan ketika sudah memilih teguhkan dan optimalkan pilihan itu,” harapnya.
No Responses