Sutrisna melakukan terobosan untuk menghela kuantitas doktor dan publikasi scopus. Itu ia lakukan pada periode pertama menjabat. Sutrisna optimis menghadapi Universitas Kelas Dunia berbasis karya.
SEKALI merengkuh dayung, dua, tiga pulau terlampaui. Sutrisna menerapkannya tak sebatas pengertian kosong. Ia pengambil kebijakan yang mengerti duduk perkara dan bagaimana mengatasinya. Usai mendengar hasil akreditasi, ia tak lekas berbangga hati, meskipun UNY mendapatkan predikat A. “Kita sekarang perlu meningkatkan yang lain,” tegasnya. Sutrisna tak berpuas diri dengan prestasi yang ada. Perjuangan baru dimulai.
Sasaran utama yang hendak Sutrisna bangun—salah satunya—seputar Sumber Daya Manusia (SDM). Masalah ini diakuinya sebagai tantangan terberat. “Terus terang, perguruan tinggi memprioritaskan pengajar meraih gelar akademik doktor dan guru besar,” katanya. Kenyataannya justru sebaliknya. Menurut Sutrisna, UNY baru memiliki 27% doktor. Angka ini jauh di bawah perguruan tinggi lain. “Idealnya 70% dan ini kalau mau bagus,” tuturnya.
Keran S-3 dibuka seluas-luasnya oleh Sutrisna. Ia tak membatasi dosen di bawah usia 40 tahun harus ke luar negeri. Melihat efisiensi, ia cenderung membebaskan dosen. “Pokoknya saya menyerahkan pada kemampuan mereka,” ujarnya. Kendati demikian, Sutrisna berharap agar dosen bisa menata diri.
“Dosen sendiri yang bisa menilai akan ke mana,” pesan Sutrisna. Ia menghargai motivasi personal dosen. Sutrisna percaya bahwa melanjutkan studi itu panggilan jiwa. Karena itu, ia tak boleh ditekan. Di sini letak gaya kepemimpinan demokratis Sutrisna. Memilih S-2 di mana pun asalkan bertanggung jawab.
Selain jumlah doktor yang masih di luar harapan, UNY baru memiliki 6% guru besar. Angka ini Sutrisna jadikan catatan ke depan. “Paling tidak kita memiliki profesor sebanyak 15% supaya lazim seperti standar perguruan tinggi lain,” ungkapnya. Sementara itu, guru besar yang pensiun, diharapkan tetap mengajar. Menjadi profesor emeritus. “Jadi, mahasiswa bisa belajar kepada para ahli. Tapi regulasi emeritus itu jurusan yang mengajukan,” tambahnya.
Hantu Scopus
KUALITAS doktor, menurut Sutrisna, wajib dibarengi produktivitas menulis. “Di sini ruh akademikus sesungguhnya. Dia juga harus memublikasikan karyanya.” Selain itu, media publikasi tak boleh serampangan. Ia harus berkualitas dan sebisa mungkin terindeks scopus. Lima tahun mendatang, sejak Sutrisna menjabat, ia akan melakukan terobosan mengenainya. “Ini karena kita masih lemah di scopus,” katanya.
Gebrakan itu berbentuk sistem. “Saya menciptakan sistem ini agar karya ilmiah para dosen siap dan pantas dipublikasikan ke jurnal terindeks,” tuturnya. Kerangka konseptual yang dirumuskan Sutrisna meliputi tim penilai dan penyunting. “Semua dosen yang mengajukan karya ilmiahnya akan difasilitasi.” Tim itu berhak mengarahkan alamat jurnal yang sesuai sebagai tempat publikasi.
Dari segi akomodasi, Sutrisna berencana membiayai proses itu. “Termasuk saat karya tersebut dikirimkan. Pasti ada biaya penerbitan. Kami akan mengurus segi finansialnya pula,” paparnya. Tatkala buah pena dosen telah dipublikasikan, Sutrisna tak tanggung-tanggung memberikan apresiasi berupa insentif. Kebijakan ini diakuinya sebagai bentuk keseriusan UNY dalam mendorong dosen berkarya. “Kami serius untuk itu.”
Sutrisna mempercayakan bimbingan jurnal pra-scopus itu kepada WR I. “Selain itu, eksekusi di lapangan akan diampu LPPM,” jelasnya. Melalui WR I Sutrisna terus mendukung publikasi daring. “Semua karya dosen harus ter-online-kan. Termasuk mereka wajib memiliki akun google scholar dan research gate sehingga karyanya terindeks,” harapnya. Bila semua itu terrealisasi, publik akan mengetahui artikel ilmiah mana yang paling banyak dikutip. “Semakin banyak digunakan semakin besar manfaatnya,” tutup Sutrisna.
No Responses