Dr. Ekram Prawiroputro (Dekan Senior FIS UNY) – Asisten Sang Pahlawan

 Wawancara Khusus

Konon, menjadi asisten dosen Lafran Pane adalah tugas terberat yang kala itu ada di FKIS IKIP Yogyakarta.

Pandangan ini belum tentu sepenuhnya benar. Tapi legenda populer mengatakan, bahwa menjadi asisten Lafran, berarti bukan saja harus siap membawakan tas tebal miliknya yang berisi berbagai macam bahan bacaan. Tapi juga harus membawa segala materi dan pengetahuan dalam benaknya, untuk siap sewaktu-waktu mengajar di depan kelas jika Lafran menugaskan. Dan ketika tugas itu tiba, Lafran bukannya sedang ada keperluan keluar kelas sehingga harus digantikan. Ia tetap duduk di meja dosen, menyaksikan sang asisten mengajar lalu turut melontarkan pendapatnya dalam diskusi bersama mahasiswa.

“Itulah mungkin kenapa, sedikit sekali yang ngasisteni Prof Lafran. Dan ketika saya ngasisteni, hampir tiap malam ya, (saya) gak tidur! (Setiap malam) Harus memperdalam materi. Jangan jangan nanti, beliau langsung bilang: untuk kelanjutan materi ini, akan dilanjutkan oleh Ekram!,” kenangnya sambil terkekeh.

Kepada Redaktur Pewara Dinamika, ILHAM DARY ATHALLAH, Ekram kemudian mengisahkan bagaimana perjumpaannya pertama kali dengan Lafran Pane sebagai mahasiswa hukum ketatanegaraan, sekaligus bimbingan skripsi beliau. Hingga kemudian direkomendasikan oleh Lafran sebagai PNS di IKIP Yogyakarta, dan meneladani kecerdasan serta kesederhanaan sang pendiri HMI, dalam perjalanannya menjadi asisten sang pahlawan.

 

Bagaimana kisah awal perkenalan Bapak dengan Lafran Pane?

Saya pertama kali masuk kuliah tahun 1970 di FKIS. Tentu kalau sekadar kenal nama, semua anak FKIS juga pasti tahu. Tapi saya mulai kenal betul, dan begitupula Prof. Lafran tahu nama saya, itu di tahun 1972. Karena beliau itu, memang hafal semua nama mahasiswa. Juga hafal nama istri dan anak saya, maupun kisah pribadi saya selepas kami kenal dan akrab. Jadi ingatannya sangat luar biasa. Saya juga heran, gimana cara menyimpannya memori itu. Padahal saya saja setelah tua jadi agak (tidak hafal), saking banyaknya mahasiswa.

Di tahun itu juga, salah satu momen perkenalan kita juga mungkin berkaitan dengan kelas wajib Prof. Lafran yang memang relatif banyak. Ada Hukum Tata Negara (HTN) di dua semester, sejarah ketatanegaraan, dan Hukum Tata Usaha Negara (HTUN). Kelasnya juga kelas besar dan intens. HTN misalnya, di seri HTN 1 itu 4 SKS. Dan kelas ini diskusi maupun materinya memang intens, walau memang banyak yang mau diskusi dan tanya jawab itu sudah takut duluan lihat Prof. Lafran yang bacaan dan pengetahuannya mumpuni.

Jadi sudah kelasnya banyak, rata-rata mengulang lagi. Rata-rata pasti dua kali ikut kelas ini minimum! Gimana gak akhirnya kenal dan hapal betul!

 

Gaya mengajar Prof. Lafran di kelas seperti apa?

Simpel. Buku boleh jadi ia bawa di dalam tas. Tapi nggak ada namanya mengajar pegang buku membosankan, layaknya dosen sekarang bolak-balik slide power point pakai LCD. Full ceramah dan full diskusi. Dan semua itu benar-benar runtut, dijelaskan berbasis pada literatur dan dielaborasikan dengan teori maupun diskursus yang ada. Tapi karena mahasiswa itu pada takut sama Prof Lafran, kebanyakan gak ngerti ya tidak ada yang berani komentar gitu. Padahal beliau sangat senang untuk mengungapkan dan menjelaskan segamblang mungkin.

Untuk bantuan mengajar, paling beliau biasa hanya membawa kertas kecil-kecil seukuran sticky notes. Itupun catatan hanya sedikit sekali. Sekedar apa silabus dan poin yang akan disampaikan hari ini, atau nyatet siapa yang bolos.

 

Jika Prof. Lafran ditakuti oleh mahasiswa, lalu kenapa Bapak dibimbing skripsi oleh beliau?

Takut itu kan sekedar persepsi. Sebenarnya mungkin minder saja karena Prof Lafran itukan begitu cerdas, sedangkan kita masih mahasiswa dan malu-malu. Saya, kala itu tidak takut dan berani diskusi di kelas. Nyatanya juga saya tidak ngulang kelas.

Sehingga ketika saya merumuskan skripsi (semasa sarjana muda, BA.), tentang Sistem Pemerintah Desa di Indonesia, maupun ketika tesis (semasa sarjana, Drs.), tentang Studi Perbandingan Badan Pembuat Undang-Undang Dasar di Indonesia, Prof. Lafran yang membimbing. Dan saya nyatanya lulus tepat tiga tahun, bahkan ketika doktoral akhir (menuntaskan gelar sarjana Drs.), saya sempat menunda sidang tesis yang seharusnya sudah selesai pada Februari 1975, untuk akhirnya ujian pada bulan Desember. Karena waktu itu saya menjabat sebagai Ketua Dewan Mahasiswa, yang juga saya lakoni karena nasihat Prof. Lafran agar kita sebagai mahasiswa ini aktif di kampus

Kecepatan saya dalam menuliskan skripsi itu juga sedikit banyak, bantuan dari Prof. Lafran. Beliau tak segan menegur saya dengan lugas kalau ada yang perlu dikoreksi. Tapi juga tak segan memuji jika bagus, dan rela mencarikan saya buku untuk dijadikan literatur tambahan dalam menulis. Pernah itu waktu saya bimbingan di rumahnya, beliau rela mencarikan buku literatur di perpustakaan pribadinya lama sekali buat saya. Padahal cari buku itukan tugas saya, bukan tugas beliau. Sehingga kalau kita sudah kenal Prof Lafran secara personal, mana mungkin takut.

 

Lalu bagaimana kemudian Pak Ekram akhirnya menjadi asisten Prof. Lafran?

Saya lulus sarjana muda di tahun 1973, kemudian diajukan oleh beliau sebagai asisten. Langsung dapat SK, pegawai golongan 2B waktu itu. Langsung beliau menugaskan pada saya untuk mengasisteni semua kelas beliau. Konon memang tugas ngasisteni Pak Lafran ini tugas terberat yang ada di FKIS. Ini konon lho ya, padahal sepengalaman saya, ya ditugaskan mengajar dan membawakan tas lah. Tapi nyatanya memang, yang pernah menjadi asisten Prof. lafran itu memang hanya tiga orang: Saya, Prof. Abdul Ghafur, dan Pak Soebadri.

Tapi menjadi asisten Prof. Lafran, berarti tak hanya harus siap memberi kuliah. Tapi juga harus siap dengan literatur, jika ada mahasiswa bertanya atau beliau sendiri yang bertanya. Sehingga diskusi tiap waktu selalu berjalan. Termasuk sering saya silaturahmi ke rumah beliau, bahkan beliau yang datang ke rumah saya. Kami sekadar diskusi dan itu bisa lama sekali, ditengah kesederhanaan rumah beliau, dan bagaimana beliau tak pernah menempatkan diri sebagai pejabat atau dekan. Selalu sebagai seorang akademisi, dan seorang kawan.

 

Bagaimana contoh kesederhanaan Prof Lafran?

Tadi tentang rumah, beliau itu sampai akhir hayat tinggal di rumah dinas sederhana itu yang sekarang jadi Plaza UNY. Dan sepanjang hayatnya, hampir tak pernah ada ambisi jabatan. Pernah ditawari sebagai Rektor di IKIP luar Jawa, tapi juga ditolak. Beliau kala itu bukan hanya sudah kesengsem dengan Jogja, tapi beliau punya prinsip dan idealisme kukuh. Bahwa kalau diterima, boleh. Tapi kalau ada syarat-syarat, apalagi disuruh minta, jangan!

Itulah kenapa kesederhanaan beliau beririsan dengan idealisme yang dipegang teguh. Beliau selalu ingin HMI netral. Dan beliau meneladankan, dengan tidak bergabung dengan Golkar sepanjang hayatnya. Tidak menerima jabatan atau pemberian lain yang mewajibkannya untuk hal-hal tertentu. Sehingga istri maupun anak-anak Prof. Lafran itu juga begitu sederhana.

Sampai anaknya meninggal itu, ya karena beliau tak mau mengirim anaknya ke rumah sakit. Ia kala itu meminta istrinya yang juga dokter menjahit sendiri luka anaknya. Dengan fasilitas minim, ya sudah, lepas. Dan beliau waktu itu tak mau ke rumah sakit bukan sekadar karena tak ada biaya. Tapi karena kalau ia minta tolong ke pejabat rumah sakit, yang pasti permintaan itu dituruti, ia punya hutang moral yang tentunya sangat besar. Lafran Pane lebih memilih, dan selalu memilih, menjadi idealis serta berdikari.

 

Idealisme tersebutkah yang kemudian menjadi awal friksi dengan Mendikbud?

Itu satu hal. Tapi ada juga hal lain, layaknya friksi yang sudah lama terjadi di internal IKIP Yogya kala itu. Termasuk, ada demo besar-besaran mahasiswa HMI di Yogya, menolak credit fee yang hendak diterapkan Depdikbud. Kala itu Menteri Syarif Thayeb hendak menetapkan bayar per SKS, yang walaupun murah, sekitar 100 rupiah per SKS, tapi dulu uang segitu itu besar juga dan tidak semua dari kami mampu membayarnya.

Nah, dalam demo tersebut, seluruh mahasiswa IKIP mendukung. Apesnya, Prof. Lafran dianggap dalang demonstrasi ini. Kasihan sekali beliau, kemudian difitnah oleh berita sepihak yang datang dari IKIP Yogyakarta.

Saya dan beberapa kawan, akhirnya mengumpulkan dana dan datang langsung menghadap Pak Syarif di ruangannya. Kami dimarahi, dan kami berdiskusi disitu. Intinya kami menyampaikan bahwa aksi tersebut datang dari kami sebagai mahasiswa, bukan dari pejabat IKIP. Bahkan pertemuan inipun Pak Lafran tidak kami beritahu sama sekali, hingga kami akhirnya pamit sebelum berangkat naik kereta ke Jakarta. Beliau malah waktu itu sempet duka, “Mau ngapain, ini sedang ramai-ramai malah ke Jakarta!,” begitu ungkapnya.

 

Lalu bagaimana kisah kepindahan Prof. Lafran ke UII?

Nah ini sebenarnya saya juga tidak tahu betul, dan memang sedikit sekali yang tahu, karena memang Orde Baru ya. Status Prof. Lafran itu masih dosen IKIP Yogyakarta. Gajinya, rumah dinasnya, hingga pensiunnya semua masih dari IKIP Yogyakarta. Tapi beliau kala itu seakan sudah dikotak ya. Dimutasi oleh Depdikbud ke UII, ya tujuannya kemungkinan untuk jaga stabilitas lah.

Tapi walau saya tetap di IKIP Yogya dan beliau berpisah ke UII, kita secara silaturahmi pernah berpisah. Sampai beliau meninggal, saya selalu silaturahmi. Bahkan beliau selalu pesan kalau saya ke rumahnya, jangan sendirian. Bawa anak dan istri juga.

 

Pesan bagaimana generasi kontemporer meneladani Prof. Lafran Pane

Intinya kesederhanaan. Kalau kita menilik Prof. Lafran, menjadi sederhana dan tak harus berlebih, serta selalu menghadirkan diri di tengah masyarakat maupun di tengah seluruh civitas kampus, itu kunci kecukupan dan manunggaling hidup. Jabatan dan gelar, termasuk gelar pahlawan, saya yakin tak pernah menjadi impian beliau. Membayangkan sajapun takkan pernah! Dan semua itu, beliau dampingi dengan adalah sikap Tawadlu dan ingat kepada Allah.

Beliau termasuk orang yang paling tak suka, kalau ada orang membuat janji lalu bicara Insya Allah. Karena beliau tahu betul, di Indonesia ini, orang yang suka bilang Insya Allah itu akhirnya tidak dilakukan. Berhenti di mulut saja. Padahal berjanji atas nama Allah ini, sakral betul maknanya. Itulah yang harus kita semua, termasuk saya tentu saja, terus teladani guna meneruskan ide dan gagasan mulia yang selalu beliau perjuangkan sepanjang hayat.


WAWANCARA KHUSUS

 

 

Profil:

Lahir, Blora 12 Mei 1948

 

Latar Belakang Pendidikan:

 

 

No Responses

Comments are closed.