Era Septiyani – Menaklukkan Dunia Lewat Tendangan Karate

 SOSOK

Putri kelahiran 12 September 1998 ini, boleh jadi masih ingat pengalungan medali emas yang diperolehnya di Bantul Open 2007. Mahasiswi berprestasi UNY!

Selepas menaklukkan musuh dari seantero negeri, di tengah usianya yang belum genap menginjak 10 tahun.

Tapi alih-alih berpuas diri, ia justru masih takut untuk mengetuk rumahnya sepulang lomba. Era mengkhawatirkan Zaenal Abidin, sang ayah, yang dibayangkannya masih geram ketika mendapati sang putri mengikuti lomba karate tanpa sepengetahuan orang tua bahwa selama ini ia telah menekuni olahraga beladiri tersebut. Namun ketika gagang pintu berputar seiring lirih decitan daun pintu terdengar, yang ia saksikan justru sang ayah yang menyelamatinya sembari mengungkapkan rasa tak percaya. Dibaliknya, juga ada Ismaniyatun, sang ibu, yang sudah menyiapkan hidangan makan malam untuk menyambut sang juara dalam hangatnya keluarga.

Sejak percakapan di sudut meja makan pada malam itu, Era, yang dulunya mengendap-endap guna mengelabui Zaenal setiap kali ia berangkat latihan karate, akhirnya justru dilatih secara personal oleh sang ayah yang juga jagoan silat. Menjadikan tendangan  karate bukan hanya caranya untuk menaklukkan dunia dalam berbagai kompetisi internasional, tapi juga menyatukan kekeluarga dalam rajutan kebersamaan.

 

Sembunyikan Baju Karate di Dalam Tas

Era pada dasarnya tak pernah membayangkan harus membohongi sang ayah. Berharap dirinya untuk ikut berlatih karate saja, juga tak ada sama sekali dalam benaknya. Ia justru mengibaratkan aktivitasnya di awal berlatih karate layaknya orang yang sedang terjerumus dan ketagihan. Karena pertama kali ia berlatih karate, sebenarnya terjadi karena salah seorang kawannya di lapangan bulutangkis mengajaknya untuk mencoba main karate.

“Jadi intinya, pertama kali itu saya lesnya bulutangkis. Eh ada temen yang minta saya coba karate. Sekedar coba-coba saja, main supaya hepi,” kenang Era.

Baru saja satu kali bertanding di Dojo Karate, Era langsung menggandrungi olahraga tersebut. Ketika salah seorang temannya tersebut kembali mengajak Era untuk belajar dan bertanding karate, Era akhirnya mengadu kepada ayah dan ibunya. Bahwa ia ingin belajar karate, dan tak lagi minat berlatih bulutangkis.

Tak ada halangan sama sekali ketika ia meminta izin kepada sang ibu untuk memenuhi keinginannya tersebut. Tapi ketika ia meminta restu Zaenal, yang ia terima adalah penolakan. Alasannya sederhana: sang ayah merasa iba jika anak perempuannya harus berjibaku dalam olahraga beladiri yang mengadu fisik dan koersif.

“Itulah kemudian mengapa, saya kalau berangkat latihan karate, sembunyi-sembunyi. Uang les yang saya kalau minta ke ayah bilangnya untuk bulu tangkis, justru saya pakai untuk karate. Tapi ibu sudah lama tahu, dan mendukung dalam diam-diam juga,” kenang Era.

Untuk mengelabui sang ayah, Era selalu mengenakan outfit bulutangkis dan membawa raket tiap berangkat menuju ke Dojo (tempat berlatih karate). Tapi dalam tas yang ia cangklong di balik punggungnya, tersimpan baju karate. Latihan sembunyi-sembunyi yang ia lakoni setiap sore itulah yang kemudian berperan dalam gelar juara Bantul Open hanya selang beberapa bulan sejak ia menekuni Karate.

Dari situ, hati Zaenal yang luluh kemudian ikut mengajari Era secara otodidak tentang karate dan kebugaran jasmani. Profesinya sebagai tukang servis elektronik lepas, membuatnya punya waktu senggang untuk menyempatkan diri melatih Era. Uniknya, walaupun Zaenul tak tahu menahu tentang karate karena berlatar belakang bela diri silat, ilmu yang diberikan sang ayah di kemudian hari ternyata sangat membantu dan relevan dengan bela diri yang Era tekuni.

“Bapak saya awalnya cuman ngajarin angkat-angkat kaki. Tapi ternyata, orang Jepang yang jago karate pun, pertama kali ngajarin saya di FIK dan di coaching clinic bahkan juga angkat kaki terlebih dahulu. Jadi bapak saya yang gak tau apa-apa soal karate ini ternyata gak kalah juga sama pelatih-pelatih hebat,” kenang Era.

Selepas sang ayah dipanggil Yang Maha Kuasa di masa Era masih mengenyam bangku SMP, Era kemudian berlatih dari satu perguruan ke perguruan yang lain. Di satu sisi, pihak menyebutnya kutu loncat karena tak setia, dan dalam beberapa kesempatan berlatih pada sosok yang tak begitu disukai dalam komunitas karate. Namun di sisi yang lain, kesempatan itu bagi Era adalah peluang emas untuk mengetahui sudut pandang dan ilmu karate yang sangat beragam. Dari situlah berbagai prestasi kemudian mengalir padanya, baik tingkat kabupaten/kota hingga regional dan internasional.

“Termasuk misalnya dalam memahami olahraga karate yang memang masih problematis ini. Seorang pelatih karate berkebangsaan Hungaria yang pernah saya temui, bahkan acap bilang kalau karate Indonesia itu paling bobrok dan sportifitasnya masih dianggap relatif kurang dibanding negara lain. Permasalahan layaknya kecurangan dalam perhitungan poin, itu masih sering terjadi. Saya juga sering mengalami dan dirugikan. Dari mengenal ragam sudut pandang orang-orang atas karate itulah, saya makin teguh untuk komitmen pada sportifitas,” tegas Era yang kini dilatih oleh Sugeng Priyadi yang berdomisili di Wonosobo.

 

            Hanya Ingin Kuliah di UNY

Seiring portofolio prestasi karate yang ia kumpulkan, Era kemudian memantapkan hati untuk mengenyam pendidikan di Jurusan Ilmu Komunikasi. Namun naas, portofolio itu tak membantunya untuk melenggang mudah ketika mendaftarkan diri di UNDIP maupun UNS. Tes SBMPTN yang diikutinya juga gagal membuahkan hasil positif. Ketika mendapati hasil yang sedemikian pilu, Era kemudian memutuskan untuk kabur dari rumah. Ia merasa malu dan marah atas dirinya sendiri karena mengalami kegagalan yang bertubi-tubi.

“Saya frustasi tidak diterima kemana-mana. Biasanya, selama saya berlatih keras, pasti bisa. Tapi tidak kali ini. Saya merasa sudah belajar, berjuang, dan berdoa, tapi tetap gagal. Mungkin memang Allah kasih jalan lain,” kenang Era yang sudah melalangbuana ke Yogya, Solo, dan Semarang seorang diri untuk menuangkan kekesalannya. Menginap dari satu rumah kawan ke rumah yang lain, dan mengabaikan sang ibu yang sudah memintanya untuk pulang dan tetap istiqomah.

Suatu ketika di Yogya, Era bertemu dengan sobat karibnya semasa di SMA 1 Wonosobo. Kala itu, sang kawan yang dulu selalu duduk sebangku dengannya, telah diterima di UNY. Darinya lah Era kemudian mengenal jalur SM Prestasi UNY, dan memperoleh semangat bahwa ia tak boleh menyerah dan berhenti begitu saja. Apalagi, ada kampus dengan fasilitas keolahragaan yang baik dan siap memfasilitasi dan menempa bakat yang selama ini ia asah dan perjuangkan.

“Nah sejak saat itu, pikiran saya bulat. Saya harus kuliah di PKO (Pendidikan Kepelatihan Olahraga) UNY. Sepertinya kans saya bisa disitu. Saya pun sudah bilang ke ibu, Saya hanya ingin kuliah di UNY. Kalau gak diterima, saya gak mau kuliah. Latihan karate saja!,” tegas Era.

Namun, perjalanannya mendaftar SM Prestasi UNY ternyata tak semulus apa yang ia bayangkan. Ketika ia baru saja menerima informasi dari sang kawan yang ia tindaklanjuti dengan cara browsing, barulah Era tahu kalau ia hanya tinggal punya waktu dua hari untuk mendaftar. Bergegaslah ia kemudian pulang ke Wonosobo, dengan niatan mengunggah berkas ke portal UNY. Nyaris semalam suntuk ia tak tidur hanya untuk memperjuangkan keinginannya masuk UNY. Tapi ternyata, ia gagal mengunggah berkas karena server yang terlalu penuh menjelang deadline.

Era yang sudah menggebu-gebu atas keinginannya untuk masuk UNY, akhirnya memutuskan untuk datang seorang diri langsung ke Karangmalang di hari terakhir pendaftaran. Kala itu, ia berangkat jam enam pagi menggunakan bis menuju ke Yogya, dan langsung menyambangi sekretariat Penerimaan Mahasiswa Baru untuk memohon bantuan atas proses registrasi.

“Beruntung dari sekretariat langsung memberikan link mirror bagi saya. Yang akhirnya saya buka dan unggah data di Warnet Plaza UNY,” kenang Era.

Proses dan kerja keras itu, kemudian berbuah manis. Walaupun Era sempat tak yakin atas jawabannya dalam seleksi wawancara yang ia ikuti ketika mendaftar SM Prestasi, takdir seakan telah menggariskannya untuk diterima menjadi bagiandari PKO UNY. Kini dara yang sedang menginjak semester tiga itu, terus dibiayai pemerintah untuk melalangbuana ke penjuru negeri maupun mancanegara untuk meraih prestasi. Termasuk ketika berhasil menggondol medali perak dalam Milo Open International Karate Championship 2017 di Malaysia, yang berbuah beasiswa dari Kemenpora di kala Hari Olahraga Nasional.

Kedepan, Era berharap bisa terus menggali ilmu keolahragaan baik di kampus maupun di luar kampus. Termasuk target untuk menembus Training Center, dan mengibarkan panji-panji Sang Saka Merah Putih di kompetisi resmi layaknya Sea Games maupun Asian Games. Kepada mahasiswa UNY secara keseluruhan, ia juga punya pesan bahwa sebagai mahasiswa yang sudah dewasa, jangan pernah malu dan kecil hati jika ada orang yang meremehkan dan menjatuhkan niatan maupun cita-cita yang masing-masing.

“Karena yang paling penting adalah fokus kita untuk berfikir bagaimana caranya bisa maju. Dengan dorongan dan dukungan pelatih dan teman-teman, layaknya yang kita nikmati di UNY, panggung prestasi pasti ada dalam jangkauan kita!,” pungkas Era.

 

No Responses

Comments are closed.