Konsep kepemimpinan nyatanya sudah banyak dicontohkan dalam kisah pewayangan. Nilai-nilai luhur falsafah Jawa pada penerapannya masih kontekstual diterapkan di era milenial.
Dengan penuh rasa tanggungjawab Bima berjalan menyusuri jalanan hutan Tibaksara di gunung Reksamuka yang terjal. Meski banyak yang mengkhawatirkannya, ia dengan penuh tanggungjawab melaksanakan perintah sang guru, Resi Durna untuk mencari “Tirta Prawitasari” alias air kehidupan.
Tak mudah baginya menemukan apa yang menjadi titah sang guru. Di tengah perjalanan, perkelahian tak terelakkan manakala Bima bertemu dengan dua raksasa penunggu hutan, Rukmuka dan Rukmakala. Namun, tak lama dua raksasa tersebut tumbang oleh kesaktian Bima.
Menyadari bahwa air kehidupan tidak dapat ia temukan di hutan tersebut, ia kemudian kembali dan menerima perintah lanjutan untuk mencarinya di kedalaman lautan. Tanpa pikir panjang, ia melangkahkan kakinya. Diaduknya seisi lautan. Ujian berikutnya datang. Seekor naga menghalangi perjalanannya. Namun, sama seperti sebelumnya dengan mudah naga disingkirkan olehnya. Sayang setelah berjuang keras ia tak kunjung menemukan air kehidupan yang dimaksud Resi Durna.
Di tengah kebingungannya ia bertemu dengan sosok yang menyerupai dirinya dalam wujud yang lebih kecil, Dewa Ruci. Sang Dewa kemudian meminta Bima untuk masuk ke dalam dirinya. Meski berukuran lebih kecil, Bima dapat masuk dengan mudah melalui kuping kiri Dewa Ruci. Di sanalah ia kemudian menemukan jati dirinya.
Lakon Dewa Ruci begitu masyarakat mengenal cerita di atas. Lakon yang menceritakan kesungguhan Bima melaksanakan tugas yang diembannya. Ia mengajarkan konsep keteguhan hati. Konsep tersebut mengajarkan bahwa untuk mencapai suatu tujuan tidak boleh terganggu oleh gangguan yang datang dari arah mana saja. Melainkan sikap teguh untuk mencapainya. Menghadapi segala rintangan dengan sikap optimis dan fokus pada tujuan. Dari sana, keteguhan akan menemukan nilai diri sendiri sebgaimana Bima menemukan nilai dirinya pada sosok Dewa Ruci.
Konsep itulah yang oleh Sutrisna Wibawa digunakan dalam strategi kepemimpinannya. Konstistensi dan keteguhan menjadi inti dari strategi untuk merealisisaikan target-target yang sudah dibuat. “Di konsep Brotosena itu adalah keteguhan hati. Nilai-nilai dalam melihat sesuatu itu lurus. Mencapai sesuatu itu tidak terganggu kanan kiri. Tapi teguh untuk mencapai itu. Apapun halangannya selama mampu dan mau untuk fokus. Dan dari situ, keteguhan akan menemukan nilai diri sendiri. Dewa Ruci itu begitu, ”jelas Sutrisna Wibawa saat ditemui tim Pewara Dinamika pada Kamis (04/05/2017) di ruang rektor.
Latar belakangnya sebagai pakar Bahasa dan Budaya Jawa, menjadikan Sutrisna Wibawa banyak mengadopsi nilai atau falsafah tokoh-tokoh dalam pewayangan dalam menjalankan amanahnya. Semar misalnya, seorang tokoh kawula (batur atau pembantu) tetapi berkualitas laksana dewa. Ia ditafsirkan sebagai sosok pemimpin jelmaan dewa yang ikut di bawah untuk melayani rakyatnya. Semar juga dikenal sebagai simbol antara suka dan duka, muda dan tua, serta pemimpin dan bawahannya. Hal itu tak pelak menginspirasi banyak pemimpin di Indonesia dalam menjalankan kepemimpinannya. “Jadi tokoh semar ini lho. Dia kan dewa, yang berada di dunia untuk melayani. Kepemimpinan saya diharapkan seperti semar Ada di bawah ikut melayani. Karena kita ini amanah sebenarnya sebagai pelayanan pendidikan. Mencerdaskan kehidupan bangsa. Itu konsep yang saya kembangkan,” ungkapnya.
Perpaduan antara konsep leadership dari Semar dan etos kerja yang diusung oleh Werkudara menjadi perpaduan yang apik. Secara umum konsep tersebutlah yang digunakan Sutrisna Wibawa setelah resmi diumumkan sebagai rektor UNY untuk periode 2017-2021. Meski tak mengidolakan tokoh khusus, Guru Besar Fakultas Bahasa dan Seni tersebut meyakini bahwa ketika pekerjaan dijalankan dengan baik disertai dengan keteguhan maka potensi kegagalan meraih tujuan adalah nol. “Selama kerja kita baik, teguh, lurus, maka tujuan bisa tercapai,” tambahnya.
Perjalanan Sutrisna Wibawa mencapai kesuksesan memimpin telah ia latih jauh saat ia terjun di gedung rekorat sebagai wakil rektor bidang Sumber Daya Manudia (SDM) dan keuangan. Sebagai seorang wakil, ia sekaligus adalah pimpinan bagi bawahannya. Namun demikian saat itu kepemimpinannya belum nampak utuh. Tugasnya sebagai wakil adalah untuk mewarnai UNY, mewarnai rektor serta mendukung visi rektor pada masing-masing masa. Ketuntasannya dalam mengabdi itulah yang akan ia lanjutkan pada periode kepemimpinannya sekarang.
Sebagai pimpinan tertinggi universitas, saat ini Sutrisna Wibawa memiliki kemandirian untuk mengembangkan UNY menjadi lebih baik. Pengembangan tersebut tidak lain bersumber dari idenya sendiri, serta mengakomodasi ide lain demi kemajuan institusi. “Nah sekarang saya punya kemandirian. untuk bagaimana mengembangkan UNY lebih baik berdasar ide saya dan mengakomodasi ide ide lain yang bersebaran demi kemajuan institusi,” tegasnya.
Pengalamannya selama mengikuti pramuka semasa kuliah menjadi kawah candradimukanya dalam menempa kemandirian. Kegiatan lapangan seperti “survavival” memaksanya untuk dapat mempertahankan hidup dengan memanfaatkan ketersediaan bahan dari alam. Dengan memanfaatkan potensi yang ada untuk menanak nasi misalnya, tanpa alat masak ia menggunakan kelapa sebagai penggantinya. Banyak cara yang dilakukan setiap anggota untuk bertahan hidup. Di sanalah kemandirian tersebut dilatih.
Jika dianalogikan, kemandirian UNY dapat dipupuk dengan memanfaatkan segala potensi yang dimiliki.”UNY harus tetap hidup, tapi tidak sekedar hidup. Tapi cepat, mandiri, dan bermanfaat. Dengan caranya masing-masing sesuai potensi dan kreativitas kita. Memanfaatkan kekuatan kita, yang penting ga nyuri. Dan kalau tidak? Ya tertinggal world class,” pungkasnya.
No Responses