Festival Pancasila, Membangun Rumah Cinta

 LAPORAN UTAMA

Guru bangsa dan pimpinan universitas sepanggung. Mereka mengorasikan Pancasila secara kreatif dan persuasif. Hampir seribu mahasiswa mamadati halaman rektorat

Ratusan mahasiswa berjas biru itu melingkari tower Rektorat UNY. Mereka, sebagian besar, terdiri atas mahasiswa Bidik Misi dan Ormawa. Menghadap utara, tepat di panggung berukuran sedang,
sorot mata mereka menyiratkan antusiasme karena menyaksikan orasi para petinggi perguruan tinggi se-Yogyakarta.

Guru Bangsa, Ahmad Syafii Maarif, duduk diapit Sutrisna Wibawa dan Yudi Latif. Selebihnya para penggawa universitas duduk membanjar rapi. Mereka sama-sama menunggu giliran menyampaikan orasi dalam rangka Festival Pancasila pada Rabu, 6 Juni 2018.

Gelayut awan yang makin menghitam kemerah-merahan tanda menjelang senja, meskipun juga di bulan ramadan, tak menyurutkan semangat cendekiawan muda UNY. Ketika mikrofon disabet salah seorang orator, sorak-sorai mahasiswa memecah halaman rektorat. Giliran Suminto A. Sayuti, budayawan sekaligus Guru Besar Bidang Sastra berorasi, tiba-tiba suasana hening. Mereka takjub dengan sebiji sajak yang dideklamasikan Suminto. “Dari Karangmalang menuju Indonesia, ngomong Pancasila, tidak harus dengan statement akademik, tetapi akan lebih indah untuk Anda semua melalui puisi,” ucap profesor kampus ungu itu. Ia mewacanakan Pancasila dengan puisinya berjudul Mari Membangun Rumah Cinta.

Bagi Suminto, Pancasila serupa puisi yang ditenun pendiri bangsa. Wujud estetik penyampaian orasi itu kemudian ditekankan lewat karya sastra. Salah satu bait menegaskan, “Kitapun anak-anak khatulistiwa, mari kita bangun rumah cinta, dengan pintu dan jendela terbuka.” Penggalan sajak ini mengamsalkan Indonesia sebagai garis imajiner berupa khatulistiwa yang membentang

Di bawah khatulistiwa, beragam suku menginduk pada satu identitas nasional yang menamai dirinya sebagai Indonesia. Diksi “pintu” dan “jendela” yang terbuka di sana memberi makna betapa Pancasila merangkul tiap golongan dengan keterbukaan seluas-luasnya. Suminto mafhum, puisinya itu, secara tersirat dapat ditafsirkan sebagai keterbukaan dan kebermaknaan Pancasila. Ia juga mengejawantahkan sila pertama seperti berikut.

“Dengan atap rumbia patahan mega, dengan fondasi agama dan keyakinan diri menghujam tertancap di pekat bumi pertiwi. Dengan tiang keragaman budaya, huruf dan kata menjadi ornamen dinding, kalimat dan wacana menjadi pagar keliling, kita merumahkan diri lewat lintasan lintasan sunyi tapi abadi. Mari kita bangun rumah cinta tempat kita
berbagi suka dan duka.” Senada dengan Suminto,

Author: 

Tim Redaksi. Semua tulisan di laman pewaradinamikauny.com, telah diterbitkan di Majalah Pewara Dinamika, Universitas Negeri Yogyakarta. Untuk membaca versi lengkap dari setiap artikel dengan gambar ilustrasi dan infografis, baca versi (.pdf) majalah yang bisa diakses dan diunduh melalui bilah menu "Download Majalah".

No Responses

Comments are closed.