Hampir 10% demografi Indonesia beranggotakan masyarakat dengan disabilitas. Dengan semangat sumpah pemuda dan Asian Para Games, mahasiswa juga harus bergerak untuk peduli dan inklusif.
Disabilitas bukanlah kekurangan, melainkan menjadi kekuatan. Itulah yang diyakini 40 tokoh, atlet, penari, musisi, dan penonton disabilitas dalam upacara penutupan Asian Para Games 2018. Bagi mereka, tak ada kata menyerah meski kondisi mental dan tubuhnya berbeda dari kebanyakan orang.
Layaknya dikisahkan Harian Kompas (7/10), keceriaan yang hadir diantara mereka yang terlibat di pembukaan Asian Para Games itu menular. Bahkan ketika Asian Para Games telah berakhir. Yulinardiantika, warga disabilitas yang tinggal di Pasar Minggu Jakarta misalnya, terharu karena keseluruhan Asian Para Games sangatlah mengharukan. Karena berhasil menunjukkan kepada bangsa bahwa para disabilitas punya semangat luar biasa di tengah keterbatasannya.
Sedangkan bagi Argo Pambudi sebagai Dosen FIS UNY yang sedang meneliti desa inklusi di Sleman, kepada Pewara Dinamika ia mengaku senang karena kaum disabilitas disuarakan. Selama ini, didapati adanya fenomena bahwa kaum disabilitas disembunyikan keluarga karena malu, dianggap aib. Padahal, mereka punya potensi luar biasa.
Utami Dewi yang juga dosen FIS UNY, mengungapkan bahwa selama ini pihaknya bersama Angga meneliti desa inklusi adalah guna Mengetahui dan menjelaskan pemberdayaan penyandang disabilitas melalui Program Desa Inklusi di Kabupaten Sleman serta menganalisis capaian program desa inklusi dalam mewujudkan inklusi sosial di Kabupaten Sleman. Dalam pengumpulan data, peneliti melakukan wawancara, observasi, FGD, dan dokumentasi.
Dari proses penelitian tersebut, diketahuilah bahwa masih ada banyak hal yang perlu dikerjakan untuk memperjuangkan inklusifitas. Momentum Asian Para Games, menurut Utami tak boleh disia-siakan. Karangmalang harus ikut menggelorakan semangat peduli disabilitas.
“Riset menunjukkan bahwa di Sleman ini, Inklusi sosial sudah mulai terwujud. Tapi perjuangan belum selesai. Kita sebagai pelaku riset, dan sebagai warga negara, harus gelorakan ini semangat peduli disabilitas,” tukas Utami.
Menyediakan Kampus Ramah Disabilitas
Salah satu langkah untuk menggelorakan semangat inklusif, dituturkan oleh Slamet WIdodo selaku Direktur Eksekutif IDB UNY dapat dilangsungkan melalui penyediaan akses inklusif bagi disabilitas dalam infrastuktur kampus. Penyediaan fasilitas tersebut, sejatinya tak hanya menyangkut gerakan. Tapi sudah menjadi kewajiban berdasarkan regulasi.
Di Indonesia, standar aksesibilitas bangunan gedung, fasilitas, dan lingkungan diatur melalui Peraturan Menteri Pekerjaan Umum (Permen PU) Nomor 30 Tahun 2006. Regulasi itu ditentukan guna mewujudkan kedudukan, kesetaraan, kesamaan, hak kewajiban, dan peningkatan peran lansia dan penyandang cacat. “(Sehingga) Akses difabel ini proritas,” terang Slamet.
Semenjak UNY meneken IDB pada 2013, gedung perdana berupa Laboratorium Seni Tari dan Musik, telah dibangun denga penyediaan fasilitas yang sesuai dengan regulasi tersebut. Slamet Widodo, Direktur Eksekutif IDB UNY, menilai bahwa gedung baru disesuaikan dengan standar nasional yang ramah bagi mahasiswa difabel. UNY telah membangun berbagai fasilitas guna mengakomodasi kepentingan penyandang disabilitas seperti ramp, lift, dan berbagai fasilitas pembelajaran.
“Semua gedung sudah dilengkapi. Aksesnya juga. Mulai dari toilet, tangga, lift, hingga penunjuk arah. Semua sesuai aturan,” katanya. Itu semua, menurut Slamet, didasarkan atas komitmen UNY terhadap pendidikan inklusif.
Hal senada juga diungkapkan oleh Prof. Sutrisna Wibawa, Rektor UNY. Dikarenakan sifat dana IDB yang merupakan loan ataupun pinjaman yang dibebankan pada negara, maka UNY mencari titik temu dari prinsip yang telah ditelurkan oleh bank tersebut. Dalam perjanjian internasional, sifat saling menguntungkan memang penting agar hubungan antar pihak dapat terjalin lebih harmonis lagi.
“Dan semua standar kita itu menyesuaikan IDB. Standar lingkungan, standar pembangunan, dan tak terkecuali standar difabel. Karena semangat untuk inklusif kepada disabilitas ini juga sudah menjadi norma internasional. UNY secara prinsip, terus berkomitmen untuk inklusif,” ungkap Sutrisna.
Kegiatan-kegiatan Inklusif
Disamping infrastuktur, pelaksanaan Tridharma Pendidikan baik pengajaran, penelitian, dan pengabdian pada masyarakat, juga terus diupayakan berlangsung dalam kerangka inklusifitas. Dalam 10th Global Culture Festivalyang dilaksanakan di Monumen Serangan Umum 1 Maret misalnya, pada 10 Mei 2018, UNY menyumbangkan penggalangan dana dan penjualan tiket makanan untuk penyandang disabilitas di Yayasan Sayap Ibu.
Sumbangan UNY tersebut, disebut Sutrisna selaras dengan visi Pemprov DIY yang ingin menjadikan DIY sebagai pusat budaya. Dimana nilai inklusifitas, juga menjadi budaya yang harus ditanamkan kepada masyarakat.
Kepada sekolah-sekolah mitra, UNY juga senantiasa melakukan riset maupun pembinaan kepada anak penyandang disabilitas. Di SLBN 1 Bantul misalnya, mahasiswa program studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Yogyakarta (FIS UNY) pada bulan Juli lalu, melakukan pengabdian kepada masyarakat dalam bentuk pengajaran menulis puisi.
Para penyandang difabel juga diberi kesempatan untuk mementaskan puisi yang mereka tulis. Sekaligus, menghasilkan sebuah buku yang berisi kumpulan karya penyandang difabel yang dijual secara luas. Dengan demikian, diharapkan anak-anak disabilitas memiliki pengalaman, kemampuan, sekaligus keberanian untuk berkarya.
“Kita buatkan buku antologi puisi untuk anak SLBN 1 Bantul. Sekaligus, ada modul-modul pembelajaran yang telah dirumuskan dalam kapasitas kami di Ilmu Komunikasi,” ungkap Ahmad Abruron selaku Ketua Kegiatan.
Kegiatan-kegiatan inklusif pada disabilitas, tak hanya berlangsung di luar ruang kelas. Di dalam kelas, UNY mengembangkan kapasitas keilmuan terkait disabilitas melalui Pusat Studi Layanan Disabilitas, yang didirikan pada 17 Juli 2017, guna menginisiasi peningkatan partisipasi penyandang disabilitas yang menempuh studi perguruan tinggi. Baik di UNY, maupun di kampus lain.
Sutrisna Wibawa menegaskan “Kita perlu kerja multidispliner dalam pelayanan disabilitas, dan keberadaan pusat studi ini dapat mewadahi hal tersebut”.
Selain pengembangan secara multidisipliner, langkah-langkah intradisiplin juga dilakukan. Berdasarkan SK Rektor IKIP Yogyakarta No. 05 Tahun 1965, 6 Desember 1965 menandainya dibuka Program Studi Pendidikan Luar Biasa. Pendidikan Luar Biasa Universitas Negeri Yogyakarta atau bisa disebut dalam Bahasa Inggris dengan nama ‘Special Education ‘ adalah program studi yang bernaung dibawah Fakultas Ilmu Pendidikan.
Prodi dengan akreditasi “A” ini, menembus angka animo sebanyak 1.909 pada tahun akademik 2017 yang lalu. Pada tahun akademik 2018 tersedia kursi bagi calon mahasiswa baru sebanyak 80 kursi yang siap diperebutkan dari segala penjuru Indonesia.
Menurut Prof. Edi Purwanta, Wakil Rektor II UNY yang juga Dosen PLB UNY, Sesuai dengan namanya, PLB akan membersamai mahasiswanya selama kurang lebih studi sarjana S1 selama empat tahun, untuk mengkaji dan mempraktekan penanganan pada anak-anak berkebutuhan khusus.
Dimana dalam menangani ABK itu sendiri diperlukan kesabaran luar biasa sehingga mampu mengantarkan kita mengenal keunikan setiap orang. Sekaligus belajar menghargai ciptaan Tuhan serta mengasah rasa empati dan simpati serta menumbuhkan semangat peduli dan tolong menolong.
“Beberapa mahasiswa disabilitas juga selalu ada tiap tahunnya di program studi ini. Pendidikan Luar Biasa menjadi chamber (ruang) akademik untuk mengembangkan keilmuan terkait inklusifitas. Di Indonesia, hanya ada 14 kampus yang memiliki jurusan ini,” pungkas Edi.
No Responses