Nama Marzuki pada November lalu bergema di ICE BSD Serpong Tangerang Banten, selepas ditasbihkan sebagai Dosen PAI Terproduktif oleh Direktorat Pendidikan Agama Islam. Anugerah tersebut diserahkan langsung oleh Menteri Agama dan segenap jajaran kementerian, sebagai rekognisi negara atas kontribusi pendidik agama islam untuk bangsa dan umat.
Tapi gema nama Marzuki tersebut, ungkap sang dosen yang ber-home base di Jurusan PKnH FIS UNY tersebut tak pernah diharapkannya untuk berkumandang lebih keras dari genderang yang selama ini ia tabuh: genderang syiar Islam untuk mewujudkan Indonesia yang Baldatun Thayyibatun wa Rabbung Ghafur, yang berhembus merdu dari dakwah-dakwahnya di Kampus Karangmalang lewat tulisan, buku, serta wejangan dari mimbar ke mimbar.
Kumandangkan Islam Sejak Belia
Terlahir di Banyuwangi, 21 April 1966, Marzuki lahir menjadi bagian dari keluarga besar Sahal. Disebut keluarga besar, karena Sahal memiliki 22 momongan. Termasuk Marzuki yang terlahir dari rahim Hatimatun, istri kedua Sahal. Ditengah kehidupan pedesaan di Sraten, Banyuwangi yang masih guyub dan bertetangga dengan sanak famili sendiri, dirawatlah Marzuki oleh sang Pakde bernama Achmad Siddiq bersama Akromah sejak ia berusia satu minggu
Dari sang pakdelah, Achmad Siddiq untuk pertama kalinya mengenal dan menggandrungi dunia keislaman lewat cara-caranya yang sederhana. Sebagai jamaah tarikat pengajian kecil-kecilan di desa, Achmad kerap mengajak Marzuki untuk ikut mengaji dalam pengajian tersebut. Dalam pengajian tersebut, Marzuki kemudian berjumpa dengan beberapa orang kyai yang membuat sang ayah terinspirasi sekaligus berharap agar sang putra bisa menjadi seperti sosok-sosok tersebut.
Dari perjumpaan tersebut pula, Marzuki keciltanpa lelah mendorong diri untuk belajar ngaji sorogan dengan seorang ustad dari Kudus pada setiap sore di mushola kampungnya. Jiwanya sebagai anak kecil yang soleh sekaligus mampu mengaji secara fasih sesuai tajwid, kemudian terbentuksejak berusia belia.
“Berteman dengan orang-orang pintar, orang-orang soleh, terinspirasilah bapakagar anaknya ya pingin ikutan pintar. Kadang-kadang bahkan kalau ada sisa minuman milik kyai, saya diminta meminum. Dengan harapan memperoleh berkah, serta doa,” ungkap Marzuqi.
Walaupun demikian, Marzuki mengaku tak pernah memiliki bakat kecerdasan dalam dirinya. Hal itu ia buktikan ketika mengenyam pendidikan di Madrasah Ibtidaiyah Sraten. Jika hanya mengandalkan belajar ala kadarnya layaknya yang dilakukan oleh teman-teman Marzuki, nilai maupun peringkat kelas yang ia dapatkan juga standar-standar saja. Sehingga Marzuki memilih untuk berjuang lebih keras, dengan cara belajar giat.
Namun, upayanya untuk belajar seorang diri itupun tidak mudah. Akromah adalah sosok yang buta huruf, sedangkan Achmad Siddiq juga hanya bisa membaca tullisan latin dengan terbata-bata. Sehingga Marzuki kecil tak punya pilihan selain belajar secara otodidak ditengah kesederhanaannya.
Sikap tak kenal lelah Marzuki tersebut juga kemudian menular pada usaha kerasnya mencari uang sendiri. Pada saat itu, Achmad Siddiq yang hanya berprofesi sebagai alim ulama di desa tidaklah memiliki penghasilan tetap ataupun melimpah. Achmad Siddiq biasanya memperoleh uang ketika ada warga desa maupun sekitar Banyuwangi yang meminta didoakan kepada Allah untuk diberikan kesembuhan. Walaupun tak mematok tarif, Achmad Siddiq biasanya diberi uang yang tak seberapa sehingga cukup untuk sekedar menghidupi keluarga.
Namun, Marzuki kecil kala itu tetap saja ingin memiliki uang yang sedikit berlebih, agar bisa membeli jajan layaknya es mambo dan coklat payung yang biasa dinikmati teman-temannya. Marzuki akhirnya menyempatkan diri setiap sore untuk mencari uang sendiri dengan pekerjaan yang tak menentu. Mulai dari jualan roti hingga beberapa jajan, hingga mengais sisa-sisa padi di penggilingan dilakoninya agar memperoleh uang yang tak seberapa. Semua kegiatan tersebut dilakoninya dengan tetap menekuni pelajaran sekolah dengan rajin. Sehingga akhirnya berhasil menyabet gelar peringkat pertama atau kedua sekolah secara konsisten,mulai dari kelas satu hingga lulus.
“Saya orangnya manutan saja dan tekun, disuruh belajar ya belajar, tidak ada motivasi lain. Kalau pintar sebenarnya tidak, saya sama saja dengan saudara-saudara saya dan anak kebanyakan, dan juga tekun bekerja, karena ingin punya uang dan bisa jajan saja,” kenang Marzuki.
Ketekunan serupa juga ditunjukkannya di mushola kampung dalam setiap kesempatan dirinya mengaji.Kala teman-temannya sekedar sorogan sebagai kewajiban, Marzuki menggunakan kesempatan tersebut untuk menghafal syair Islam maupun hafalan Qur’an. Sehingga Marzuki juga kerap memperoleh juara satu kala ada lomba hafalan tingkat musholla, maupun antar musholla di daerah Sraten. Dari lantunan ayat yang dilakoninya, syiar Islam kemudian teralun dalam setiap nafasnya begitu sejuk. Menandakan kiprahnya mengkumandangkan Islam sejak belia.
Perjalanannya belajar islam dengan tekun, kemudian berlanjut di MTS Negeri Srono, Banyuwangi dan di MA Negeri Jember. Jika semasa MTs Marzuki masih tinggal di Sraten dan mengaji di musholla kampungnya, penggembaraannya mengenyam pendidikan Aliyah di Jember membuat Marzuki akhirnya menjadi bagian dari Pondok Pesantren Al-Fattah. Marzuki pun hidup sederhana disana, dengan bekal sepuluh ribu rupiah setiap bulannya, dan tinggal di rumah peninggalan kakak tingkatnya yang berfondasi bambu dan di beberapa bagiannya berdinding kertas semen. Makan sehari-hari Marzuki juga begitu sederhana dan disantap bersama ketiga kawannya di asrama tersebut.
“Tapi saya selalu bersyukur, karena saya diberikan kesempatan untuk sekolah. Banyak saudara dan teman saya yang tidak sekolah sampai aliyah, dan tidak seberuntung itu,” kenang Marzuki.
Serupa dengan ketekunan yang ia tunjukkan pada jenjang pendidikan sebelumnya, Marzuki tak kenal lelah untuk mengaji nahwu walau tak ada yang menyuruh. Pada sore hari ketika teman-temannya sedang beristirahat maupun bermain, Marzuki justru tetap mengaji bersama beberapa teman dari IAIN Jember yang kebetulan kampusnya terletak di belakang pondok, sehingga Marzuki juga selalu memperoleh peringkat pertama. Walaupun ketika lulus, namanya tak ditasbihkan sebagai lulusan terbaik karena nilainya di ijazah tertukar dengan salah seorang saudaranya yang sama-sama bernama Marzuki.
“Nilai di ijazah itu totalnya terpaut 30. Tapi karena nama kita sama-sama Marzuki, guru saya tertukar menuliskannya di ijazah. Dia yang dapat nilai bagus, nilai saya jadi berkurang 30 poin. Dan saya nangis betul itu,” kenang Marzuki lirih.
Nekat Merantau Ke Yogyakarta
Nilai rendah di ijazah tersebut alih-alih membuatnya minder, justru semakin mendorong Marzuki remaja untuk membuktikan diri. Ketika keluarga di kampung tak begitu ingin Marzuki kuliah, karena kemampuannya sebagai lulusan aliyah sebenarnya sudah cukup berpendidikan dan bisa bekerja dalam banyak hal, Marzuki justru ingin belajar lagi. Nekatlah Marzuki dengan modal 50 ribu untuk merantau ke Jogja dengan dua pilihan: melanjutkan ngaji di Pondok Pesantren Krapyak, atau kuliah di IAIN Sunan Kaljaga.
Dan sekali lagi, ketekunannya dalam belajar terbayar lunas. Ia dinyatakan diterima dalam jalur tes untuk menjadi bagian dari Sastra Arab IAIN Sunan Kalijaga. Dalam lima tahun menetap di kos kecil daerah batas kota, kegigihannya untuk terus belajar juga diganjar dengan Beasiswa Supersemar yang diperolehnya sejak semester tiga, dan menduduki peringkat pertama se-antero Fakultas Tarbiyah hingga akhirnya lulus. Juga menjabat sebagai Ketua Himpunan Mahasiswa Sastra Arab, dan aktif di PMII.
Padahal, Marzuki kala itu tak memiliki cukup uang bahkan untuk sekedar membeli buku ataupun memfotokopi. Ia juga tak memiliki kendaraan bermotor maupun sepeda. Sehingga jika membutuhkan referensi bahan bacaan, Marzuki biasa jalan kakimaupun membonceng kawan ke perpustakaan ataupun Gramedia di daerah Sudirman, untuk membaca buku-buku yang ada di tempat tersebut.
Jika ada yang dirasanya menarik, Marzuki akan mencatat bagian buku tersebut, di sobekan kertas kecil miliknya yang ia bawa dari kos. Dan selepas pulang dari perburuan jendela dunia tersebut, Marzuki biasa pulang ke kosnya lagi-lagi dengan berjalan kaki, sembari sesekali mampir ke warung dekat kos. Itupun hanya untuk membeli nasi sayur, dengan dua potong tempe.
“Sampai penjual warungnya itu hapal, saya sekali makan pasti 150 rupiah. Gak pernah makan daging, pernahnya waktu ada Kenduri (pernikahan) saja, saya kadang menyusup,” kenang Marzuki.
Dan kenekatan merantau ke Yogyakarta tersebut, kemudian juga berbuah manis ketika Marzuki mendaftar kerja. Tiga institusi: IKIP Yogyakarta, Departemen Agama, dan IAIN, semuanya menyatakan menerima Marzuki sebagai pegawainya. Namun pilihan kala itu jatuh ke IKIP Yogyakarta, karena IAIN maupun Depag hendak menempatkan Marzuki untuk bertugas di luar kota. Walaupun tak begitu jauh, layaknya IAIN yang hendak menempatkannya di Purwokerto, Marzuki merasa sudah nyaman dengan suasana Yogya.
“Padahal SK di IAIN kala itu hampir turun. Dan ketika saya mundur, digantikan salah seorang teman saya juga yang berada di peringkat bawah saya, sekarang dia sudah jadi Dekan. Memang sudah rejeki beliau, dan rejeki saya di IKIP Yogya lah,” ungkapnya terkekeh seraya mensyukuri keputusannya untuk bergabung sebagai dosen IKIP Yogyakarta di tahun 1992 sebagai pengajar PAI.
Tak butuh waktu lama bagi Marzuki di IKIP Yogyakarta, untuk menyesuaikan diri dan menemukan tantangan baru. Pada tahun 1993, Kementerian Agama menyelenggarakan beasiswa S2 bagi dosen PAI yang berminat untuk belajar di UI dan IAIN. Ikutlah Marzuki kemudian mendaftar dalam beasiswa tersebut, hingga akhirnya diterima dan menekuni studinya hingga lulus. Walaupun menerima bantuan SPP dan living cost, Marzuki yang masih hidup serba terbatas memilih untuk tinggal bersama saudara yang ada di Jakarta.
“Jadi saya ga bayar, apalagi ditengah-tengah studi tersebut, saya menikah dengan istri (Sun Choirol Ummah) dan pada saat itu dikaruniai dua orang anak (Ali Abdul Wahid Wafi di tahun 1996, dan Almas Nusrotul Milla di tahun 1997). Walau istri saya masih tinggal di Blitar (rumah mertua), saya tetap punya kewajiban untuk menafkahi,” kenang Marzuki.
Dari kebutuhannya untuk membuat dapur tetap mengepul tersebut, akhirnya Marzuki menggandrungi dunia kepenulisan. Niatnya sederhana, melanjutkan syiar Islam yang senantiasa dilakoni dan dipelajarinya, sembari memenuhi kewajiban sebagai kepala keluarga. Buku pertama ditulisnya di tahun 2004 oleh penerbit Mediatama Solo, ketika Marzuki sedang menempuh studi doktoral. Buku tersebut berupa buku teks pelajaran PAI SMP, yang tak disangka laris manis di pasaran karena teknik kebahasaan Marzuki yang baik dan lihai menggunakan gaya selingkung.
“Dapat enam juta waktu itu royalti pertama kali, sangat lumayan, buat bayar kuliah sambil momong,” kenang Marzuki yang sejak saat itu akhirnya memboyong keluarganya untuk mengontrak rumah di Yogya.
Sejak saat itu, tujuh buku yang dituliskannya sendiri maupun sebelas buku kelompok, telah terbit dan mewarnai jagat dunia PAI Indonesia. Bersama dengan puluhan artikel jurnal yang telah ditulisnya, buku-buku tersebut memberikan perspektif Islam yang tak melulu dalam tataran akademis, tapi juga menyematkan dakwah dengan bahasa populer, agar dapat merangkul banyak kalangan.
Buku Analisis Gender dalam Kajian-Kajian Keislaman misalnya, yang diterbitkan oleh UNY Press pada 2017 lalu. Buku tersebut mengisahkan bagaimana laki-laki dan perempuan dapat mengembangkan peran secara kontribusinya secara positif dan saling melengkapi, terlebih lagi di tengah perkembangan zaman yang memberi tantangan karena semakin mengaburkan batasan antar gender.
Keaktifan Marzuki dalam dunia kepenulisan juga diabdikan dalam amanah yang diterimanya untuk menjadi tim penyusun kurikulum di Direktorat Pembinaan SMP Kemdikbud, maupun sebagai Chief editor Jurnal Pendidikan Karakter. Sebagai satu-satunya jurnal pendidikan karakter di negeri ini dan dimiliki oleh UNY, Marzuki menekuni tugas tersebut sebagai salah satu jalan dakwahnya untuk mencari solusi atas permasalahan moral yang dihadapi bangsa, dengan pemecahan interdisipliner.
“Sehingga ketika seluruh curiculum vitae tersebut saya serahkan di PAI ketika ada pemberkasan dosen terproduktif, seakan berkas saya paling tebal dan sudah pasti dapat anugerah dosen terproduktif. Tentu saya bersyukur, walaupun niatan saya dalam berusaha tetaplah untuk mengembangkan Islam yang rahmatan lil’alamin, damai, toleran, serta menjunjung tinggi keadilan dan kesetaraan,” pungkas Marzuki.
No Responses