Guru PNS, PPPK, dan Honorer: Antara Idaman dan Nestapa

 LAPORAN UTAMA

Kesejahteraan dan keprofesionalan guru menjadi topik hangat yang sampai saat ini terus dibicarakan. Pembuatan kebijakan baru dalam dunia pendidikan selalu dilakukan. Munculnya kebijakan baru ini tentu menimbulkan berbagai reaksi. Seperti halnya saat Program PPG pertama kali dikenalkan ke publik.

Kesatuan sinergi tak terpisahkan antara kearifan lokal dan visi global menjadikan pendidikan sebagai nyawa
perubahan, dan PPG sebagai wahana proses penyiapan serta pembentukan generasi guru masa depan. Melalui tangan-tangan terampil para pendidik yang berdedikasi, UNY menghaturkan layanan pendidikan yang menginspirasi, memberdayakan, dan melibatkan para calon guru untuk menapaki jalan menuju eksistensi mereka sebagai penggerak peradaban. Dalam perkembangan dunia pendidikan, diperlukan guru-guru yang memulai karir mereka dengan kompetensi yang sesuai dengan standar dan dinamika pendidikan. Untuk mencapai tujuan ini, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemdikbudristek) telah
mengeluarkan berbagai kebijakan dalam transformasi pendidikan melalui program Merdeka Belajar. Program ini bertujuan untuk mewujudkan pendidikan berkualitas dengan mengubah paradigma dalam cara belajar mengajar. Transformasi paradigma ini mengakui peran guru sebagai pembelajar seumur hidup yang reflektif. Dalam rangka mencapai perubahan ini, perbaikan yang berkelanjutan pada Program Pendidikan Profesi Guru (PPG) dilakukan. Melalui upaya ini guru-guru maupun calon guru dapat terus meningkatkan kompetensi mereka dan mengikuti perkembangan terkini dalam bidang pendidikan.

Peningkatan SDM di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari proses pembentukannya. Guru sebagai tenaga pengajar memiliki peran yang besar dalam proses pertukaran ilmu pengetahuan dan ketampilan pada peserta didik. Keahlian dari para guru inilah yang menentukan keberhasilan kegiatan pembelajaran di sekolah. Berawal dari hal tersebut, maka munculah kebijakan Program PPG untuk menghadapi tantangan tersebut. Jika sebelumnya kebijakan berputar pada kurikulum dan sistem pengajaran, maka kali ini kebijakan ditujukan bagi para pengajarnya.

“Di Indonesia ada ratusan guru ilegal. Mereka itu adalah guru yang tidak memiliki sertifikat pendidik dan bahkan belum memiliki kualifikasi S1 atau D4,” ujar Prof. Suyanto saat ditemui.

Kebijakan Program PPG ini diharapkan bisa menjadi wadah untuk pengoptimalan potensi guru sebagai tenaga pengajar. Setiap guru akan bekal lanjutan sebagai bentuk pendidikan profesi yang mereka jalani. Program yang saat ini akan memasuki gelombang ke-3 ini bukan hanya untuk menjamin mutu guru, melainkan pemberi kesejahteraan guru.

“PPG itu artinya bahwa kita memang harus menghasilkan guru yang profesional. Kalau S1 kita itu belum profesional. Belum memiliki sertifikat pendidik. Sehingga untuk mendapatkan sertifikat pendidik dilatihlah dua semester. Di Program PPG tamatannya harus memiliki kompetensi untuk mendidik anak dari berbagai sisi supaya memastikan proses kegiatan mengajar,” tambah Prof. Suyanto.

Program PPG terdiri dari program prajabatan dan dalam jabatan. Kategori dalam jabatan inilah yang digadang-gadang akan memberikan kesejahteraan bagi para guru yang telah lama mengabdi. Umur dan masa wiyata bakti para guru ini juga dipertimbangankan setelah melalui pre-test,

Guru yang tidak memiliki sertifikat, ngga sah jadi guru. Jumlah kekurangan guru yang banyak membuat pemerintah tidak berdaya. Misalnya guru yang tidak memiliki legal standing diberhentikan akan menimbulkan masalah lain dari segi ketersediaannya. Sampai saat ini saja jumlah guru masih kurang. Guru-guru saat ini banyak yang diangkat di era SD Impres pada orde baru. Pemerintah saat itu belum punya round map untuk mengorganisir guru dan penempatannya,” jelas Prof Suyanto.

Program yang saat ini akan memasuki gelombang ke-3 ini bukan hanya untuk menjamin mutu guru, melainkan pemberi kesejahteraan guru.

Permasalahan ini sebenarnya sudah ada sejak lama. Terdapat banyak jumlah guru non-ASN, namun masih saja ada kendala pada penempatannya. Tiap tahunnya banyak lulusan guru yang berhasil diwisuda dari perguruaan tinggi, namun masih saja terjadi kekurangan tenaga pengajar.

Apakah menjadi seorang guru masih menjadi idaman? Hal ini dapat dilihat dari banyaknya jumlah pembukaan
pendaftaraan jurusan pendidikan diperguruan-perguruan tinggi. Namun, pertanyaan saat melihat langsung ke lapangan adalah apakah profesi ini benar-benar idaman atau hanya bentuk dari nestapa.

“Saya itu memulai jadi guru sejak 2005. Saya tu ngga langsung jadi guru, tapi mengajar mapel. Waktu itu ngajar bahasa inggris. Ehm, selama berapa tahun ya, sekitar dua tahunan lah. Dengan gaji waktu itu 50 ribu perbulan,” ungkap Primarita guru di SDN 1 Karangduwet.

Hal ini juga senada dengan pernyataan Wahyu, guru SDN Melikan, yang menjelaskan tentang sistem pembayaran selama menjadi guru non-ASN.

“Awalnya jadi guru itu, kami selesai kuliah tahun 2005. Kalau dulu itu selama jadi guru honorer gaji diberikan dari kepala sekolah menggunakan dana BOS. Terus berubah kedudukannya menjadi guru pengganti yang dipilih dan dibawahi pemerintah kabupaten sekarang namanya GP, baru digaji oleh pemkab,” kata Wahyu Guru SDN Melikan.

Permasalahan gaji kerap sekali diutarakan para guru honorer. Tuntutan mengajar dengan upah yang tidak setara membuat mereka kesulitan dalam menghidupi hidup mereka. Pelindungan kesejahteraan baru muncul setelah adanya kebijakan P3K yang membuat para guru honorer bisa memiliki gaji yang sesuai standar. Ditambah lagi dengan adanya Program PPG yang memberikan sertifikat bagi para lulusannya yang bisa digunakan untuk mendapat tunjangan.

Dalam saluran youtubenya Prof. Suyanto kerap menjelaskan mengenai kebijakan Program PPG. Kekhawatiran para calon guru tentang kebijakan ini terlihat dari komentar yang mereka berikan di kolom komentar. Ketidakjelasan kebijakan, kecemasan mengenai lulusan, dan kurangnya informasi seputar penyelenggaran kebijakan tersebut membuat profesi guru berada di posisi kurang baik.

Pelindungan kesejahteraan baru muncul setelah adanya kebijakan P3K yang membuat para guru honorer bisa memiliki gaji yang sesuai standar.

“Khawatir itu boleh, tapi kalau tidak PPG ya jangan. Sebenarnya yang ditakutkan selama PPG itu persoalan tidak jadi PNS bukan programnya. Mengenai ketidakjelasan nasib, bukan program,” ujar Prof. Suyanto.

Tidak adanya jaminan menjadi ASN di program PPG memang membuat calon guru cemas, tetapi mengikuti
program ini tentunya akan lebih meningkatkan probabilitas menjadi ASN. Lulusan perguruan tinggi layaknya memiliki soft skill untung menunjang ketrampilan seorang guru. Pola pikir guru tentu akan mengubah dan memberikan pandangan baru bagi para peserta didik.

“Guru harus memiliki growth mindset. Guru yang memiliki growth mindset bisa membuat anak-anak yang fixed mindset berubah menjadi growth mindset. Jika guru memiliki fixed mindset maka akan meracuni pemikiran murid-muridnya,” pungkas Prof. Suyanto.

No Responses

Comments are closed.