Lawatan akademik ke UNY membuahkan petuah untuk civitas akademika. Dimyati menegaskan pentingnya keseimbangan menuju WCU. Kuncinya penelitian dan pengabdian.
MASIH segar hari batik, Dr. Muhammad Dimyati, M.Si., Dirjen Penguatan Riset dan Pengembangan, turut merayakan perhelatan kultural itu. Motif batik parang rusak hitam lengan panjang yang ia kenakan menambah nuansa wibawa. Bersedia diwawancarai di depan KUIK, UNY, Dimyati memulainya dengan kedudukan dan kewajiban Universitas Kelas Dunia.
“Dalam konteks World Class University (WCU), semua darma punya peran. Termasuk tanggung jawab saya di kementerian tentang penelitian dan pengabdian masyarakat,” jelasnya. Dua poin itu, menurut alumnus Kyoto University, diwujudkan dalam publikasi dan kekayaan intelektual. Publikasi ini bukan lagi ditentukan oleh kuantitas publikasi ilmiah yang terindeks global, melainkan jumlah sitasi.
Perubahan parameter internasional demikian ditanggapi cerdas oleh Dimyati. Menurutnya, agar tepat sasaran, paling utama dosen harus mengubah strategi. “Diharapkan peneliti pada setiap bidang bersedia mensitasi pendapat kolega,” tuturnya. Sikap inferior ini diistilahkan Dimyati sebagai londo-minded.
Sitasi dan kekayaan intelektual itu seperti dua sisi mata uang. Dimyati menganggap para peneliti yang rajin riset dan mendaftarkannya ke Hak atas Kekayaan Intelektual (HAKI) itu sebagai ilmuan jempolan. “Sebab WCU hari ini diukur juga oleh kualitas dan kuantitas HAKI di suatu universitas,” katanya.
Pemerintah mendukung penuh upaya universitas di Indonesia dengan menyediakan pusat-pusat penelitian. “Ini dilakukan agar mendorong universitas masuk ke dalam cluster yang lebih baik untuk mengarah kepada WCU,” tuturnya. Di samping itu, lanjut Dimyati, pemerintah menyiapkan pendampingan intensif bagi perguruan tinggi yang masuk sepuluh terbaik.
Bukan Jurnal Semata
ANGGAPAN publik mengenai sumber sitasi yang semata-mata hanya jurnal ilmiah ditampik Dimyati. “Sebetulnya kita bisa mengutip dari buku teks atau media populer. Itu sangat terbuka untuk dijadikan sumber,” paparnya. Ia membebaskan hal-ihwal pengutipan itu kepada peneliti karena lebih memahami kebutuhan di lapangan.
Jawaban Dimyati bak menyiram tanah kering. Akademikus lintas disiplin mulanya ketar-ketir manakala kebijakan pemerintah yang menempatkan jurnal ilmiah sebagai parameter tunggal sitasi itu viral. Bagi ilmuan, sumber acuan tak sekadar dari jurnal, tetapi juga dari beragam sumber, baik tulisan ilmiah maupun populer. Hal demikian didasarkan atas konten internal, bukan format eksternal.
Keluwesan sumber kutipan tersebut bebanding terbalik dengan ketetapan produktivitas publikasi ilmiah bagi para profesor. Menurut Dimyati, kebijakan yang menuai polemik di antara guru besar itu sudah dikaji matang di tingkat kementerian. “Profesor kan jabatan tertinggi dalam akademik. Jadi, sudah semestinya menjadi teladan, baik dalam prilaku akademik maupun etika,” katanya.
Teladan guru besar ini, lanjut Dinyati, “Membawa sampai signifikan terhadap institusi yang dibawanya.” Ia mengutip ilustrasi proses bimbingan mahasiswa. Bila guru besar membimbing tugas akhir ilmiah, berarti ia juga harus menulis ilmiah agar bidang keahliannya terbarui terus-menerus. Ini Dimyati sebut sebagai tanggung jawab moral seorang ilmuan.
Dimyati melihat perbedaan yang menganga antara profesor Indonesia dan luar negeri. “Kalau di negara lain guru besar itu punya perencanaan yang matang seputar apa yang hendak ditelitinya,” jelasnya. Di negeri Jiran, menurut alumnus UGM tahun 1982 itu, sudah memiliki target riset selama satu tahun. “Ini sangat berbeda dengan di negara kita yang belum memiliki sasaran kualitatif yang jelas.”
Kebijakan pemerintah soal target publikasi oleh guru besar ditetapkan supaya para profesor tak mandek di zona nyaman. Kondisi ini mencemaskan bagi kehidupan intelektual. Dimyati mafhum betapa tanpa meneliti dan menulis, alih-alih ilmu pengetahuan akan subur, ia justru akan kering dan kemudian mati. “Jadi, peran profesor di situ sangat penting.”
Membangkitkan gairah meneliti juga tak semudah melipat tangan. Tapi, menurut Dimyati, hal demikian bukan berararti mustahil. “Maka dari itu pemerintah memberlakukan sistem evaluasi bagi guru besar. Dengan begitu kami berharap akan tumbuh kesadaran untuk tidak berhenti berkarya,” tutupnya.
No Responses