“Analekta pengalaman menjelang lebaran ala mahasiswa menyiratkan suasana ramai dan sepi. Yang senang bukan kepalang, yang sedih lekas bangkit”
Iklan sirup perlahan meredup dan berangsur digeser tayangan kesalehan simbolik. Baju koko, ketupat, peci, serta ekspresi khusyuk jabat tangan kian dipertontonkan di televisi. Simbol-simbol visual itu menandakan hari lebaran tinggal menghitung hari. Stasiun televisi, baik negeri maupun swasta, senada memampangkan iklan ala lebaran islami di Indonesia. Lebaran segera tiba, jamak orang suka cita.
Andre, mahasiswa PGSD angkatan 2016 UNY Jalan Bantul, girang menyambut hari fitri umat Islam itu. Lebaran ibarat kumpul dengan keluarga. Sanak-saudara bersemuka dengan pertautan cinta karena rindu tak lama bersua. Seminggu menjelang Idul Fitri, aktivis mahasiswa di bidang ilmiah itu, masih bertahan di Yogya.
Ia baru pulang kampung tiga hari lagi. Kerabatnya dari organisasi mahasiswa sudah mudik. Andre, bersama tiga orang sahabatnya, bercengkerama di sekretariat himpunan mahasiswa. Cara itu ia lakukan untuk mencairkan kepenatan setelah rapat menjelang PKKMB. “Mudik, bagi saya, ya sesuatu yang diharapkan tapi yang tidak kalah penting juga ketemuan dengan teman-teman di perantauan. Soalnya kan sebelum mudik banyak teman senasib yang masih tinggal,” katanya.
Lelaki berkacamata minus dua itu tak pernah tak melewatkan momen mudik. Tiap tahun ia pulang ke Cilacap. Di kota bagian paling barat di Jawa Tengah itu Andre lahir dan tumbuh. “Mudik di sana ya biasa-biasa saja. Acaranya seperti di banyak tempat. Yang paling mengesankan ya syawalan dengan keluarga,” tuturnya. Bagi anak pertama di keluarganya, ritual khusyuk semacam itu, menjadi arena peleburan dosa.
Tak banyak persiapan menjelang lebaran. Andre hanya membawa keperluan primer seperti pakaian dan sedikit oleh-oleh khas Yogya untuk keluarga. Yang membuat Andre ketar-ketir adalah lontaran pertanyaan keluarga besar soal kegiatan di kampus. Untungnya ia punya jurus jitu sebagai jawaban ciamik. “Biasanya ditanya gimana kuliahnya dan kegiatan-kegiatan di kampus. Kebetulan saya aktif di dua organisasi. Jadi, tidak hanya kuliah saja,” ucapnya.
Pertanyaan bernada investigatif acap ditemui manakala keluarga besar berkumpul. Andre belum masuk semester akhir. Tipe pertanyaan yang lazim ditemukan tak menyasar pada kapan lulus atau kapan nikah. Tapi pertanyaan bernuansa akademik seperti tuturan Andre, sebagaimana pengalaman-pengalaman lebaran sebelumnya. Andre merasakan selebrasi pralebaran walau masih di kampus yang suasananya relatif sepi.
***
Diana, mahasiswi semester akhir FBS, boleh merasa iri pada teman seperjuangannya. Momen mudik tahun ini tak semulus sebelumnya. Ia harus menghabiskan detik demi detik menjelang lebaran dengan laptop hitamnya. Diana pantang pulang kampung sebelum skripsinya tuntas. Kini ia sedang menganalisis dan menarasikan data di BAB IV. Sepanjang hari mengetik, merujuk pustaka, dan sesekali istirahat ketika dirundung lelah.
“Sebenarnya komitmen saja kenapa tahun ini aku tidak mudik. Soalnya mengejar pendadaran dan wisuda periode depan,” ujarnya ketika ditemui di Ruang Jurnal, Perpustakaan UNY. Bagi Diana, lulus di waktu yang tepat ialah kewajiban. Ia merelakan kesempatan mudiknya ke Banyuwangi batal. Padahal, Diana sempat mengecek tiket kereta di gawai pintarnya. Kursi kosong masih ada. Alih-alih memesan, ia malah mengalihkan pandangan ke tugas akhir.
Gadis berkerudung cokelat itu merasa sepi. Tapi kesepian tampaknya tak menekuk semangatnya. Mengatakan kalau usaha totalnya itu buat orang tua, Diana acap kali menghibur diri dengan membaca buku dan menonton film. “Sedih dan merasa sepi pasti. Kalau lagi begitu aku nonton film. Kalau tidak ya menyelesaikan novel. Aku lagi baca Raden Mandasia Si Pencuri Daging Sapi karya Yusi Avianto Pareanom,” ungkapnya.
Diana menyiasati momen syawalan dengan komunikasi jarak jauh. Ia menggunakan apilikasi telepon visual di WhatsApp. Seperti bulan-bulan sebelumnya, manakala kangen rumah, Diana pakai aplikasi itu. “Bukan hal baru sih. Bedanya kan kalau pas waktu lebaran bisa mohon maaf dengan orang tua pakai Video Call,” jelasnya. Layanan telepon pintar, seperti digunakan Diana, adalah cara alternatif merayakan lebaran dan syawalan jarak jauh. Tubuh tak hadir tapi potret visual tersampaikan secara digital.
Lain Andre dan Diana, lain Rektor UNY, Sutrisna Wibawa. Orang nomor satu di universitas itu merayakan lebaran bersama keluarga di Gunungkidul. “Di rumah saja. Tidak ada agenda lain. Agendanya silaturahmi,” katanya. Sutrisna memaknai Idul Fitri sebagai amanah. Menurutnya, tugas yang diamanahkan kepadanya mesti dilakukan secara fokus.
“Sesuatu yang kita fokuskan itu memiliki kekuatan yang tersentral. Otomatis akan berhasil jika kita fokus. Jika ingin meraih sesuatu itu kan kita konsentrasi pada apa yang mau diraih. Nah, momen lebaran di hari fitri ini kita segarkan lagi fokus utama amanah yang diberikan kepada kita,” urainya.
Kepada civitas akademia UNY, baik dosen, mahasiswa, maupun tenaga administratif lain, Sutrisna berpesan dalam rangka momen lebaran, yakni agar saling membahu dalam persatuan. “Saling memaafkan untuk memulai hidup yang lebih meningkat. Ini kan bulan syawal. Esensinya peningkatan. Prinsip kerukunan, rasa hormat, dan keselarasan itu bagian yang kita junjung tinggi.”
No Responses