“Ketekunan membuahkan hasil di hari depan. Janu membuktikan bahwa menjadi aktivis kampus bisa sekaligus berprestasi di dalam dan luar negeri”
Jemari putra Sleman, Janu Muhammad, menari di atas papan ketik. Sorot matanya sesekali menyapu tiap halaman pustaka untuk mengeksplorasi tiap aliena. Beratus-ratus lembar buku berbahasa Inggris ia baca dengan tekun demi mendapatkan pijakan gagasan para pakar. Meski udara dingin Britania Raya menusuk tulang, Janu tetap menulis tugas akhir untuk memenuhi tenggat bulan September mendatang.
Di negeri Ratu Elizabeth itu Janu mengambil Master Research in Human Geography di University of Brimingham atas beasiswa penuh Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP). Pilihan itu ia ambil untuk mengembangkan pengetahuan akademik yang didapatkannya semasa S-1 di Jurusan Pendidikan Geografi, FIS, UNY. “Di sana saya belajar aspek sosial dalam geografi seperti geografi perkotaan, pembangunan, politik, budaya, dan cabang lain,” katanya.
Walaupun di bangku sekolah menengah Janu mengambil kelas IPA, ia mengaku telah jatuh hati dengan pelajaran geografi. Studi lanjut selama jenjang SMA hingga universitas membuka cakrawala Janu. Geografi yang semula ia sangka hanya berorientasi ke ilmu alam ternyata juga mencakup lingkup sosial. “Dari geografi,” lanjut Janu, “saya belajar perpaduan dua ilmu.”
Menjembatani dua ilmu membuat Janu pandai mencari peluang penelitian. Di negeri Eropa ia memanfaatkan peluang untuk melakukan kontestasi ilmiah. Seperti tesis yang Janu mulai kerjakan pertengahan semester lalu, yakni memilih Belanda sebagai tempat penelitian. Ia memotret fenomena artistik geografi perkotaan di negeri kincir angin.
“Saya mempelajari aspek-aspek geografi perkotaan masyarakat urban di Belanda,” tuturnya. Betapapun, sebuah kota, menurut Janu, niscaya dipengaruhi dan mempengaruhi perilaku manusia. Janu meneropong aspek perencanaan wilayah, kebijakan pembangunan, dan bahkan partisipasi masyarakat sebagai titik strategis untuk menyukseskan visi-misi sebuah kota.
Konsekuensi logis atas pilihan cakupan penelitian itu mendorong Janu melakukan perjalanan Brimingham-Rotterdam. Perjalanan udara dan darat selama masing-masing satu jam (Brimingham-Amsterdam via pesawat dan Amsterdam-Rotterdam dengan kereta api) harus ia lakukan agar dapat menemui koresponden di Belanda. Janu acap mengambil positif proses itu, karena, bagaimanapun, di pesawat maupun gerbong kereta ia bisa menulis atau merenung dengan khusyuk.
Janu mengakui bahwa masyarakat Eropa, terutama Belanda, itu responsif. Tatkala hendak menyusun proposal penelitian ia mengirim surel kepada para koresponden yang telah dipilih. “Tidak menyangka mereka akan membalas e-mail saya itu dengan cepat dan positif,” ujarnya.
Sikap demikian Janu simpulkan sangat kooperatif. Terlebih di abad ke-21 ini yang menjunjung konektivitas sebagai syarat mutlak majunya suatu bangsa. Anggapan itu menampik Eropa yang kerap diasosiasikan sebagai negara individual. Ternyata justru sebaliknya.
Nilai humanisme yang Janu saksikan di bumi Anglo-Saxon itu memudahkannya dalam melalukan interaksi dengan masyarakat Uni Eropa. Selang beberapa bulan hilir mudik ke Belanda ia mampu menjawab pertanyaan seputar persepsi masyarakat terhadap pembangunan proyek besar di Kop van Zuid, Rotterdam. “Dari situ saya mendapatkan data dari awal perencanaan hingga implementasi,” paparnya. Dengan begitu, menurut Janu, “Saya bisa mendapatkan pelajaran agar bisa membandingkan kasus serupa di Indonesia, semisalnya pada proyek reklamasi Jakarta.”
Muda Berkarya
TAK ada proses sekali jadi dengan modal kemalasan. Pepatah Jawa seperti jer basuki mawa bea adalah keniscayaan bagi setiap pejuang yang ingin mewujudkan cita-citanya. Sebagaimana Janu yang kini studi di Eropa, ia telah membayar setiap jengkal rekam jejaknya dengan tetesan keringat. Menurutnya, jatuh dan letih dalam perjuangan ialah hal biasa dalam perjuangan. “Yang penting jangan disorientasi,” tegasnya.
Janu telah memulai kiprahnya ketika masih mahasiswa baru. Melihat potensi di UNY yang melimpah ia manfaatkan sebaik mungkin dan tak sekadar menyimak dosen di ruang kelas. Tapi juga ikut aktif di organisasi mahasiswa. Seluas apa pun relasi di kampus, Janu tetap memfokuskan di bidang penelitian dan pengabdian masyarakat. Ia pernah menjadi staf Penelitian dan Pengembangan di Himpunan Mahasiswa Pendidikan Geografi (HMPG) dan ketua Unit Kegiatan Mahasiswa Fakultas (UKM-F) Screen.
Bagi Janu, aktif di Ormawa adalah kebutuhan karena akan berdampak pada pengembangan diri. “Keterampilan khusus, semisalnya, bicara di depan publik, kepemimpinan, dan jaringan. Semua itu berguna usai kita lulus dari kampus,” paparnya. Modal tersebut mengantarkan Janu di posisi Ketua Perhimpunan Pelajar Indonesia Masyarakat Indonesia Brimingham (PPI-MIB) tahun 2017.
Kendati demikian, Janu mewanti-wanti agar bertanggung jawab pada setiap pilihan. “Kalau ikut organisasi jangan sampai lupa tugas utama, yaitu merampungkan studi.” Amanah itu Janu anggap sebagai bentuk prioritas mahasiswa terhadap orang tua.
Menurutnya, banyak cendekiawan yang lupa kuliah karena terlalu aktif di organisasi. Kenyataan itu ia temukan di setiap jenjang organisasi. “Jadi, agar kita bisa membagi waktu, kita bisa membuat jadwal kegiatan. Kalau saat kuliah sebaiknya fokus ke materi, sedangkan ketika organisasi seyogianya totalitas,” pungkasnya.
No Responses