Ke Alam Abadi, Manusia Mudik

 LAPORAN UTAMA

“Mudik tak hanya perpindahan fisik. Dari kota ke desa. Tapi mudik juga sarana kontemplatif. Perenungan asal-muasal. Dari Tuhan kembali ke Tuhan”

 

Berbondong-bondong orang mudik ke dusun tempat kelahiran. Membangun percakapan kepada sanak-saudara, mereka rela meluangkan waktu bersua di tengah kesibukan kerja. Mudik membawa berkah persaudaraan. Abdul Malik Usman memperdalam makna mudik. Ternyata mudik tak melulu soal pindah tempat, tetapi kesadaran transendental.

 

“Kembali ke tempat asal itu sebetulnya bisa diletakan ke dalam latihan atau prakondisi. Kita bisa ambil ibrahnya (pesan moral), bahwa kelak kita akan mudik ke kampung halaman abadi,” katanya. Abdul mendasarkan ucapannya itu dari terminologi innalillahi wa innailaihi rajiun. Mudik ke alam abadi juga harus membawa bekal. Menurutnya, bekal itu antara lain, iman dan amal saleh.

 

Mudik tiap tahun bisa menjadi momentum reflektif. “Sesungguhnya kita akan kembali ke Allah,” imbuh Abdul. Jamak orang, menurut ahli tasawuf itu, luput memaknai mudik ke titik akhirat. Mudik sebatas dipahami secara fisik, yakni perpindahan tempat satu ke tempat lain. Padahal, bagi Abdul, mudik mempunyai arti lebih luas dan tak sekadar mobilitas fisik.

 

Cak Nur, cendekiawan muslim, pernah menandaskan pengertian mudik dalam sudut pandang yang berbeda. Abdul mengutip kalimat pemilik nama lengkap Nurcholish Madjid itu. “Mudik itu tidak sekadar pergerakan manusia atau orang-orang kota kembali ke desa asal. Mudik sesungguhnya merefleksikan perjalanan anak manusia kembali ke akar eksistensialnya,” kutipnya.

 

Kata eksistensial diperjelas Abdul. Menurutnya, akar eksistensial tiada lain ialah Idul Fitri. Salah satu makna fitrah Idul Fitri, jelas Abdul, adalah kejadian. Titik berangkatnya didasarkan atas konsep manusia, selain makhluk jasmani, juga merupakan makhluk rohani. “Roh ini sebetulnya rindu ke tempat asal. Hakikatnya begitu,” ujarnya.

 

Setarikan napas dengan Cak Nur soal definisi “lain” mudik, Muhammad Ainun Nadjib, panggilan akrab Cak Nun, dalam esai terkenalnya bertajuk Budaya Mudik dan Kesadaran Sangkan Paran (2015), menulis, “Orang beramai-ramai mudik itu sebenarnya sedang setia pada tuntutan sukmanya untuk bertemu dan berakrab-akrab kembali dengan asal-usulnya. Mudik itu menandakan komitmen batin manusia terhadap sangkanparan dirinya.”

 

Ada kesinambungan jelas antara mudik dan kesadaran vertikal terhadap Tuhan. Keduanya dipertautkan oleh kehendak untuk kembali. Yang satu ke suatu tempat fisik, sedangkan yang kedua ke ruang batin menuju pencipta. Pada aras demikian, mudik, seperti penjelasan Abdul, Cak Nur, dan Cak Nun, mempunyai kerangka sama, sekalipun memiliki komponen subtil: mudik dapat dimaknai kembali ke tempat keabadian setelah wafat.

 

***

 

Filsuf Ren Descartes mengatakan cogito ergu sum—aku berpikir maka aku ada. Oleh Abdul dikonstruksi menjadi mudiko ergo sum. Maknanya kemudian menjadi, “Aku mudik untuk menyatakan aku ada. Aku mudik untuk menyatakan makna eksistensial.” Penegasan ini memotret gejala sosiologis pemudik di kampung halaman. Ia mudik untuk menegaskan kepada liyan bahwa dirinya masih ada.

 

Eskplanasi ciamik Abdul memberi bentangan luas kalau orang kota melakukan mudik maka ia menegaskan keberadaannya. “Bahwa mereka di kota tapi masih pulang ke desa,” tuturnya. Pulang ke kampung halaman tegas digeliatkan pemudik. Abdul menganalisis fenomena itu karena pemudik merindukan nilai-nilai primordial dan kasih sayang yang bersemayam di kehidupan desa. Nilai itu hampir luput di kehidupan kota.

 

Nilai luhur mudik, sebagaimana didedah Abdul, jarang diketahui mayoritas orang. “Kalau mudik hanya dimengerti sebatas rutinitas, ya itu persitiwa mekanik juga. Harusnya mudik dipahami pula sebagai mudiko ergo sum untuk menyatakan bahwa aku ada secara kultural dan nasab,” tutupnya.

No Responses

Comments are closed.