Karangmalang bukanlah Wakanda. Tapi laksana kota imajiner yang penuh modernitas tersebut, Digital Library juga hendak menyajikan hal serupa. 500 iMac dalam “Kebun Apel,” diharapkan membuat semangat pembebasan dan inspirasi yang ada di dalam Black Phanter, tak sekadar melintas di angan-angan. Namun mampu meresap dalam kalbu, sehingga berkontribusi bagi pengembangan prestasi dan keilmuan di UNY.
“iMac dianggap terlalu canggih. Padahal, perpustakaan kita juga berhak canggih,” ungkap Zamtinah
Vibranium boleh jadi tak pernah ditemukan selama empat bulan saat PT. Sasmito mengeruk tanah lahan parkir yang kini disulap menjadi Digital Library UNY. Tapi Prof. Sutrisna Wibawa, Rektor UNY, bercanda dalam post media sosial pribadinya bahwa gedung tersebut akan lebih canggih dari seantero Wakanda. 500 buah iMac yang telah didesain menjadi jeroan Digital Library sejak hari pertama ia dibuka dalam soft launching, Kamis (08/03/2017), menurutnya menjadi salah satu bukti kecanggihan Digital Library.
Itulah kenapa, walaupun Sutrisna tetap memekikkan “Wakanda Forever!” laksana para aktor dalam film berlatar kota imaji di Uganda tersebut, sang rektor tetap berani menantang King T’Challa, tokoh raja yang berkuasa dalam Black Phanter untuk menyambangi Kebun Apel dan beragam fasilitas yang ada di Digital Library.
“Kamis 8 Maret, Digital Library UNY mulai dibuka. Siapa tau King T’Challa dan Shuri mau studi banding!,” ungkap Sutrisna dalam post yang ia publikasikan di Facebook dan Instagram.
“Apel” karena Awet
“Kebun Apel” yang kerap menjadi sebutan para civitas UNY atas fasilitas yang ada dalam Digital Library UNY, sebenarnya merujuk pada wujud perpustakaan tersebut yang alih-alih menyediakan buku, justru sepenuhnya menggunakan buku digital yang bisa diakses dari 500 iMac dalam jaringan Digital Library. Arsitektur komputerisasi yang mengedepankan format digital untuk keseluruhan koleksi perbukuan UNY tersebut, kemudian populer sebagai Kebun Apel karena tersedia untuk mahasiswa dari layar-layar komputer bermerek Apple.
“Itu yang disebut Kebun Apel mungkin ya oleh anak-anak (civitas UNY). PC dengan brand Apple, dan OS iMac. (Sebutan Kebun Apel) menjadi heboh karena menurut vendor pengadaan sekalipun, ini (pengadaan komputer iMac) dianggap mewah dan untuk industri visual canggih. Padahal, perpustakaan kita juga berhak canggih,” ungkap Dr. Zamtinah, Kepala UPT Perpustakaan UNY.
iMac tersebut ditempatkan sejumlah 350 unit di gedung Digital Library, yang secara rinci berada di basement sejumlah 100 unit, 77 unit di lantai dua, serta 45 unit di lantai tiga. Sisanya, ungkap Sutrisna dalam Press Conference Soft Launching Digital Library UNY, diletakkan di gedung perpustakaan lama yang letaknya bersebelahan dengan Digital Library serta di Training Center. Walaupun terpisah gedung, seluruh iMac akan tetap terhubung dalam jaringan dan mampu mengakses koleksi jurnal, e-prints, serta katalog buku yang telah didigitalkan, bersama dengan komputer lain yang tersedia di penjuru UNY.
Masing-masing iMac yang ada di Digital Library tersebut, juga dilengkapi dengan Mouse dan Keyboard wireless yang menurut Dr. Slamet Widodo, Direktur PIU IDB UNY, siap memanjakan segenap sivitas UNY. “Siap langsung dipakai. Bahkan yang malas ke perpustakaan, bisa langsung buka direktori Digital Library UNY via online. PIU IDB memiliki tujuan untuk terus siapkan dan kembangkan sehingga akses jurnal maupun e-book bisa makin inklusif dan mudah untuk semua,” ungkap Samet.
Guna mendukung kenyamanan tersebut, iMac di setiap lantai dikondisikan dengan utilitas dan kebutuhan yang akan disajikan dalam masing-masing ruangan.Di lantai basement misalnya, 100 unit komputer iMac diletakkan diatas meja secara berjajar linear untuk mempersilahkan para pengguna mengakses koleksi maupun menggunakan fasilitas internet secara individu.
Oleh karena itu, masing-masing komputer dihadapkan dengan satu kursi single seater yang diposisikan berdekatan dengan kursi-kursi lainnya. Dengan demikian, penempatan iMac dan furnitur pendukung akan memastikan lantai basement tidak terlampau ramai karena desain ruangan yang memastikan para mahasiswa tidak menggerombol.
“Jadi memang untuk single use, suasananya untuk membaca dan pemakaian pribadi. Diskusi bagus, tapi tempatnya tidak di basement. Sejak dalam desain hal ini sudah menjadi concern pemilik proyek, dan dalam pelaksanaannya kita selalu duduk bersama untuk merangkai apapun -misalnya utilitas kabel,- sembari dilibatkan secara sistemik,” ungkap Nugroho W. Jatmika, Site Manager PT. Sasmito untuk Digital Library UNY.
Sedangkan di lantai dua dan tiga, komputer diletakkan dalam bilik-bilik yang memiliki sekat antar komputer dan jarak yang cukup representatif. Di kedua lantai ini, iMac dilettakkan dalam ruangan yang bertajuk private room. Sesuai dengan namanya, bilik-bilik bersekat tersebut memberi keleluasaan mahasiswa untuk mengakses kebutuhannya yang berbasis dengan literasi digital, sekaligus memberi kesempatan para mahasiswa untuk berkelompok jika pengguna tersebut menghendaki. Bagi Zamtinah, private room tersebut laksana bilik warnet yang selayaknya bisa jadi sarana sivitas akademika mengembangkan diri secara positif.
Walaupun demikian, penggunaan iMac dan brand Apple sebagai unit komputer yang tersaji dalam Digital Library, sebenarnya tak sekadar ditujukan untuk menghadirkan kecanggihan apalagi kemewahan semata. Slamet mengungapkan, pemilihan Apple sebagai perangkat komputer dilangsungkan berbasis kesepakatan atas desainer Ditjen Belmawa Kemristekdikti sebagai regulator dan pengarah, Islamic Development Bank sebagai pendana, serta UNY sebagai owner dalam proyek Digital Library yang dalam prosesnya dibantu oleh perusahaan konsultan hasil lelang terbuka proyek 7in1 IDB.
Kualitas yang bagus atas komputer Apple dan juga kekebalannya dari virus komputer maupun beberapa hack dan ransomware yang kerap menyebar di Indonesia, kemudian menjadi keunggulan. Dari situ para pihak secara konsensus memutuskan untuk menggunakan iMac. Termasuk, garansi dan after service atas produk Apple yang dirasa lebih mumpuni karena mampu menyediakan update MacOS secara rutin. Dibandingkan dengan Windows yang dalam beberapa kesempatan berganti seri, sehingga menyebabkan komputer yang menggunakan Windows versi lama tidak dapat memperoleh perbaruan keamanan maupun fitur lainnya yang sebenarnya vital bagi keberlangsungan utilitas komputer.
“Jadi basisnya memang utilitas. Apple dipilih karena awet. Disamping karena juga bagus dan modern. Misalnya beberapa komputer yang kita beli zaman Windows XP, saat ini kan tidak bisa diperbarui dan kalau mau Windows 10 harus beli lagi. MacOS, selalu berkesinambungan dan bisa diupdate. Sehingga (dengan adanya) kebun Apel yang awet ini, harapannya bisa maksimal untuk keperluan akademik,” ungkap Slamet.
Harus Pandai Merawat
Semangat modernitas yang lebih didasari atas utilitas alih-alih kemewahan tersebut, kemudian menghadirkan tugas bagi UNY untuk merawat fasilitas yang telah dihadirkan dalam rangkaian proyek bantuan 7in1 Islamic Development Bank (IDB) agar dapat dimanfaatkan secara lintas generasi. Sutrisna mengungapkan bahwa harga iMac yang relatif lebih mahal dari jenis komputer lainnya, walaupun menjanjikan kualitas yang baik laksana jargon ono rego ono rupo (ada harga, ada kualitas), bisa jadi menjelma laksana menara gading jika tak dirawat dengan baik.
Oleh karena itu, UPT Perpustakaan sebagai penanggung jawab dan pengelola universitas telah menyiakan langkah-langkah antisipatif. Para sivitas yang hendak menggunakan iMac di masing-masing lantai, wajib membawa kartu anggota perpustakaan yang merupakan satu kesatuan dengan kartu tanda mahasiswa. Sedangkan untuk dosen dan karyawan, diwajikan mendaftar terlebih dahulu menjadi anggota perpustakaan dengan cara menyerahkan SK terakhir dan pas foto 2×2 cm sebanyak 2 lembar. Mereka yang tidak memiliki keanggotaan perpustakaan hanya dipersilahkan menyambangi lantai 1 yang berisi ruang lobby.
“Jadi memang fasilitas iMac di Digital Library ini, khusus anggota perpustakaan. Yang berarti, khusus sivitas UNY maupun para pihak lain sesuai dengan kepentingan UNY. Layaknya tamu ataupun anggota Forum Kerjasama Perpustakaan Perguruan Tinggi Negeri (FKP2TN),” ungkap Zamtinah.
Mereka yang nantinya hendak menggunakan fasilitas komputer, kemudian diwajibkan untuk melapor pada operator komputer yang ada di masing-masing lantai. Teknisi bantuan operasional untuk Digital Library sekaligus tenaga bantuan mahasiswa (student employment), juga diungkapkan oleh Zamtinah akan diupayakan untuk menambah tenaga dalam pengawalan Digital Library. Baik dari segi keamanan layaknya hardware komputer, dibantu dengan pengawasan CCTV, maupun juga pengawasan penggunaan komputer secara konten oleh para civitas pemustaka. Sekat-sekat private room yang tidak tertutup secara penuh 360 derajat pun, membuat pengawas masih dapat melakukan inspeksi keliling.
“Jadi sekat private room tidak literally seperti warnet. Hanya ada batas antara meja komputer, tapi bukan berarti bilik-bilik tertutup tinggi pakai tirai. Intinya nyaman saja, dan kita tetap bisa melakukan mekanisme kontrol yang baik,” ungkap Zamtinah.
Salah satu yang perlu diawasi dari segi penggunaan, ungkap Sutrisna adalah hobi generasi milenial untuk bermain game online. Penyediaan iMac yang diniatkan untuk memberikan akses literasi berbasis digital, menurut sang rektor akan tercederai jika para mahasiswa justru menggunakannya untuk berselancar di dunia maya secara tidak produktif. Sehingga pengawasan dan peningkatan kesadaran semua pihak menjadi mutlak agar tujuan pengembangan prestasi dan keilmuan yang diharapkan hadir dari Digital Library mampu terwujud.
“Awas aja kalau iMac-nya kalian pakai buat game online! Saya jitak!,” ungkap Sutrisna sembari bercanda di laman media sosialnya.
Senada dengan hal tersebut, Prof. Intan Ahmad, Dirjen Belmawa Kemristekdikti, juga mengakui bahwa ketersediaan akses informasi yang dihadirkan UNY ini adalah tantangan bagi pembelajar itu sendiri. Seketat apapun pengawasan dari universitas sebagai penyelenggara, niat masing-masing tetaplah jadi acuan yang paling pokok. Jika memang para sivitas UNY telah sadar bahwa fasilitas yang ada selayaknya digunakan untuk belajar dan memperoleh informasi sebanyak-banyaknya, apalagi ditengah era disrupsi digital yang menurut Intan takkan segan-segan melibas mereka yang tak mau bergerak maju, maka Digital Library pasti akan menghadirkan manfaat layaknya yang dikehendaki semua pihak sejak awal.
“Kita itu selalu masalahnya niat. Dulu masalahnya TV, ada yang bilang TV mengganggu belajar. Dibuatlah jam malam, larangan, himbauan, dan sebagainya, tapi masih ada kan yang sembunyi-sembunyi nonton TV dan tidak mau belajar. Saya yakin hal seperti itu pasti juga akan ada (di Digital Library), akan tetapi mereka harus sadar bahwa kalau main terus dan tidak belajar, terlibas lah mereka. Kalah dari persaingan di era disrupsi digital ini,” pungkas Intan.
No Responses