Kesederhanaan “Ayahanda” HMI yang Melegenda

 LAPORAN UTAMA

Tak ada rumah, tak ada mobil, namun wakafnya telah menyemai kebaikan seantero negeri. Kehidupannya yang jauh dari hingar bingar kemewahan dan kepopuleran patut menjadi model para pejuang era kini.

Matahari nampak malu-malu siang itu. Tertutup sekumpulan awan seakan memayungi langkah kaki beberapa orang yang hendak menyambangi peristirahatan terakhir sang legenda. Usai melaksanakan sholat Duhur di Masjid Kamu’ Karangkajen Yogyakarta tibalah mereka di sana.

Sebuah kijing semen dengan kumpulan beberapa batu berwarna hijau, biru, putih di atasnya, menjadi penanda tempat peristirahatannya. Tak jauh darinya juga terbaring KH. Ahmad Dahlan, pahlawan nasional seperti dirinya.

Setelah dianugerahi gelar pahlawan oleh Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo pada 9 November lalu di Istana Negara, makam Lafran Pane banyak disambangi oleh mahasiswa, tokoh-tokoh Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) dan lain sebagainya. Mereka datang untuk memberikan doa serta mengenang sosok yang telah berjasa bagi kemajuan bangsa era awal kemerdekaan. Gelar pahlawan dianugerahkan kepada Lafran Pane sesuai dengan Keputusan Presieden Republik Indonesia Nomor 115/ TK/ Tahun 2017 tentang Penganugrahan Gelar Pahlawan Nasional. Sebelumnya, koordinator Nasional Presidium KAHMI Mahfud MD, bersama beberapa pengurus KAHMI dari seluruh wilayah Indonesia menemui Presiden Joko Widodo di Iatana Merdeka meminta presiden untuk menganugerahkan gelar pahlawan kepada Lafran Pane.

Lahir dalam keluarga terdidik tak lantas membuatnya tinggi hati. Tak seperti kedua saudaranya Sanusi Pane dan Armijn Pane yang popular sebagai sastrawan Indonesia, ia memilih jalan hidupnya yang sunyi dari hingar bingar kemewahan dan kepopuleran dunia. Tak sedikit yang bertanya siapakah sosok pahlawan nasional satu ini.

Kesederhanaannya terkuak dari pelbagai pengakuan rekan-rekannya saat kembali mengenang kehidupan Lafran Pane. Sebuah buku biografi karya jurnalis bernama Hariqo kian menambah wawasan akan sosok yang merupakan anak keenam Sutan Pangurabaan Pane itu.

Bus umum menjadi pilihan pria kelahiran Sipirok tersebut saat bepergian. Tak ada kendaraan pribadi kecuali sepeda yang ditunggangi setiap hari saat hendak menunaikan tugasnya sebagai pendidik seperti dikatakan asistennya selama menjadi dosen di IKIP Negeri Yogyakarta (UNY sekarang) Ekram saat ditemui tim Pewara, “Nah kalau kesederhanaannya gak usah diceritakanlah, beliau kemana-mana naik sepeda. Saking hati-hatinya naik sepeda sambil memegang pompa. Khawatir kalau di jalan kebanan. Itu betul-betul terjadi. Uniknya Prof. Lafran itu ya seperti itu,” kenangnya.

Hariqo dalam bukunya “Lafran Pane, Jejak Hayat dan Pemikirannya” mengungkapkan keterkejutannya saat mendapati Lafran tak memiliki rumah pribadi. Semasa hidupnya ia hanya tinggal di rumah dinas IKIP Negeri Yogyakarta bersama istrinya yang tak kalah sederhana. “Sederhana. Bahkan orang yang yang menurut saya sudah sangat sederhana hidupnya seperti Prof. Dr. Dochak Latief mengatakan: Lafran Pane itu sederhana sekali hidupnya. Soal kesederhanaan Lafran Pane ini sudah melegenda. Sepertinya, faktor didikan keluarga, faktor Yogya, dan lain-lain. Lafran tak punya rumah sampai meninggal. Saya sudah ke rumahnya, ke rumah teman dan murid-muridnya, ke ruang kerjanya di UNY, ke rumah anaknya di Bintaro dan ke kampungnya di Sipirok, semua jawabannya sama, Lafran sederhana sekali orangnya. Lafran tak punya ambisi politik mau jadi ini dan itu, padahal kesempatan ada dan tawaran tak pernah berhenti,” tulisnya.

IKIP Negeri Yogayakarta yang kini telah berubah nama menjadi Universitas Negeri Yogyakarta menjadi saksi bisu perjuangannya. Menggunakan baju, kacamata dan tas yang itu-itu saja menjadi ciri khas guru besar Ilmu Tata Negara tersebut.

Sebelum menjadi dosen di Yogyakarta. Lafran telah menempuh banyak perjalanan pendidikan pada masa sebelum kemerdekaan. Pendidikannya ia mulai dari pesantren Muhammadiyah di Sipirok. Dari jenjang pendidikan dasar hingga menengah Lafran berpindah-pindah sekolah. Hingga pada akhirnya Lafran Pane meneruskan sekolah di kelas 7 (Tujuh) di HIS Muhammadiyah. Lulus dari sana ia melanjutkan sekolahnya di Taman Dewasa Raya Jakarta sampai pecah Perang Dunia II. Pada saat itu ibu kota pindah ke Yogyakarta dan Sekolah Tinggi Islam (STI) yang semula di Jakarta juga ikut pindah ke Yogyakarta. Hal tersebut menjadi awal mula kehidupannya di kota pelajar.

Semasa di STI Lafran Pane mendirikan Himpunan Mahasiswa Islam atau HMI (tepatnya hari Rabu pon, 14 Rabiul Awal 1366 H /5 Februari 1947 pukul 16.00). HMI merupakan organisasi mahasiswa yang berlabelkan “Islam” pertama di Indonesia yang mengusung dua tujuan dasar. Pertama, Mempertahankan Negara Republik Indonesia dan mempertinggi derajat rakyat Indonesia. Kedua, Menegakkan dan mengembangkan ajaran agama Islam. Dua tujuan tersebut yang menjadi pondasi gerakan HMI hingga mampu bertahan hingga sekarang ini serta telah banyak melahirkan kader-kader pemimpin bangsa.

Sebelum lulus dari STI ia mengambil Akademi Ilmu Politik (AIP) Universitas Gadjah Mada. Saat itu ia tercatat menjadi sarjana pertama ilmu politik di Indonesia. Setelah itu ia memilih dunia pendidikan sebagai jalan hidupnya.

Dikenal sebagai sosok pendiri HMI, Lafran Pane lagi-lagi menolak dicap sebagai satu-satunya pendiri organisasi mahasiswa terbesar di Indonesia itu. Sujoko Prasodjo dalam sebuah artikelnya di majalah Media nomor : 7 Thn. III. Rajab 1376 H/ Februari 1957, menuliskan :

“….Sesungguhnya, tahun-tahun permulaan riwayat HMI adalah hampir identik dengan sebagian kehidupan Lafran Pane sendiri. Karena dialah yang punya andil terbanyak pada mula kelahiran HMI, kalau tidak boleh kita katakan sebagai tokoh pendiri utamanya” (www.kahmikukar.or.id).

Dengan segala kiprah dan usahanya menjaga NKRI serta kehidupannya yang sangat sederhana patut kiranya generasi saat ini meneladani sosok pahlawan nasional yang satu ini, di tengah kehidupan yang serba ingin menampilkan kemewahan di ruang-ruang publik media sosial.

 

No Responses

Comments are closed.