Ketika Karangmalang dan Mrican, Kembali ke Fitrah

 LAPORAN UTAMA

Kembali ke Fitrah, bagi Karangmalang dan Mrican tak hanya sekedar saling memaafkan dan berdoa kebaikan. Ia menjadi momen mengenang, betapa lengangnya daerah itu tanpa hiruk pikuk mahasiswa. Momentum warga atas pendatang yang kadang dirisaukan, namun juga tak jarang dirindukan.

 

—-

 

JEJAK hutan lamtoro di timur rektorat UNY, laksana terkisah dalam Pewara Dinamika edisi Maret 2016, telah dikenang selama hampir dua dekade. Pada awal 80-an, tatkala UNY bernama IKIP Negeri Yogyakarta, para pemangku jawabatan masa itu memilih tanaman jenis perdu sebagai bakal lahan hijau kampus. Dilansir dari ICRAF Agroforestry Tree Database, tanaman lamtoro masuk ke dalam suku Fabaveae atau polong-polongan. Selain penghijauan, tanaman itu dipercaya mencegah erosi.

 

Secara fisik, lamtoro memiliki jenis daun majemuk yang berbentuk sirip-rangkap. Biasanya, sirip lamtoro berjumlah 3-10 pasang. Poros sirip daun terletak sebelum sirip terbawah. Tiap sirip memiliki anak daun sebanyak 5-20 pasang yang berhadapan dan memanjang. Ia memiliki ujung runcing dan pangkap miring dengan permukaan yang halus dan berjumbai.

 

Lamtoro juga memiliki bunga majemuk yang berupa bongkol bertangkai. Uniknya, tangkainya panjang dan berkumpul dalam satu malai yang berisi 2-6 bongkol. Pada tiap bongkol, tersusun berdasarkan 100-180 kuntum bunga yang membentuk bola berwarna putih.

 

Selain itu, buah lamtoro mengandung sekitar 15-30 biji yang terlentang melintang pada tiap polongan. Bentuknya unik seperti telur sungsang. Dengan warna buah coklat tua mengkilap, biji lamtoro acap kali disamakan dengan biji petai. Meskipun demikian, secara ukuran biji lamtoro terbilang lebih kecil daripada petai.

 

Keunikan lamtoro inilah yang membuat khalayak jatuh hati padanya. Tak terkecuali bagi bocah berusia lima sampai sepuluh tahun. Sebelum hutan lamtoro digunduli, bocah yang berasal dari dusun Mrican maupun Karangmalang tak absen beramain di sana. Biasanya, tatkala bulan puasa, khusus bakda subuh, suara riuh-rendah para bocah terdengar di sekitar rektorat. Mereka bermain bersama dengan girang di bawah lindungan hutan lamtoro. Suasana masih sepi, dan hanya pekikan mereka yang mengisi kegaduhan Mrican pada tiap senja tiba.

 

Kenangan itu dituturkan oleh Ida, mahasiswi Pendidikan Tata Boga, 22 tahun, yang menjadi saksi historis masa kanak-kanaknya di hutan lamtoro itu. “Dulu saya santriwati di Masjid Baiturrahmat, Mrican, Pringgondani, yang sempat menikmati hutan lamtoro pada 2002. Saat itu sudah menjadi kebiasaan anak-anak di sekitar Karangmalang dan Mrican setelah subuhan untuk bermain di IKIP. Menurut kami kala itu, hutan di dekat rektorat tersebut sangat rindang, bahkan sangat nyaman untuk tiduran di sana,” tuturnya. Menurut Ida, sewaktu itu nama “IKIP” cenderung lebih familier di mata masyarakat sekitar.

 

Kini, hutan itu telah tiada seiring dengan berdiri kokohnya Gedung Pascasarjana Baru. Tepat di utaranya, rumah dinas berarsitektur tua dan kecil khas kediaman di masa lampau, termasuk satu rumah yang pernah dihuni Prof. Lafran Pane layaknya ditukil Pewara Dinamika edisi November 2017, juga telah sirna. Ia telah berubah menjadi Plaza UNY dan gedung-gedung kokoh penyokong fasilitas mahasiswa. Sedangkan suara Ida dan kawan-kawan, telah terganti dengan deru kendaraan yang selalu memadati Jalan Affandi, dulu Jalan Gejayan, kala jam pulang kerja.

 

“Saya tertegun. Saya orang Mrican, tapi cepat sekali bertumbuh dan berubah. Momen-momen sepi seperti ini, membuat saya berkilas balik,” ujar Sarono, Ketua RW 09 Mrican.

 

Koefisien hijau, dimana jumlah pohon dan ruang terbuka suatu lahan, memang tetap dijaga UNY. Namun ketiadaan kontur laksana di masa lampau, membuat orang-orang bernostalgik. Terlebih ketika mereka yang menjadi penghuni gedung-gedung baru itu, sedang berpulang ke kampung halamannya masing-masing. Tak hanya membuat kampus-kampus di daerah ini, layaknya UNY dan Universitas Sanata Dharma, menjadi lengang. Tapi juga kos yang mereka tempati, jalanan yang ia singgahi, hingga warung makan yang kerap dijabani mahasiswa.

 

Sarono mengungapkan, bahwa mahasiswa dan segala kegaduhannya, memang tak jarang dirisaukan. Tapi ketika mereka sedang kembali ke dekapan kampung asalnya masing-masing, warga Mrican tak hanya berkilas balik. Mereka juga merindukan Mrican, dengan segala dinamika kesehariannya.

 

“Jadi ya, ini momentum bukan hanya kita kembali ke fitrah. Tapi juga kampung kita, kembali ke fitrah. Desa sepi, kita rindu mahasiswa. Desa rame, kita rindu sepi. Intinya sejenak, dengan kesepian ini, kita kembali ke sediakala. Kembali ke fitrah,” ujar Nur Prayitno, salah satu pengurus RW 04 Mrican.

 

Lengangnya “Burjo”

 

Memasuki musim mudik yang berarti juga musim liburan bagi para mahasiswa, beberapa warung Burjo yang berada disekitar kampus juga terimbas menjadi sepi pembeli. Tak terkecuali pada warung Burjo yang berada di sekitar kampus UGM dan UNY misalnya, di daerah Karangmalang. Asep (27), salah satu pemilik burjo, menuturkan jika musim libur seperti ini warung miliknya sepi pembeli.

 

Ia mengatakan, sepinya pembeli ini mulai ia rasakan sejak Senin (11/06/2018) kemarin.

 

“Biasanya ramai. Kalau libur gini sepi, paling siang aja. Kalau hari biasa malam itu ramai sekali. Kalau 25 motor yang parkir ada kalau hari biasa,” tutur warga asal Kuningan ini.

 

Asep menambahkan, di hari biasa saja pembeli yang datang sampai duduk lesehan di seberang jalan karena ramainya pembeli. Dirinya menuturkan, rata-rata pelanggannya merupakan mahasiswa rantau asli luar daerah. Sehingga jika musim libur seperti ini mahasiswa kembali ke kampung halamannya.

 

“Jauh banget omzetnya turun. Ada kalo sampai 70%. Tapi semua itu disyukuri sajalah gimana. Kalau pas masuk wah Alhamdulillah,” kata Asep.

 

Ia mengaku pendapatan dari burjo selama musim liburan menurun. Namun bukan berarti semua burjo mengalami penurunan omzet. Karena kebanyakan burjo, justru memilih tutup saat lebaran guna turut pulang kampung ke penjuru Jawa Barat yang notabene menjadi tempat tinggal asal mereka. Pemilik dan para pedagang burjo, layaknya dikutip Tribunnews pada (28/12/2017), kerap ikut mudik gratis yang digelar oleh perusahaan mie instan atau minuman instan yang dijual di Burjo.

 

Kepulangan 1.650 pedagang warung makan Indomie (Warmindo)  DI Jogjakarta ke daerah asalnya di Kabupaten Kuningan, Jawa Barat dan sekitarnya selama dua minggu, mulai Senin (11/6) hingga sekitar akhir bulan Juni diperkirakan terjadi perhentian perputaran keuangan di warung burjo tersebut sebesar Rp 10,5 miliar.

 

Ketua Paguyuban Pengusaha Warga Kuningan (PPWK) DI Jogjakarta, Andi Waruga mengatakan, mudik gratis ini merupakan agenda tahunan hasil kerja sama dengan Indofood.

Pada tahun 2018, tercatat 1.650 pedagang Warmindo dan keluarganya yang ikut serta. “Jumlah peserta mudik gratis naik 150 orang dibandingkan tahuh lalu yang hanya 1.500 orang,” jelas Andi sebelum pemberangkatan mudik.

 

Mereka diperkirakan baru akan aktif kembali berjualan burjo dan mie instan pada 2 Juli nanti. Dengan jumlah anggota paguyuban mencapai 5.500 orang, terdiri dari pedagang maupun pegawai Warmindo, PPWK memprediksi gelombang mudik selanjutnya akan terjadi pada Rabu dan Kamis ini. Andi menyampaikan imbauan dari pihak kepolisian tentang larangan anggotanya mudik bareng dengan sepeda motor, demi keselamatan di perjalanan.

 

Branch Manager PT Indofood CBP Sukses Makmur area DI  Jogjakarta dan Semarang, Devie Permana menjelaskan, kegiatan mudik bareng tahun ini sudah yang ke 23 kalinya, sebagai bentuk terima kasih perusahaan kepada mitra kerja. Kegiatan mudik bareng dengan angkutan bus,  kali pertama dilaksanakan pada 1994. Selain digelar di Yogyakarta, mudik bareng Warmindo juga dilaksanakan di Semarang dan Solo.

 

Kembali Ramai di Akhir Bulan

 

Identik dengan predikat kota pelajar, sentra mahasiswa di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) diproyeksikan akan kembali ramai menjelang masa daftar ulang ataupun penerimaan mahasiswa baru layaknya tes seleksi masuk dan OSPEK. Menjelang tahun ajaran baru, calon siswa atau mahasiswa memang kerap disibukkan dengan mencari tempat kos atau kontrakan. Akhir bulan diproyeksikan menjadi waktu keramaian tersebut akan terjadi.

 

Salah satu lokasi yang menjamur bisnis kos-kosan di wilayah Karangmalang, Desa Caturtunggal, Kecamatan Depok, Kabupaten Sleman, DIY. Di wilayah tersebut berdiri kampus negeri ternama, Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) dan Universitas Gadjah Mada (UGM). Hal itu yang mendasari banyaknya tempat kos di sekitar wilayah itu.

 

Biaya kos yang ditawarkan bervariatif, ada yang bisa disewa harian, bulanan hingga per tahun. Fasilitasnya pun menyesuaikan dengan harga sewa. Untuk kos paket hemat, Jayadi sebagai salah satu pemilik kos daerah Karangmalang menyatakan harga yang ia tawarkan sebesar per bulan sekitar Rp 459 ribu. Fasilitasnya kamar ukuran 2,5×3 meter, dan sudah termasuk biaya listrik dan air.

 

“Tapi kalau di tempat saya minimal satu tahun sewa, Rp 5,5 juta per tahun,” kata Bu Jayadi, seorang pemilik kos yang berada tepat di belakang kampus UNY, Senin (9/7/2018).

 

Menurutnya, rata-rata kos di wilayah Karangmalang biaya sewanya standar seperti yang dia pasang. Kos-kosan itu ada yang jadi satu dengan induk semang, ada yang berdiri terpisah dengan rumah pemilik kos.

 

“Ini jadi satu dengan rumah saya, jadi keamanan cukup terjamin. Jam tamu berkunjung juga dibatasi, termasuk tamu lawan jenis ada aturan dilarang masuk kamar,” jelasnya.

 

Sementara bagi yang ingin kos di kos-kosan eksklusif, di wilayah Karangmalang ada yang menawarkan dengan biaya sewa Rp 2,8 juta per bulan. Fasilitas yang ditawarkan bak menginap di hotel. Ada fasilitas parkir mobil dan motor di dalam, wifi, tv kabel, full perabotan di dalam kamar, kamar mandi di setiap kamar, laundry, mandi air panas, dan pengamanan sekuriti serta kamera CCTV 24 jam.

 

“Kalau harian Senin-Kamis Rp 200 ribu, Jumat-Minggu Rp 225 ribu,” kata Didik, seorang pengelola kos eksklusif yang terletak di antara kampus UNY dengan UGM itu.

 

Pada Minggu pagi, (08/07/2018), dan dua minggu setelahnya, (22/07/2018), keramaian mencari kos tersebut bertumbukan dengan agenda ujian seleksi mandiri yang digelar UGM dan UNY secara berurutan. Bagi UGM sendiri, layaknya dikutip portal ugm.ac.id, peserta Ujian Tulis UGM tahun ini mencapai 60,571 peserta.

 

“Ini meningkat dari tahun sebelumnya yang mencapai 47,306 peserta,” kata Panut dalam jumpa pers di Ruang Sidang Rektor UGM pada (08/07/2018).

 

Sedangkan Seleksi Mandiri (SM) Ujian Tulis di Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) tahun 2018 yang digelar dua minggu setelahnya, diikuti 20.157 peserta. Menurut keterangan tertulis Setyo Budi Takarina, Kepala Biro Akademik Kemahasiswaan dan Informasi UNY, peserta SM terbagi atas 19.486 peserta ujian tulis dan 671 orang peserta CBT (Computer Based Test).

 

Jumlah peserta ujian tulis mengalami kenaikan sebesar 12 persen dibandingkan tahun sebelumnya yang diminati 18.041 orang. Jumlah pendaftar rumpun Sains dan Teknologi sebanyak 5.938 peserta, Sosial Humaniora sebanyak 12.816 peserta, dan Campuran sebanyak 1.403 peserta.

 

“Selama pelaksanaan ujian tulis seleksi mandiri berlangsung, pengguna jalan diimbau agar menghindari ruas Jalan Colombo, Yogyakarta dan sekitarnya untuk mengantisipasi kemacetan. Walaupun, kegiatan di UNY juga telah berlangsung sejak usai libur lebaran. Kegiatan sofstkill untuk mahasiswa baru, misalnya,” ujar Prof. Sutrisna Wibawa, Rektor UNY. Menandakan daerah Karangmalang dan Mrican, akan kembali lagi ke fitrahnya di masa kini: sebagai salah satu pusat pencerdasan bangsa.

No Responses

Comments are closed.