Gejayan terus bergelora. Di tahun 1998, mahasiswa membanjiri jalanan dengan tuntutan reformasi. Dua puluh tahun kemudian, mahasiswa diharapkan kembali membanjiri
Gejayan dan bangsa. Dengan prestasi dan ekspresinya, untuk bersama menjadi motor gerakan keilmuan
Gerakan mahasiswa senantiasa punya romantikanya tersendiri. Didalamnya, ada rasa cinta tanah air. Ada pula pengorbanan atas waktu, tenaga, pikiran, dan bahkan harta. Yang walaupun jika dijumlah secara nominal kerap tak seberapa, namun maknanya begitu besar bagi mahasiswa itu sendiri dan bagi masyarakat yang dilibatkan. Setidaknya, inilah yang digambarkan Prof. Ahmad Syafii Maarif, Guru Besar UNY dan Guru Bangsa, kala mengingat pengalamannya dahulu sebagai aktivis HMI. Di kala reformasi bergelora, ia memegang amanah untuk menakhodai PP Muhammadiyah. Menggantikan Amien Rais yang lengser keprabon untuk turut menjadi lokomotif pendesak reformasi bersama para mahasiswa. Termasuk, mahasiswa yang tergerak memadati Bundaran
Kampus UGM, lalu terlibat dalam bentrokan di Gejayan.
“Ketika saya sempat sekali dua kali di Jogja, saya dengar dan lihat itu Gejayan Kelabu (Peristiwa Gejayan, Tragedi Yogyakarta, 8 Mei 1998). Saya kira, semua orang Jogja melihat,” kenang Buya kepada Pewara Dinamika.
Kenangan itu, lengkap dengan ketragisan dan nuansa heroisme, mengantarkan Indonesia pada suasana reformasi di hari ini. Bagi Buya, era pengorbanan fisik ala bentrokan seperti Gejayan sudahlah berakhir. Namun semangat untuk menyuarakan gerakan, tak boleh berakhir
Inilah mengapa, bagi Buya, Gejayan tak boleh berhenti dibanjiri mahasiswa. Namun jika dulu dibanjiri oleh gerakan reformasi, yang harus dihadirkan hari ini adalah gerakan ilmu. Yang diorientasikan untuk melahirkan kader-kader ilmuwan mumpuni, agar mampu menjadi penentu keberlangsungan kehidupan bangsa ini.
“Saya pertama kali mengucapkan konsep tersebut waktu belum menjadi Ketua PP Muhammadiyah. Tepatnya, pada tahun 1985 di Fakultas Teknik Universitas Muhammadiyah Jakarta. Gerakan yang senantiasa dibutuhkan bangsa ini kedepan, ya gerakan keilmuan,” tegas Buya.
Signifikansi “Gerakan Keilmuan” Gejayan Kelabu adalah satu dari sekian banyak kisah heroisme mahasiswa. Namun sejak kolonialisme masih berkuasa di Nusantara, Boedi Oetomo yang didirikan di tahun 1908, justru tidak bergerak dengan medium konfrontasi fisik. Digambarkan oleh Sardiman, sejarawan UNY, ketiadaan konfrontasi fisik itulah yang justru mampu menempatkan organisasi tersebut sebagai salah satu tonggak penting persatuan dan kesatuan rakyat Indonesia dalam entitas sebuah bangsa.
Ketiadaan tersebut, dapat tercermin dari anggaran dasar dan tindakan yang dilakukan organisasi tersebut. Pasal 2 anggaran dasar organisasi tersebut misalnya, menyatakan bahwa Boedi Oetomo bertujuan untuk menggalang kerja sama guna memajukan tanah dan bangsa Jawa dan Madura secara harmonis
Sedangkan dalam surat edaran kala Boedi Otomo didirikan, Sowearno sebagai Sekretaris I organisasi tersebut menulis bahwa berdirinya organisasi ini dikehendaki sebagai pelopor untuk mewujudkan pendidikan bagi seluruh rakyat. Dengan tugas utama, merancang cara-cara yang tepat untuk mencapai terwujudnya suatu pendidikan yang serasi bagi negara dan rakyat Hindia Belanda.
“Disinilah letak gerakan keilmuan Boedi Oetomo. Mengajak untuk belajar, mendidik, dan berpikir. Dan inilah mengapa, walaupun Boedi Oetomo tidak bisa disebut organisasi nasional yang pertama, ia menggemparkan dan signifikan,” ungkap Sardiman merefleksikan mengapa Hari Kebangkitan Nasional, diperingati bersamaan dengan pembentukan organisasi ini.
Organisasi sebelum Boedi Otomo yang dimaksud oleh Sardiman, adalah Sarekat Dagang Islam (SDI). Didirikan pada tanggal 16 Oktober 1905, tiga tahun lebih awal dibanding Boedi Otomo yang baru terbentuk di tahun 1908.
Boedi Otomo, juga pada awalnya diisi oleh kalangan pemuda yang masih mahasiswa. Dengan mayoritas, mahasiswa STOVIA. Melalui gerakan keilmuan, embrio yang sifatnya dari serambi-serambi diskusi mahasiswa kemudian menyebar menjadi nasionalisme rakyat Indonesia. Boedi Oetomo seakan menjadi pemicu kesadaran para tokoh pergerakan nasional untuk mulai berjuang dengan cara berorganisasi.
Dan itulah mengapa, Van Deventer sebagai pencetus politik etis, layaknya dikutip di Majalah De Gidds. berdirinya Boedi Oetomo sebagai sebuah keajaiban. Het wonder is geschied, insulinde, de schoone slaapeter, is ontwaakt, katanya. Yang artinya suatu
keajaiban telah terjadi, Insulinde, putri cantik yang tidur itu, telah bangkit.
“Barangkali, bermula dari istilah ontwaakt (bangkit) yang disampaikan van Deventer itu, kelak hari kelahiran Boedi Oetomo diresmikan sebagai Hari Kebangkitan Nasional. Sebuah kebangkitan yang berasal dari keajaiban gerakan keilmuan,” kata Manuel Kaisiepo, salah satu pahlawan Indonesia, dalam tulisannya berjudul ‘Dari Kebangkitan Jawa ke Kebangkitan Nasional’.
Berkembang Sesuai Zaman Konsep gerakan keilmuan kemudian berkembang sesuai zamannya. Di era reformasi bergelora, disebut oleh Prof. Ichlasul Amal, Guru Besar Ilmu
Sosial UGM, gerakan keilmuan yang terjadi adalah pemikiran mahasiswa tentang apa yang terbaik untuk kelanjutan negerinya. Itulah kenapa, gerakan di tahun tersebut punya
tujuan yang beragam namun konkrit: mulai dari menurunkan Presiden Soeharto, pemberantasan Korupsi Kolusi Nepotisme (KKN), revolusi, hingga menentang intervensi militer terlalu jauh di ranah sipil melalui dwifungsi ABRI.
“Dengan adanya gerakan keilmuan itu, mahasiswa mengkaji, berkontemplasi, hingga sampai pada pikiran: gerakan reformasi tahun 1998 merupakan satu jalan yang harus ditempuh untuk memperbaiki sistem kepemimpinan nasional,” kenang Ichlasul yang di saat era reformasi, sedang menjabat sebagai Rektor UGM.
Namun sayangnya seiring kelahiran reformasi, gerakan keilmuan tersebut seakan belum mengalami keberlanjutan yang baik. Adanya demokrasi dan desentralisasi misalnya, membuat tindak pidana korupsi akan banyak terjadi di daerah. Di sinilah, mahasiswa
kemudian dibutuhkan untuk melakukan gerakan keilmuan di era kontemporer.
“Saya rasa harus seimbang (demo mahasiswa di jalanan dengan pemikiran keilmuan mereka melalui kajian dan diskusi),” pesan Amal yang dikenal sebagai rektor reformis itu.
Dalam pandangan Rosyid Shidiq Hidayatulloh sebagai Ketua BEM KM UNY 2018, gerakan mahasiswa memang senantiasa bertujuan untuk menggerakkan masyarakat. Tak terkecuali di hari ini, dengan cara mengedepankan politik nilai yang dilandaskan gerakan keilmuan dan buah-buah pikiran serta perjuangan para mahasiswa.
Semangat sumpah pemuda kala pendiri-pendiri bangsa bersepakat dengan tanah air, bangsa, dan bahasa Indonesia, terus diteladani dengan cara mahasiswa Indonesia untuk meningkatkan perannya sebagai penggerak perubahan (agent of change), penjaga kehidupan sosial (social control), dan pengembang nilai-nilai kehidupan yang baik (moral value).
“Terlebih lagi di Era 4.0, eranya milenial. Keberanian dengan inovasi dan gebrakan, membutuhkan penggagas dan penggiat baru di bidangnya masing-masing. Disinilah peluang mahasiswa untuk berprestasi dan berekspresi. Sampaikan narasi kegelisahan
rakyat, dan sampaikan solusi kita,” tegas Rosyid.
Pada peringatan sumpah pemuda nanti, BEM UNY bersama dengan BEM Seluruh Indonesia (BEM-SI) akan menginisiasi Kongres Pemuda Indonesia III. Dalam aksi yang akan digelar di Istana Negara tersebut, BEM UNY akan membawa isu terkait pendidikan yang dibawa dari kajian atas fenomena-fenomena yang ada di masyarakat. Misalnya, gaji guru honorer agar disetarakan UMR. Untuk mampu menyampaikan pesan tersebut dengan baik, mahasiswa yang nantinya terlibat aktif dalam organisasi dan UKM,
biasanya disebut aktivis, disebut Sumaryanto selaku Wakil Rektor III UNY harus belajar manajerial dan strategi komunikasi yang baik.
Dengan demikian, mahasiswa nantinya bisa menjembatani gagasan maupun kesibukan yang ada, guna menghadirkan prestasi-prestasi yang membanggakan universitas. Termasuk, tanpa meninggalkanindeks prestasi dan kompetensi pribadi yang harus ia raih sebagai mahasiswa.
“Jadi kegiatan sebagai mahasiswa aktivis itu kegiatan yang baik. Lebih baik lagi dalam kerangka keilmuan, aktivis, tahu kapan latihan, kapan organisasi, kapan tanding, kapan
belajar. Asumsinya, pimpinan organisasi mesti belajar dan akan dapat pengalaman baik, dari segi manajerial dan kepemimpinan,” ungkap Sumaryanto.
Para aktivis sebagai bagian dari gerakan keilmuan, juga diharapkan untuk berkembang
linear dengan kewajibannya. Dimana selain menghadirkan diri untuk civitas UNY maupun bangsa melalui buah pemikirannya, juga harus mewujudkan prestasi dan menuntaskan kewajibannya sesuai bidang yang ditekuninya.
Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) misalnya, dapat menyalurkan sikap kritis yang dimilikinya untuk kegiatan produktif layaknya menghadirkan pemikirannya dalam
bentuk keikutsertaan dalam kajian, diskusi yang mengembangkan cakrawala berpikir, lomba esai, artikel jurnal bertema sosial, hingga seminar.
“Intinya, kegiatan jangan kontraproduktif. Gunakan kepintaran itu untuk prestasi. Asah terus talenta yang ada lewat pembinaan maksimal sesuai minat dan bakat anda. ,” pungkas Sumaryanto.
No Responses