Mahasiswa vokasi itu tak lagi boleh duduk terlalu lama di dalam kelas. Berpraktik ria, melek teknologi, serta menempa diri menjadi luwes dan terampil, harus jadi prioritas. Sehingga jikapun harus menempuh pembelajaran tatap muka di kelas, ia tidak boleh duduk. Tapi harus berdiri berargumentasi serta menerapkan ilmunya dalam tataran praktis, sembari mencoba secara langsung apa yang telah didengar dan dipelajarinya. Bukan sekadar membaca dan menghapal, lalu menuliskannya kembali dalam publikasi atau ujian akhir, demi nilai dalam transkrip.
Disinilah bagi Prof. Sutrisna Wibawa, Rektor UNY, letak perbedaan vokasi UNY kelak dibanding ketika program studi diploma masih dibawah Fakultas Teknik dan Fakultas Ekonomi. Keduanya lahir dari rahim yang berbeda. Pendidikan strata sarjana berbasis pendidikan akademik yang filosofis-teoritik, sedangkan pendidikan vokasi dilahirkan sebagai pendidikan keterampilan berbasis praktikal. Sebagai putra-putri yang dilahirkan dunia pendidikan tinggi, keduanya juga diharapkan tumbuh dengan jenis kelamin yang berbeda: antara paper dan publikasi, dengan karya nyata.
“Sehingga dari perbedaan value itu. Vokasi jangan sampai digabung akademik. Penggabungan seluruh diploma ke Sekolah Vokasi di Wates hendak menjawab itu,” tekan Sutrisna.
Teaching Industry dan Mata Kuliah Baru
Membangun sekolah vokasi tentunya akan dihadapkan pada tantangan yang tidak mudah. Dalam tataran filosofis, menurut Prof. Slamet, Guru Besar Fakultas Teknik UNY, Pendidikan Vokasi harus dibangun dengan basis keterkaitan (link) dan kesepadanan (match) dengan dunia industri. Pendidikan vokasi baginya diselenggarakan harus demi memenuhi kebutuhan tenaga kerja, sehingga kemampuan yang dibangun dalam diri peserta didik haruslah yang benar-benar dibutuhkan.
“Dan dari situ, kurikulum yang harus dibentuk adalah kurikulum “perkawinan”. Mengawinkan pengajaran di dunia pendidikan, dengan apa yang dunia kerja butuhkan,” ungkap Slamet.
Di tataran praktis, filosofi kurikulum perkawinan itulah yang melahirkan program teaching industry. Sebagai nyawa dari pendidikan vokasi, ide dari teaching industry adalah menukar tempat para pihak. Mahasiswa digembleng untuk magang di industri, dan menarik orang industri menjadi dosen di perguruan tinggi. Dosen lama juga tak ketinggalan dari program ini, karena mereka juga akan diboyong untuk magang.
“Jadi teaching industry ini mengawinkan. Dua duanya harus merasakan satu sama lain, sehingga sama-sama tahu bagaimana mengembangkan ini (pendidikan vokasi) menjadi lebih praktikal,” ungkap Sutrisna.
Dalam tataran kebijakan, program ini juga bertaut dengan treasure study yang telah lama digelar UNY bersama Ikatan Alumni (IKA) UNY. Selama ini, alumni dalam beberapa kesempatan diundang ke kampus untuk berkontribusi dalam penyusunan kurikulum tentang keahlian apa saja yang dibutuhkan di lapangan. Sehingga dengan menggaet informasi dari pengalaman bekerja para alumni, kurikulum disesuaikan dengan ilmu konkrit dan semakin dekat dengan masyarakat.
Ia kemudian mengisahkan salah satu usulan di program studi Pendidikan Guru Sekolah Dasar (PGSD). Dimana alumni yang ikut duduk dalam program treasure study, mengusulkan bahwa PGSD memiliki mata kuliah pengembangan media pendidikan. Jikapun sudah ada, mata kuliah tersebut dimintanya untuk menjadi lebih komprehensif. Karena, guru masa kini dituntut bisa mengajar lebih menarik dan atraktif guna melibatkan siswanya secara aktif tanpa kekerasan.
“Dan usulan ini menarik, karena selain merefleksikan pengalamannya di lapangan, tujuannya juga mulia: agar siswa SD itu tercerdaskan,” ungkapnya. Dari kebijakan itu pula program mata kuliah yang dekat dengan masyarakat muncul.
Bagi Octo Lampito MPd, Pemimpin Redaksi SKH Kedaulatan Rakyat, yang menjadi salah satu narasumber dalam Diskusi Pendidikan dan Forum Media pada Senin 5 Juni 2017 di Ruang Sidang Utama Rektorat UNY, vokasi sudah selayaknya tidak hanya membekali siswanya dengan kebutuhan teori bahkan praktik. Namun juga mata kuliah pendidikan karakter dan kewirausahaan karena keduanya tanpa bisa disangkal sangat dibutuhkan di dunia kerja.
Ada lima mata kuliah yang setidaknya diusulkan oleh Octo: negosiasi, kerja tim, kepemimpinan, pemecahan masalah, dan etos kerja. Bobot SKS nya bisa disesuaikan sesuai kurikulum kampus. Pendidiknya bisa dari para praktisi industri, psikolog, hingga HRD. Dan pembelajarannya harus menyentuh tataran praktis yang ada di lapangan. Bukan menghapal teori dan filosofi negosiasi menurut pemikir-pemikir ternama secara epistemologis dan ontologis semata.
“Satu SKS saja tak masalah. Tapi yang penting, skill ini harus dikenalkan. Bukan teori negosiasi, tapi benar-benar latihan. Tatap muka, wawancara kerja, tahu harus berkata apa dan menjawab apa,” tegas Octo.
Selain itu, sebagai pelengkapan dalam praktik di tataran kegiatan, semua program pendidikan vokasi hendaknya dilandasi kearifan lokal. Kearifan dan karakter inilah yang akan membuat para lulusan dapat bertahan dalam globalisasi dengan keunikannya tersendiri.
“Karena di tengah globalisasi ini, potensi dan karakter kita masing-masing sebagai bangsa itu justru harus jadi pembeda keunggulan kita dibanding pekerja dari negeri lain. Bagaimana caranya ngono, ning ojo ngono,” pungkas Slamet.
Dirintis dari FT dan FE
Peran Fakultas Teknik dan Fakultas Ekonomi sebagai induk prodi diploma dalam status quo, kemudian menjadi penting guna menggenjot asa menuju Sekolah Vokasi UNY. Di satu sisi, pembangunan vokasi mengharuskan keberadaan kelengkapan laboratorium sebagai sarana praktikum. Dan satu tahun menuju perintisan Sekolah Vokasi UNY yang diagendakan pada tahun 2018 ini, akan diagendakan untuk melengkapi sarana prasarana.
Bagi Fakultas Ekonomi, kebutuhan laboratorium dan kerjasama dengan dunia industri itu cukup beragam. Mulai dari praktek audit, akuntansi biaya, statistika, perpajakan, perbankan syariah, dan beragam lainnya yang masing-masing membutuhkan laboratorium dan fasilitasnya masing-masing.
“Jadi memang harus berdiri dulu minimal 60-70% praktek. Dan itu tidak mudah. Tapi kami lebih cocok diploma itu dibawah sekolah vokasi sehingga siap go-go (mendukung) saja,” ungkap Dr Sugiharsono, Dekan FE UNY.
Hal senada diungkapkan Dr. Widarto, Dekan Fakultas Teknik UNY. Namun bagi Fakultas Teknik, tantangan yang dihadapi tak kalah hebat dengan prodi dari Fakultas Ekonomi. Jika ketiga program studi dari Fakultas Ekonomi seluruhnya telah berada di Wates sejak 2001, delapan program studi diploma dari Fakultas Teknik hingga kini masih bertempat seluruhnya di Kampus Karangmalang. Memindahkan seluruh program studi lengkap dengan peralatan memfasilitasi praktikum teknik tentu butuh waktu dan biaya tinggi. Termasuk, bagaimana mengakomodir kepentingan pengajar dan mahasiswa yang telah lama berbasis di Karangmalang.
“Sehingga tantangannya begitu tinggi. Resistensi dari rekan-rekan baik dosen dan mahasiswa pun belum sepenuhnya siap jika dipisah ke Kulonprogo (Kampus Wates). Tapi menurut saya sah-sah saja karena memang itu tuntutan zaman. Dan keberhasilan (pembentukan Sekolah Vokasi) itu akan jadi sangat monumental dari Pak Tris dan UNY,” ungkap Widarto mendukung pembangunan vokasi.
No Responses