Mai, Aku Pulang

 CERPEN

Dering posel menghentikan tarian jari Samaira di atas keyboard laptopnya. Ia lalu melirik ke arah poselnya yang menyala, Ada sebuah pesan masuk dari Darren kekasihnya.

“Selamat malam, maaf aku baru ngabarin. Aku baru pulang lembur, ada cerita apa hari ini?”

“Malam, Ren. Kamu mandi dulu, makan. Setelah itu aku cerita.”

“Oke, tunggu ya 20 menit.”

“Iya, Sayang.”

Waktu menunjukkan pukul 21.15, memang belum terlalu malam bagi Maira. Maira biasa tertidur tengah malam hanya karena mengerjakan skripsinya. Maira gadis cantik berambut sebahu itu ambisius menyelesaikan kuliah 3,5 tahun. Lebih parahnya dia terkadang lupa dengan kondisi kesehatannya sendiri. Sakit asam lambungnya sering kumat hanya karena telat makan. Sebenarnya Darren sudah sering mengingatkannya tetapi gadis itu memang sedikit bandel.

Ponsel Maira berdering lagi, kini lebih lama. Ia lalu menggeser ke atas tanda berwarna hijau.

Terdengar suara dari seberang sana lengkap dengan video. seorang laki-laki dengan kaos hitam polos sedang menuang minum dari dispenser ke dalam gelas. Rambutnya masih terlihat sedikit basah karena baru selesai mandi. Maira menyapa lelaki itu, ia bisa bercerita apa saja pada Darren, berkeluh tentang skripsinya, tentang teman-temannya dan apapun. Darren akan selalu mendengarkan cerita Maira.

***

Maira keluar dari ruang sidang skripsi. Akhirnya dia berhasil menyelesaikan kuliah 3,5 tahun seperti apa yang dicita-citakan. Alina, sahabatnya sudah menyambut di luar dengan membawa karangan bunga. Bunga tulip warna merah muda kesukaannya. Alina lalu memeluk sahabatnya itu.

“Selamat, Mai, Aku bangga banget sama Kamu,” ucap Alina.

“Makasih, Lin. Kamu tahu banget apa kesukaanku. Semoga kamu cepat nyusul sidang ya.”

“Tahu, dong. Aamiin, ya walaupun aku masih nge-stuck ngerjain skripsinya.”

“Makanya kamu harus semangat! Laper nih, makan yuk ke warung bakso kesukaan kita, aku yang traktir deh spesial graduation.”

“Gas… mana bisa aku menolak rezeki.”

Sambil menunggu pesanan bakso datang, Maira membuka ponselnya dan sudah ada pesan dari Darren kekasihnya.

“Mai, Minggu depan aku pulang.”

“Kalau beneran aku pasti senang, Ren, tapi aku tentu tidak berharap lebih. Oh, iya, aku udah selesai sidang skripsi.”

“Ini, Kak, bakso dua, es jeruk dua,” kata pelayan sembari menaruh pesanan di atas meja. Tak menunggu waktu lama Maira langsung memberi 3 sendok sambal ke dalam semangkuk bakso dan mengaduknya.

“Ngomong-ngomong, Darren apa kabar? Sejak dia merantau ke Ibu Kota sudah nggak pernah ketemu lagi.”

“Baik kok, Dia. Barusan Dia chat aku katanya minggu depan mau pulang tapi kurang tahu beneran enggak.”

“Semoga aja beneran pulang. Sudah berapa bulan memang nggak ketemu?”

“Setahun. Dia pulang itu tahun baru 2020, sebelum covid masuk ke Indonesia. Sekarang sudah 2021 covid belum juga hilang.”

“Iya. Untung Rendi nggak kerja jauh jadi masih bisa ketemu.”

Maira melirik ke arah ponselnya lagi dan sudah ada pesan dari kekasihnya.

“Alhamdulillah, selamat ya aku ikut senang dan bangga banget. Hadiahnya minggu depan ya, pas aku pulang.” Setelah itu Darren mengirimkan foto pemesanan tiket pesawat online. “Aku berangkat 9 Januari siang ya, sampai bertemu.”

“Makasih Dareen. Aku jemput kamu ya, besuk,” balas Maira.

“Lin, Darren beneran mau pulang. Ini dia kirim foto booking tiket pesawat.”

“Alhamdulillah, Mai. Setelah setahun menabung rindu, akhirnya berujung temu.”

***

Darren sangat bersemangat. Dua hari sebelum kepulangannya ia sudah menyiapkan segala barang bawaan. Tak lupa hadiah yang kelulusan yang sudah
dia siapkan untuk Maira. Sebuah cincin dengan disain yang sederhana tetapi kilauan berliannya mampu menyilaukan mata. Darren sudah lama membayangkan cincin itu pasti akan sangat indah di jari manis Maira. Darren tidak sabar menunggu tanggal 9 tiba. Jam, menit, bahkan detik terasa lama karena selalu dia hitung.

Maira juga tidak kalah dengan Darren. Maira memasang pengingat di ponselnya, tanggal 9 Darren pulang. Maira membeli baju baru untuk digunakan saat menjemput Darren di bandara. Kata temu yang sudah lama mereka nanti akan tiba.

“Kamu besuk beneran bisa jemput?” tanya Darren melalui telepon.

“Bisa dong, kamu take off jam berapa?”

“Jam 13.25, perkiraan jam 15.00 sampai di Pontianak.”

“Oke. Sampai ketemu besok ya, sekarang kamu istirahat kan besok mau perjalanan pulang.”

“Siap, Mai. Mai, maaf ya,” kata Darren.

“Maaf buat apa, Ren?” tanya Maira bingung.

“Bukan buat apa-apa, pengen minta maaf aja.”

“Nggak jelas kamu, Ren. Ya sudah buruan istirahat. Selamat malam Darren.”

“Selamat malam, Maira.”

Malam itu Darren tidak bisa tidur, hanya selalu terpikirkan dengan satu kata yaitu pulang. Darren sudah mencoba banyak cara agar tertidur, membaca berbagai doa, sampai membuka di internet bagaimana agar cepat tertidur. Namun semua itu nihil, tidak satupun berhasil.

Di pulau seberang Maira juga merasakan hal yang sama. Darren memenuhi pikiran Maira, membuat Maira merasa cemas entah kenapa. Ingin rasanya Maira menghubungi Darren, tetapi Maira takut mengganggu.

***

Dua jam sebelum waktu keberangkatan Darren sudah berada di Bandara Soekarno-Hatta. Ia tidak ingin tertinggal pesawat. Darren sudah sangat
ingin pulang.

Di pulau seberang Maira sudah berdandan rapi mengenakan baju baru yang sengaja ia siapkan. Sapuan make up tipis di wajahnya semakin menambah kecantikan gadis 22 tahun ini. Dia sudah menyiapkan kejutan untuk menyambut Darren.

Darren sudah memasuki terminal keberangkatan. Darren tak bisa berhenti membayangkan pertemuannya dengan Maira. Senyuman Maira yang manis, wajahnya yang cantik, juga bayangan Darren saat memberi cincin berlian itu pada Maira. Saat ini raga Darren memang masih di Jakarta, tetapi pikirannya sudah jauh berada di Pulau Kalimantan.

Di sinilah Maira sekarang. Di tikungan jalan dekat bandara. Ia duduk di kursi pinggir jalan membawa beberapa balon warna-warni. Maira tidak menjemput Darren ke bandara, Ia menyuruh Alina karena ia harus menyiapkan kejutan untuk Darrennya yang akan pulang.

Darren sudah berada di dalam pesawat, dan sebentar lagi pesawat akan lepas landas. Satu menit berlalu Darren sudah bisa merasakan pesawat itu naik. Pada menit ke tiga Darren semakin terkagum melihat indahnya Kepulauan Seribu dari atas. Ini bukan kali pertama Darren naik pesawat, tetapi kekaguman melihat ciptaan Tuhan itu selalu ada.

Satu menit berikutnya keadaan berubah. Darren merasakan pesawat yang ia tumpangi turun dengan sangat cepat. Keadaan di dalam pesawat pun menjadi kacau, penumpang berteriak dan berdoa.

Alina ternganga saat melihat tayangan televisi di bandara. Alina lalu membuka pesan dari Maira.

“Pesawat Elang Air. Nomor penerbangan EL-157. Itu ya, Lin, pesawat yang ditumpangi Darren. Setelah dia sampai langsung arahin dia ke sini. Aku tunggu di tikungan jalan.”

Setelah membaca ulang pesan itu tubuh Alina semakin lemas. Alina tidak bisa menahan air matanya untuk tidak jatuh. Alina bingung harus mengatakan apa pada Maira. Suasana Bandara Supadio berubah, bercampur tangis dan penuh wajah cemas.

Di tikungan jalan, senyuman Maira masih mengembang, membayangkan kedatangan Darren. Balon warna-warni itu juga masih tergenggam rapi di tangannya. Ponsel Maira berbunyi, pesan dari Alina.

“Mai, Aku jalan ke sana, ya, tapi sebelumnya tolong kamu baca berita terkini.”

Maira merasa ada yang aneh. Kenapa Alina menyuruhnya membuka berita terkini? Maira akhirnya menurut saja apa kata Alina. Ia lalu membuka internet dari ponselnya dan mengetik “berita terkini”. Alina sudah memperhatikan Maira dari jauh, tetapi ia tidak sanggup mengatakan apapun. Ia ingin Maira tahu sendiri. Berita itu muncul di layar ponsel Maira “Pesawat Elang Air EL-157 rute Jakarta-Pontianak jatuh di Kepulauan Seribu.” Balon di genggamannya terbang, poselnya jatuh ke tanah diikuti tubuhnya yang bersujud di trotoar. Alina berlari menghampiri Maira dan memeluknya. Tangis keduanya pecah.

“Lin, kalau Aku tahu dari awal, ini pulang yang dimaksud Darren. Aku pasti melarangnya berangkat,” kata Maira dengan terisak.

“Mai tolong doakan yang terbaik buat Darren ya,” hanya kalimat itu yang mampu Alina ucapkan.

No Responses

Comments are closed.