Malala, Sang Simbol Perlawanan

 LAPORAN UTAMA

Pikirannya seputar pendidikan dan kesetaraan perempuan melampaui zaman. Hampir dibunuh puluhan kali Malala tetap teguh pada prinsip luhur. Ia mewakili suara kaum tertindas

SENYUM merekah Malala Yousafzai di Ottawa, Kanada, pagi itu berbeda seperti biasanya. Rabu, 12 April, ia mendapatkan hadiah bergengsi. Justin Trudeau, Perdana Menteri Kanada, menyerahkan langsung sertifikat status kewarganegaraan kepadanya. Malala merupakan orang keenam selain Dalai Lama, Nelson Mandela, Aung San Suu Kyi, Raoul Wallenberg, dan Aga Khan, yang diberikan hak khusus tinggal di negeri Huron-Iroquoia Kanata itu. “Dengan rendah hati saya menerima status kehormatan Anda,” katanya di depan Majelis House of Commons, seperti dilansir bbc.com.

Belum genap usia duapuluh tahun Malala telah menarik perhatian dunia. Pada 2014, bersama Kailash Satyarthi, ia mendapatkan hadiah Nobel untuk perdamaian. Media internasional mulai menyorotnya sebagai aktivis pendidikan Pakistan setelah masa kelam lima tahun lalu. Tepat 9 Oktober 2012, kepala Malala ditembak oleh Taliban tatkala pulang sekolah. Peristiwa itu membuatnya koma selama empat hari di Rumah Sakit Pakistan dan Brimingham, Inggris.

Percobaan pembunuhan dan teror verbal terus berlanjut. Tapi Malala tak gentar. Apalagi menyerah dan berhenti menyuarakan pesan luhur pendidikan untuk anak tertindas. Suaranya di podium menggelegar dan secara simbolik mewakili nasib para pengungsi yang tergusur dari tempat tinggalnya. Namun, ia tak lantas acuh dan mengutuk negara tempat kelahirannya. “Aku akan selalu bangga menjadi Pashtun (etnis Afghanistan) dan warga negara Pakistan. Aku bersyukur menjadi anggota kehormatan Kanada,” tegasnya, seperti dikutip IB Times.

Buah jatuh tak jauh dari pohonnya. Barangkali ungkapan klasik itu mampu mengilustrasikan kepandaian dan kepedulian sosial Malala. Ayahnya, Ziauddin Yousafzai, mengajarinya menulis supaya kelak ia berani menyuarakan pemikiran kritis di hadapan masyarakat dunia. Menurut pengakuan Malala pada I am Malala: The Girl Who Stood Up for Education and Was Shot by the Taliban (2013), ayahnya peduli akan pendidikan di Mingora—sebuah dusun kecil di Provinsi Khyber Pakhtunkhwa, Pakistan—dan sekaligus pendiri Khushal Public School. “Ayahku juga seorang penyair yang mencintai bacaan sastra Barat dan Timur,” katanya.

Sikap Malala terhadap kebengisan Taliban dan para teroris tak bisa ditawar. Selain isu pendidikan, ia kerap menuturkan wacana kedamaian antarsekte. Menurutnya, syarat mutlak supaya manusia saling hidup berdampingan ialah saling rendah hati satu-sama lain. Akan tetapi, ketentuan itu batal saat masih ada kelompok yang main hakim sendiri. Terlebih, mereka itu gemar mengangkat senjata untuk kepentingan destruksi.

Pilihan hidup Malala itu menuai apresiasi dunia, tak terkecuali P.M. Trudeau. “Malala, ceritamu merupakan inspirasi bagi semua orang,” tuturnya. Trudeau mengaku bahwa tak banyak di antara anggota masyarakat, baik remaja maupun dewasa, yang mempertaruhkan nyawa untuk idealisme. Apalagi berhadapan dengan sekte keras yang tak tanggung-tanggung menarik pelatuk senjata berapi. Kendati demikian, Malala merupakan pengecualian dari pelbagai lapisan sosial itu. Ia adalah anomali zaman.

***

A

HMAD Syafii Maarif, dalam kolom berserinya di Harian Republika berjudul Malala: Oase di Bumi Muslim yang Tandus (V), menganjurkan pembaca umum turut mendaras I am Malala (otobiografi Malala) yang ditulis oleh Christina Lamb. Buya Syafii, panggilan akrabnya, menulis, “Autobiografi setebal 293 halaman ini patut benar dibaca oleh rakyat Indonesia sebagai sumber ilham dan agar tidak mudah ditipu oleh kelompok-kelompok radikal yang berkedok agama.”

Seperti Trudeau, Buya pun juga mengagumi remaja berbadan agak gempal itu. Walaupun belum pernah bertemu secara fisik, ia memberikan dorongan moral kepadanya atas sikap teguhnya dalam membendung arus radikalisme. “Anak muda sudah barang tentu harus bersikap bayan kepada kebrutalan kelompok yang mengatasnamakan agama,” ungkapnya di acara Bedah Buku Islam karya Fazlur Rahman, UIN Sunan Kalijaga, dua pekan lalu.

Buya mengakui betapa dorongan feminisme Malala sangat kental. Selain usianya masih sangat muda, dorongan itu diakibatkan oleh kondisi tempat tinggalnya yang kurang kondusif bagi pendidikan perempuan. “Aku tidak ingin masa depanku terkurung, dibatasi empat dinding, semata-mata memasak dan melahirkan,” kata Malala yang dikutip Buya dalam esainya. Pendirian demikian, menurut Buya, merupakan “sebuah reaksi keras terhadap tebalnya konservatisme Muslim Pakistan.”

Malala juga bukan tipe pemuda yang hanya bicara di menara gading. Ketika diundang untuk berpidato di Oslo, Norwegia, ia mengajak sahabat karibnya. Pada kesempatan itu Malala hendak menunjukan kepada publik “suara anak dari dunia ketiga” yang menjadi korban teror. Selain itu, nama Mezon, Amina, Riaz, Shazia, dan Kainat tak absen disebut. Mezon, menurut Malala, ikut turun tangan membantu anak-anak belajar di pengungsian. “Aku adalah bagian dari 66 juta anak-anak perempuan yang tidak bersekolah,” ujarnya.

Pesan yang tak kalah penting disampaikan Malala pada kesempatan prestisius itu, seperti dikutip Buya Syafii, “Dunia sudah berubah dengan cepat dengan segala kemajuannya, tetapi di sisi lain orang tidak juga mau belajar dari pengalaman perang dan konflik sejak Perang Dunia I 1914.” Insiden nahas itu menurut Malala menelan jutaan korban tak bersalah dan berlanjut konflik di Gaza, Irak, dan Suriah.

Malala mengecam negara penyebab konflik massal yang sedemikian kuatnya menciptakan perang tetapi sangat lemah membangun kedamaian. Di samping itu, ia mengkritik praktik kawin paksa perempuan di usia belia yang banyak terjadi di negara-negara berkembang. “Mereka punya impian yang tak bisa digugat oleh siapa pun,” pungkasnya.

No Responses

Comments are closed.