Maria Clara Yubilea Sidharta dan Patricia Lestari Taslim
Pejuang Anak Gifted
Kebutuhan khusus umumnya jadi musibah. Sempat terjebak dalam pola pikir yang sama, Lala dan Patricia berhasil memetik hikmah dan potensi dari kebutuhan tersebut. Menjadikan sang putri berkebutuhan khusus, sesosok anak genius yang karya dan prestasinya membanggakan UNY.
———–
19 TAHUN umumnya jadi usia awal para mahasiswa menginjakkan kaki di kampus. Namun, berbeda dengan rekan sebayanya yang baru saja mengikuti OSPEK, Maria Clara Yubilea atau biasa disapa Lala, justru hendak menyabet gelar sarjananya dengan predikat Cumlaudepada Sabtu (31/08) dengan IPK 3,76.
Pencapaian itu menjadi sangat spesial baginya karena Lala bukanlah anak dan mahasiswa biasa. Divonis oleh dokter sebagai anak berkebutuhan khusus “GiftedNormal Atas”, Lala memperoleh tantangan berupa kesulitan dalam berkomunikasi.
Namun, tantangan itu juga hadir dengan berkah tersendiri, yaitu menjadi anak genius dengan IQ 145. Dengan bimbingan Patricia Lestari Taslim yang mengambil S2 Pendidikan Luar Biasa (PLB) di UNY demi memperoleh pengetahuan tentang cara mendidik sang anak, Lala berhasil menyabet prestasi di dalam maupun luar kelas. Hal tersebut ia buktikan lewat kebolehan mewakili UNY dalam pertukaran pelajar ke Jerman dan menulis buku terkait anak berkebutuhan khusus.
“Mama sering bilang, vonis (sebagai gifted) dan Tes IQ itulah awal musibah (karena semakin tinggi IQ umumnya menambah masalah komunikasi). Tapi ternyata dari penemuan dan bimbingan Mama, musibah ini punya banyak potensi. Potensi, yang Puji Tuhan, dapat Lala maksimalkan,” ungkap Lala dalam taklimat media UNY.
Awalnya Dianggap Anak Nakal
Lala diketahui sebagai anak giftedsaat bergabung di sekolah dasar. Mulanya, Lala sulit diatur oleh guru dan disebut sebagai trouble maker.
Predikat nakal tersebut membuat Lala sampai harus berpindah-pindah sekolah sejak kelas 2 SD. Tercatat hingga akhir jenjang SD, Lala sudah lima kali pindah sekolah.
Pada saat itu, Patricia selaku Ibu mengaku belum paham bahwa yang dihadapi putri semata wayangnya tersebut adalah kebutuhan khusus.
“Yang saya tahu (saat itu), Lala itu trouble maker. Saya memaksakan dia harus sekolah umum dan sekolah negeri. Namanya juga ibu, saya jujur saja waktu itu otoriter ingin anak saya sekolah. Apalagi saya mantan guru, dan suami saya (Rahardjo Sidharta) berprofesi sebagai dosen (Teknobiologi UAJY),” kenang Patricia.
Pengetahuan Patricia waktu itu terbuka ketika Lala mogok sekolah menjelang ujian nasional. Mulanya, dia tidak mau lagi masuk sekolah karena merasa tidak nyaman dengan kegiatan belajar di sekolah dalam mempersiapkan ujian.
Namun, setelah dipaksa, Lala akhirnya berkenan untuk menuntaskan ujian nasional sebagai kewajibannya guna lulus dari sekolah dasar. Ajaibnya, dengan terpaksa dan tanpa persiapan ujian, Lala lulus dengan nilai yang sangat memuaskan.
“Nilainya bagus-bagus. Saat itulah saya mulai memahami bahwa kita harus ekstra tenaga mendampingi karena kebutuhan dia berbeda. Kita konsultasi ke dokter dan tes IQ pada 2013. IQnya pada saat itu 131 dan selalu naik setiap kami melakukan tes dua tahun sekali,” ungkap Patricia yang mendapati bahwa pada tahun 2017 Lala mencatatkan nilai 145 dalam tes IQ.
Pendidikan Inklusif di UNY
Sejak diketahui sebagai anak berkebutuhan khusus, pilihan dijatuhkan Lala dan orang tua untuk belajar secara homeschooling. Dibimbing oleh Patricia, Lala menggunakan buku bekas milik kakak sepupunya.
Bersekolah di rumah juga tidak membuat Lala tidak memiliki teman. Buktinya, dia aktif di berbagai komunitas seperti Komunitas Sesama Homeschoolers, komunitas menari, dan komunitas musik. Sanggar Kegiatan Belajar (SKB) dan Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) menjadi tempatnya menghabiskan waktu bersama kawan-kawan.
“Saat itu, saya juga suka menulis di blog,” tutur dara kelahiran Sleman, 13 Mei 2000 tersebut.
Karena cepat belajar, Lala berhasil menuntaskan Ujian Kejar Paket B (setara SMP) dan Kejar Paket C (setara SMA) di tahun 2013 dan 2015. Nilai ujiannya pun bagus.
Selain itu, Lala juga telah menguasai Bahasa Inggris, Perancis, dan Jepang. Ia belajar bahasa dari percakapan sehari-hari dan berselancar di dunia maya.
Tiba-tiba saja selepas Ujian Kejar Paket dan bertemu kawan-kawannya, Lala meminta ke orangtua untuk berkuliah. Kembali bergabung dengan teman-temannya yang tidak berkebutuhan khusus.
“Kami kemudian berpikir. Ada baiknya memang dia kuliah. Saran dari hasil tes IQ mengambil jurusan bahasa. Akhirnya, diambillah bahasa yang belum ia kuasai, yaitu Pendidikan Bahasa Jerman,” ungkap Patricia sembari menyebutkan bahwa jurusan tersebut memang hanya tersedia di UNY.
Selama perkuliahan, dosen dan teman-teman Lala sangat suportif membantunya belajar. Bahkan, Lala kerap dijadikan rebutan apabila terdapat tugas beregu ataupun dalam pembentukan kelompok.
“Jadi, lingkungan di UNY inklusif. Ada dua alasan sebenarnya. Pertamakarena Lala masih imut, anak usia 15 tahun, dan keduakarena Lala cepat belajarnya. Setahun belajar Jerman, dia sudah fasih,” kenang Patricia.
Ibu Kuliah Lagi di UNY
Untuk mendukung kegiatan belajar putrinya, Patricia sejak awal perkuliahan selalu mengantar jemput Lala. Maklum saja, ujarnya, saat awal masuk kuliah Lala masih usia 15 tahun dan membutuhkan kasih sayang orang tua.
Namun, setahun berjalan, Patricia merasa bosan jika hanya datang ke UNY untuk antar jemput. Terlebih lagi, kebutuhan khusus Lala terus berkembang seiring bertambahnya usia.
“Saya merasa tidak cukup bekal untuk membantu (Lala). Sudah bikin sakit kepala ini. Sehingga seizin suami saya ingin kuliah lagi agar punya ilmu yang bermanfaat dalam mendidik Lala ataupun anak-anak giftedlainnya,” ungkap Patricia atas pergolakan batin yang terjadi saat itu.
Akhirnya, setahun setelah Lala mulai kuliah, Patricia mendaftar dan dinyatakan diterima di S2 PLB UNY angkatan 2016. Pada saat itu, Patricia merupakan satu-satunya mahasiswa yang tidak berlatar belakang PLB di jenjang S1 nya.
“Saya guru Seni Musik. Teman saya lainnya guru di SLB dan anak-anak lulusan PLB. Alih jurusan bukan hal yang mudah ternyata karena saya belajar teori dari awal,” kenang Patricia.
Perjalanan Patricia menempuh studi tidak mudah. Beberapa kolega menjadikannya bahan bercanda karena hendak menjadikan putrinya sebagai kelinci percobaan atas teori PLB yang diperolehnya di dalam ruang kuliah. Patricia tak bergeming dengan tuduhan tersebut.
Untuk mendukung studinya, Patricia juga harus mengejar ketertinggalan ilmu dengan menumpang belajar di SLB Marganingsih Tajem. Di sana ia memperoleh teori terkait PLB sekaligus mempraktikkannya secara langsung.
“Setiap Kamis dan Jum’at saya ke sana, membantu mengajar, dan belajar teori-teori PLB. Tidak dibayar karena saya yang membutuhkan,” kenang Patricia.
Menunda Wisuda demi Lala
Pada 13 Mei 2019, tesis Patricia telah disetujui oleh dosen pembimbing. Menandakan ketuntasan kewajibannya dalam menempuh studi jenjang S2.
Hari itu tepat Lala berulang tahun ke-19. Kelulusan Patricia menjadi hadiah tiada terkira bagi sang putri.
“Karena Mei sudah selesai, saya seharusnya diwisuda bulan Juni,” kenang Patricia.
Akan tetapi, hadiah kelulusan tersebut ia rasa belum sempurna karena tugasnya di kampus belum selesai. Lala, putri semata wayangnya, sedang menuntaskan bab-bab terakhir dalam skripsinya.
Akhirnya, Patricia memutuskan untuk berkirim surat kepada Rektor dan Direktur Pascasarjana UNY. Isinya sederhana: meminta Patricia diizinkan untuk wisuda Agustus.
“Saya punya keyakinan kalau tidak lama lagi Lala akan wisuda. Toh tinggal bab akhir. Sambil menunggu Lala, saya bisa cari ilmu lagi sekaligus antar-jemput,” kenang Patricia.
Tebakannya tak meleset. 31 Juli 2019, tepat ulang tahun Patricia ke-48, Lala menuntaskan yudisium skripsinya.
Terus Berkontribusi bagi Anak Berkebutuhan Khusus
Skripsi dan tesis tak menjadi karya terakhir keduanya di UNY. Selepas kuliah, Lala berencana melamar beasiswa tentang pendidikan khusus maupun psikologi di kampus-kampus negeri Paman Sam.
Akhir bulan ini, Lala bersama Patricia dan komunitas orang tua anak gifteddi Yogyakarta juga hendak merilis buku bunga rampai bertajuk “Menyongsong Pagi”.
Buku ini mengisahkan best practicepengalaman mereka mengasuh dan mengalami sendiri kehidupan sebagai anak gifted. Lala menjadi satu-satunya anak giftedyang ikut menulis buku tersebut, sekaligus sebagai penulis yang termuda.
“Ada dosen PLB UNY yang juga ikut menulis. Dalam kesempatan yang sama kita menggelar seminar bertema Pendidikan Anak Gifted.”
Melalui buku dan seminar tersebut, Patricia dan Lala berharap pengalaman sekaligus ilmu mereka terkait anak berkebutuhan khusus tidak hanya berhenti di diri sendiri. Namun, juga dapat membantu masyarakat luas, sehingga pendidikan inklusif dapat dirasakan lebih banyak lagi masyarakat.
“Saya tahu, banyak orang tua di luar sana yang bingung anak berkebutuhan khusus ini diapakan. Tidak banyak yang seberuntung kami mengenal ilmu PLB di UNY. Kami ingin ilmu ini membumi,” pungkas Patricia.
No Responses