Meneladani Sang Pahlawan

 LAPORAN UTAMA

 

Sosok pahlawan bukanlah orang sembarangan. Peranan dan sumbangsihnya harus diakui oleh khalayak bahkan tidak boleh ada sedikit pun cacat perilaku yang menghilangkan makna kepahlawannnya. Dan sosok Lafran Pane telah membuktikan diri mampu melampaui lapis demi lapis tahapan ketat seleksi untuk gelar pahlawan nasional yang dilakukan oleh Dewan Gelar Tanda Jasa dan Tanda Kehormatan untuk akhirnya dianugerahi gelar pahlawan nasional pada peringatan hari Pahlawan 10 November 2017.

Lafran Pane bukanlah orang yang dengan gagah menantang penjajah dengan bedil di tangannya, atau dengan heroik menenteng bambu runcing lalu menghujamkannya. Dia juga bukan seorang jenderal yang dengan telunjuknya bisa mengerahkan ribuan bala tentara untuk menyerang musuh negara. Dia hanya seorang pendidik, senjatanya hanya pena dan pemikirannya yang tajam. Tapi dengan pemikirannya yang tajam itulah dia cerdik memahami kebutuhan negeri yang belum lama berdiri dan mulai tercabik oleh pertentangan tajam pilihan ideologi.

Ia mendirikan organisasi Himpunan Mahasiswa Islam yang menghimpun mahasiswa-mahasiswa kritis seantero negeri, menggemblengnya, dalam organisasi pergerakan dan menjadikannya calon-calon pemimpin negeri yang memiliki karakter kuat hingga kini. Dari rahim HMI ini pula lahir sosok-sosok pemimpin yang benar-benar dibutuhkan dizamannya. Tidak terhitung berapa pemimpin-pemimpin dari tingkat daerah sampai menteri yang telah mencicipi kawah candradimuka organisasi HMI yang dibidani oleh Lafran Pane.

Pemikirannya yang tajam juga mampu melampaui jamannya dalam meneropong konstitusi negara yang menjadi keahlian akademiknya. Dalam pidato pengukuhan guru besar pada 16 Juli 1970, Lafran Pane menghadirkan gagasan tentang bagaimana konstitusi selayaknya berkembang dinamis seiring zaman untuk mewujudkan cita-cita yang diembannya. Sebuah gagasan yang manjadi kenyataan 30 tahun setelah pidatonya dengan amandemen konstitusi saat Reformasi yang juga digerakkan oleh organisasi yang didirikannya HMI.

Sebagai sosok pahlawan nasional, kisah hidap Lafran Pane jauh dari kata mewah. Justru sebaliknya berliku dan penuh kesederhanaan. Dia di-“asingkan” dari kampus yang diabdinya. Meskipun mendapatkan gaji dan tunjangan dari IKIP Yogyakarta (sekarang UNY) namun semua peranannya “dipreteli” oleh rezim saat itu akibat tuduhan sesat yang dialamatkan kepadanya dan nyaris tidak ada yang bisa dikerjakan di IKIP Yogyakarta, hingga akhirnya mendapatkan tempat di kampus almamaternya UII.

Dan yang tidak kalah heroiknya adalah kesederhanaanya yang sangat melegenda. Sebagai seorang yang membidani organisasi HMI yang kader-kadernya duduk di singasana pemerintahan tidak begitu sulit bagi Lafran Pane untuk meminta “jatah proyek” yang bisa membuat dirinya bergelimang harta. Tapi tidak pernah hal itu dia lakukan, bahkan terpikirkan pun tidak. Sampai akhir masa hidupnya, Lafran Pane tidak memiliki rumah pribadi, ia dan keluarganya tinggal di rumah dinas IKIP Yogyakarta yang sekarang sudah tidak berbekas lagi. Aktifitas hariannya juga dilalui dengan sepeda ontel, bukan dengan mobil mewah layaknya pejabat negara. Kedekatannya denga masyarakat kecil menjadi bukti outentik lain tentang kesederhanaan sang pahlawan.

Lafran Pane telah menjadi teladan yang paripurna tentang kepahlawanan, kesederhanaan, dan kepedulian. Sosoknya telah menjadi oase di tengah minimnya keteladanan dan kesederhanaan yang ditunjukkan oleh elit politik saat ini. Terimakasih Pahlawan. BUDI MULYONO.

No Responses

Comments are closed.