Rasanya sulit dipercaya. Para pekerja di Silicon Valey, markas perusahaanperusahaan teknologi terbesar di dunia, justru malah membatasi anak-anak mereka untuk akrab dengan teknologi. Akan tetapi, begitulah keadaan yang sesungguhnya. Alih-alih memanjakan anak dengan ponsel pintar keluaran terbaru, para orang tua itu justru sangat membatasi penggunaan ponsel, televisi, bahkan komputer di rumah. Tren membatasi hingga melarang anak berakrab ria dengan teknologi tersebut dikenal sebagai low tech parenting (pola asuh anak dengan mengurangi penggunaan teknologi).
Bill Gate – pendiri Microsoft, melarang anaknya memakai ponsel hingga berumur 14 tahun. Steven Jobs, pendiri Apple, ketika di rumah, melakukan kegiatan mendiskusikan buku, bercerita sejarah, dan beraktivitas di dapur bersama anak anak tanpa menggunakan gawai. Pola asuh anak dengan pembatasan pengggunaan teknologi yang justru dilakukan oleh para perancang produk teknologi itu tentu membuat kita bertanya-tanya. Padahal, selama ini kita sering berfokus pada sisi positif pemanfaatan teknologi untuk kemudahan di segala lini kehidupan. Hal apa yang diketahui oleh para perancang produk teknologi, tentang produk ciptaannya, yang mungkin menjadi alasan pola asuh? Halhal itu yang mungkin justru tidak diketahui oleh masyarakat pada umumnya.
Sejumlah tokoh industri teknologi mengakui dampak buruk teknologi bagi masyarakat. Sean Parker, mantan petinggi Facebook, menjelaskan bahwa jejaring sosial dapat mengekploitasi sisi rapuh manusia. Tim perancang berupaya menciptakan aplikasi menarik sehingga para pengguna akan menghabiskan waktu selama mungkin bermain Facebook. Tim perancang berkreasi mengadopsi prinsip dopamin, yakni zat kimia pada otak yang mengatur motivasi meraih apapun demi kesenangan.
Berdasarkan hal itulah diciptakan tombol “like” dan “comment”. Tombol ini menyebabkan kita ingin mendapat perhatian dengan mengepos foto dan status baru. Kita termotivasi memberi “like” dan “comment” agar dianggap eksis di dunia maya. Tristan Harris, CEO Apture, menjelaskan teknologi rentan dibuat untuk memanipulasi kerapuhan psikologis. Pengembang aplikasi ponsel mengggunakan prinsip fear of missing something importan (rasa takut ketinggalan sesuatu yang dianggap penting).
Perasaan inilah yang mendorong kita menekan tombol “subscribe” atau “follow” karena rasa takut ketinggalan informasi terbaru. Situasi inilah dapat mengalihkan perhatian kita setiap hari untuk sekedar mengecek notifikasi di ponsel. Loren Brichter, desainer Twitter, menjelaskan sisi negatif teknologi karena mekanisme pull to refres tweet (tarik layar untuk melihat twit terbaru). Mekanisme ini membuat orang menghabiskan waktu membaca postingan terbaru yang tidak penting.
Pengakuan para tokoh teknologi tersebut tentu harus menjadi perhatian kita. Risiko adiksi (kecanduan) tersembunyi di balik teknologi itulah yang perlu disadari olah masyarakat sebagai pengguna. Kesadaran terhadap risiko tersembunyi tersebut dapat menjadi pertimbangan untuk membatasi penggunaan produk teknologi (gawai). Jika belum mampu membatasi, paling tidak harus cerdas dan cendekia memanfaatkan teknologi.
Penulis: Prof. Dr. Anwar Effendi – Dosen Fakultas Bahasa dan Seni UNY
Editor: Debi Pranata
No Responses