Mengurai Radikalisme,
Menumbuhkan Daya Kritis Maba
Rony K. Pratama
“Makna kata selalu tak stabil, tergantung wacana politik mana yang dominan. Itu kenapa tak mengherankan kalau radikalisme sebagai kata sering kali dikutuk, apalagai diperkelindankan dengan agama atau kepercayaan tertentu yang inklusif.”
Jamak media massa cetak maupun daring mendiseminasikan penelitian dari SETARA Institute baru-baru ini. Riset itu mendaftar secara berurutan sepuluh perguruan tinggi yang terinfiltrasi “paham radikalisme” dengan Islam sebagai objek kajian. Survei tersebut membuka mata banyak orang, bahkan tak diduga sebelumnya beberapa pimpinan kampus. Radikalisme—tentu saja direferensialkan dari dan melalui Islam—sebetulnya bukan term baru dan tak seseram pemaknaan literalnya.
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mendefinisikan radikalisme [kata benda] dalam tiga perspektif antara lain (a) paham atau aliran yang radikal dalam politik, (b) paham atau aliran yang menginginkan perubahan atau pembaharuan sosial dan politik dengan cara kekerasan atau drastis, dan (c) sikap ekstrem dalam aliran politik. Makna istilah ini tentu saja tak bebas nilai. Ia terikat nilai politik bahasa yang sengaja dikonstruksi sekaligus dilegitimasi oleh pihak yang berkonvensi dalam menyusun kamus.
Rujukan makna kata yang kerap kali beredar dalam wacana publik bisa jadi menginduk pada kamus. Namun, tak sepenuhnya demikian karena interpretasi atas kata yang kemudian memproduksi sikap hingga praksis dapat mengaret. Di situ, kita tahu bagaimana multitafsir sebuah kata beroperasi. Yang terakhir inilah yang kerap terjadi dalam percakapan publik kita dewasa ini.
Radikalisasi Kata
Kita sekarang hidup pada suatu masa di mana tiap individu saling menebar kecurigaan satu sama lain. Bukan berarti sekian dekade silam kita belum masuk era itu, tetapi berkat kecanggihan teknologi informasi dan kominikasi mutakhir, kegenderungan demikian makin masif. Tak ada lagi jarak antarindividu sebab mereka terapatkan oleh layar digital. Kecenderungan masyarakat prosumer—produsen sekaligus konsumen— (lihat McLuhan, 1972) atas informasi meniscayakan paham atas term radikalisme berkembang sedemikian rupa.
Pola semacam itulah yang membuat kenapa pemahaman atas istilah radikalisme begitu cair dan dinamis. Makna kata selalu tak stabil, tergantung wacana politik mana yang dominan. Itu kenapa tak mengherankan kalau radikalisme sebagai kata sering kali dikutuk, apalagai diperkelindankan dengan agama atau kepercayaan tertentu yang inklusif. Orang mencibir kata itu sebagai biang kerok permusuhan sektoral dan berakibat pada keretakan kohesi sosial.
Kecencerungan psikis macam apa sehingga seseorang begitu membenci tindakan radikal? Dugaan saya bukan sekonyong-konyong karena kata, melainkan ekspresi praksis yang dianggap koersif. Praktik kekerasan tentu saja mesti dimejahijaukan karena Indonesia merupakan negara yang menjunjung tinggi supremasi hukum. Kendati demikian, radikalisme bukan berarti setarikan napas dengan tindakan destruktif. Ditambah pula tak semata-mata dari Islam.
Pada aras demikian, kita mesti membedakan dua hal. Pertama, radikalisme sebagai ekspresi yang begitu mengakar secara internal terhadap pemaknaan teologis. Selama ia tak dimaksudkan sekaligus disampaikan dalam bentuk pemaksaan represif, tetapi justru diperdialogkan dengan rasa hormat dan rendah hati. Saya kira sah-sah saja. Pandangan internal begitu berlaku pula dalam konteks “radikal” lain. Bukankah segala kegiatan atau kepercayaan mesti ditandaskan secara “radikal” sebagai bentuk totalitas maupun kesungguhan privat? Demikian pula dalam hal belajar; kita harus “radikal” dalam belajar sebagai bentuk militansi—ketangguhan dalam berjuang.
Kedua, radikalisme sebagai term yang sudah terlanjur dipeyorasikan secara serampangan akibat wacana politik yang dominan tak menutup kemungkinan untuk dikritisi. Sebagai pembaca, kita perlu “literat” (melek literasi) atas kata radikal, radikalisme, maupun radikalisasi. Menerima makna kata yang beredar begitu saja (taken for granted) justru akan melanggengkan viralnya politik bahasa itu. Upaya mengkritisi makna istilah, dengan demikian, menegaskan daya resisten kita terhadap pandangan arus utama. Di situlah akal sehat beroperasi.
Kembali ke persoalan apakah kampus-kampus yang terjangkit paham radikal itu mesti didisiplinkan dan bagaimana seharusnya kita menyikapi? Jawaban saya sederhana, yakni sejauh mereka tak melakukan destruksi sosial atau tindakan yang membahayakan secara fisik, mereka betapapun tetap harus dilindungi secara hukum. Mereka adalah bagian dari warga Indonesia. Bukankah payung hukum kita tak memihak hanya berdasarkan perbedaan politik, agama, maupun kepercayaan tertentu? Bukankah ia universal?
Dengan demikian, penting sekali memiliki kecakapan literasi secara radikal. Implikasi praktisnya tak menjadi pribadi yang kagetan, gumunan, dan dumeh. Khususnya menyikapi persoalan radikalisme belakangan. Kecenderungan kita di abad digital ini ironinya makin latah terhadap apa-apa yang bernuansa viral. Sesuatu yang mengemuka dan menjadi buah bibir dalam percakapan media sosial kita seakan-akan dipercaya, kemudian dipersebarkan atas dasar tren, popularitas, atau pun membeo.
Saya kira friksi sosial yang diproyeksikan media sosial dewasa ini lebih diakibatkan pada terbukanya katup-katup sektoral: kebencian atas dasar perbedaan preferensi politik. Terkadang apa yang diucapkan tak begitu dihiraukan bila yang menuturkan memiliki kecenderungan politik lain. Demikian pula sebaliknya. Kefiguran mendapat hati di banyak orang meski substansi tuturan mengandung kebencian. Di sini kita tahu betapa “takild buta” ternyata masih mengakar kuat di dalam tradisi bermedia sosial kebanyakan warganet. Itu kenapa kita terkadang perlu demitologisasi kesempitan berpikir kita terhadap sesuatu melalui pembacaan kritis-emansipatoris.
No Responses