Gedung tinggi nan megah menjulang di berbagai perguruan tinggi Indonesia. Lengkap dengan taman dan fasilitas penunjang yang lengkap. Jika pembangunan itu berlangsung sepuluh atau dua puluh tahun lalu, masyarakat sekitar akan menyambut penuh kegembiraan. Tapi kini, euforia itu berkurang. Karena portal yang menutup gerbang kampus, mahasiswa dan dosen yang merasa lebih tinggi dari masyarakat karena merasa berembel-embel World Class University (WCU), membuat beragam perguruan tinggi menjelma menjadi elitis dan berjarak dengan masyarakat.
Mencontoh kampus-kampus sukses di luar negeri memang biasa jadi opsi yang dilakukan beragam perguruan tinggi Indonesia dalam langkah menuju World Class University. Sehingga fenomena kampus memunggungi falsafah, nilai, dan masyarakat lokal yang ada di sekitarnya menjadi tak terelakkan. Dan disitulah Sutrisna Wibawa sebagai Rektor UNY merasa menyayangkan dan tak sepakat.
Sutrisna menekankan bahwa jika UNY ingin mengikuti jejak menjadi WCU, maka UNY tidak boleh terjebak dengan hal demikian. UNY harus meraih WCU dengan caranya sendiri, yaitu mengembangkan nilai luhur berbasis lokal guna mencapai kelas dunia.
“Jadi jangan dianggap. Dengan World Class University itu, semuanya kita berkiblat dan mendewakan Barat. Kriteria yang ada di tingkat internasional itu sebenarnya jauh lebih bisa dicapai jika kita memaksimalkan potensi kearifan sendiri dibanding sekedar mencontoh saja,” ungkap Sutrisna kepada Pewara Dinamika pada Kamis (04/05/2017) di ruang rektor.
Dari situlah, slogan “Dari UNY untuk Yogyakarta, Indonesia, Regional ASEAN, dan Dunia,” muncul dalam kepemimpinan Sutrisna Wibawa. Dan penggalian serta pengembangan karakter bangsa menjadi salah satu kunci guna memberi sumbangsih yang berakar dari nilai dasar Jogja dan UNY untuk Dunia. Dengan target terukur: dua tahun kerja keras, 2019 unggul di Asia Tenggara dan berstatus PTNBH, 2021 unggul di Asia dan peringkat 1000 dunia, serta 2025 unggul sebagai World Class University.
Intensifkan Program Studi Lokal, Sisipkan Karakter Lokal
Ditengah tantangan karakter bangsa yang demikian rupa, pemerintah kemudian menggalakkan pendidikan karakter dan gerakan literasi. Gerakan tersebut, kemudian dapat ditilik guna memahami nilai bangsa yang sudah ada dan berkembang berabad-abad lamanya. Hanya dengan memahami potensi kita sendiri tersebutlah, Sutrisna Wibawa menekankan, pendidikan karakter bisa didukung di tataran praktis.
“Jadi memang di Jogja ada Klitih, ada intoleransi, tapi bukan berarti kita harus menyerah menggali karena tertutup oleh sentimen dan kejadian negatif di sekitar kita. Kearifan lokal jogja ini layak diperjuangkan,”
Dan dalam perihal karakter tersebut, literasi Jogja bisa berperan banyak. Sutrisna yang juga pernah menulis buku bertajuk “Filsafat Moral Jawa Seh Amongraga dalam Serat Centhini; Sumbangannya Bagi Pendidikan Karakter” menekankan ada tiga landasan nilai yang bisa dipetik dari kehidupan Jogja sehari-hari. Diantaranya: gotong royong, etos kerja, dan integritas.
Warga Jogja, menurut Sutrisna telah lama memiliki pemahaman untuk saling tolong menolong dan tenggang rasa. Dengan prinsip berat sama dipikul, ringan sama dijinjing, hidup berdampingan dalam harmoni telah berlangsung lama di daerah istimewa ini. Hal tersebutlah yang juga selayaknya meneladani UNY dalam upayanya menjadi World Class University.
Keteladanan tersebut kemudian diteguhkan lewat mengintensifkan kembali program studi unik dengan penuh kearifan lokal yang dimiliki UNY. Juga menyisipkan pendidikan karakter lokal lewat berbagai mata kuliah maupun pembelajaran di lingkungan kampus.
Program studi Pendidikan Bahasa Jawa misalnya. Sebagai lulusan dari program studi tersebut dan juga menyandang gelar sebagai guru besar di bidang Filsafat Jawa, Sutrisna menekankan ada banyak filosofi Jawa yang sangat bermakna bagi kehidupan. Sehingga jika diterapkan, dapat berkontribusi positif bagi pengembangan kehidupan berbangsa.
“Corak bidang keilmuan kita kembangkan dengan itu. Kita punya kearifan Jogja di dalam kampus. Khas dalam prodi seni tari, bahasa jawa, bahasa asing, ilmu sosial. Yang saya harapkan UNY bisa mengangkat nilai-nilai Jogja ke nasional dan dunia,” tegasnya.
Salah satu yang bisa dibangkitkan dari pengintensifan prodi tersebut juga termasuk etos kerja Jogja yang menurut Sutrisna cukup unik. Karena berbasis pada semangat kerja kolektif yang berorientasi kerja dan pengabdian. Bukan orientasi penghasilan. Sehingga jika mendapat apapun pekerjaan yang diamanhkan kepadanya, orientasinya selalu bagaimana tugas tersebut dilaksanakan. Dan seiring berjalannya waktu, rezeki menurutnya akan otomatis mengikuti sesuai dengan ikhtiar yang dilakukannya.
“Sehingga jangan heran kalau warga UNY maupun jogja umumnya, kalau wawancara kerja keluar, mereka menang. Mereka dapatkan pekerjaan itu. Karena yang penting orientasi kerja, bukan gaji. Dan selanjutnya ternyata rezeki otomatis mengalir sesuai kerja keras kita. Dengan landsaan filosofis Gusti Allah mboten sare,” ungkapnya penuh kekaguman.
Hal inilah yang diinginkan Sutrisna untuk diperkenalkan kembali dalam pendidikan di UNY. Para mahasiswa selain juga dibekali kemampuan kewirausahaan maupun keterampilan untuk bekerja sesuai dengan kompetensinya, juga harus dilandasi dengan filosofi semacam itu. Sehingga lulusan UNY kedepannya memiliki keunggulan dan karakter yang mumpuni. Dan ketika sukses nantinya maupun memegang amanah jabatan yang berdampak pada masyarakat luas, dapat menyebarkan nilai yang serupa.
Memimpin di Tengah dan Terukur
Guna mencapai cita-cita dan target tersebut, manajemen yang baik kemudian dicanangkan oleh Sutrisna sejak hari pertama memimpin. Baginya, leadership sebagai cara mempengaruhi orang untuk menggerakkan dan mencapai sasaran tertentu, harus berjalan beriringan dengan manajemen sebagai proses kerja. Disitulah leadership berbasis transformasional, partisipatif, dan kolegial muncul sebagai jawaban guna mengajak semua civitas turun bersama. Dengan mengikutsertakan dan mendengar segala aspirasi dalam pengambilan keputusan.
Proses perubahan mengejar target, diibaratkan Sutrisna layaknya tembang ngidamsari. Dimana nahkoda tidak bisa berlayar jika tak memiliki perahu lengkap dengan krunya, maupun jika tidak ada bulan-bintang yang bersebaran di langit sebagai acuan. “Umpama nahkoda kan tidak bisa tanpa prau (perahu), sasad darat (bulan-bintang) den pepetri (sebagai acuan). Disitulah transformasional terletak. Pemimpin yang menginspirasi, jadi contoh, target terukur, dan langsung turun melaksanakan,” ungkapnya.
Dari situ, pendekatan yang disebut Sutrisna bersifat sentris muncul. Bahwa jangan sampai kepemimpinan berlangsung hanya sekadar bergantung pada perintah dari atas ke bawah dan bersifat top-down. Namun tidak pula sekedar menampung aspirasi semua pihak dari bawah dan bersifat bottom-up. Leadership yang baik, menurutnya, harus bersifat berada di tengah. Sehingga perintah dari atas menuju ke tengah, bersimpang dengan aspirasi dari bawah yang menuju ke tengah.
“Dan dalam persimpangan di titik temu tersebut, kita harus bisa merangkul. Suara dari atas dan dari bawah harus bersimpang dan saling melengkapi. Dan semua bisa tergerak dan merasa memiliki UNY,” pungkasnya.
No Responses