OPINI
Prof. Suminto A. Sayuti
Guru Besar FBS UNY / Co-promotor Gelar Doktor HC untuk Sri Sultan
Menjaga Martabat Yogya dan Bangsa
Masuknya beragam nilai yang berasal dari “luar” (sebagai “pusat”) melalui beragam piranti modern sebagai akibat yang tak terhindarkan dari proses global, telah memberi warna dan corak tersendiri pada sendi-sendi kehidupan budaya bangsa.
Penetrasi nilai-nilai baru yang acapkali bertentangan dengan nilai yang sudah lama terinternalisasi dan kecenderungan materialistik/ hedonik yang mengedepan di tengah masyarakat yang makin konsumeristik merupakan contoh-contoh keniscayaan yang terbentang di hadapan kita, termasuk bagaimana karakter dan nilai-nilai kebangsaan kita yang terasa makin pudar, bahkan (dalam proses) “mulai dilupakan.”
Proses budaya yang tengah dan akan terus terjadi tersebut benar-benar akan menjadi sesuatu yang membahayakan apabila sistem dan mekanisme kebudayaan dalam konteks kebangsaan tidak diberi peluang atau kemungkinan perubahan di dalamnya. Karena sesuatu akan menjadi langgeng bilamana dirinya terbuka bagi perubahan dan pembaharuan.
Dalam hubungan ini , berpikir dan bertindak strategis sebagai upaya yang bermuara akhir pada terciptanya kekenyalan identitas dan karakter bangsa dalam menghadapi dan memasuki berbagai proses tersebut, perlu dirancang dan dilaksanakan sehingga yang kini dirasa pudar akan dapat dicahayakan kembali. Konteks seperti dilukiskan di atas itulah yang membangkitkan kesadaran Sri Sultan HB X terhadap pentingnya pemosisian pendidikan karakter secara strategis.
Persoalan ini mengedepan sejak beliau dilantik sebagai Gubernur DIY , 3 Oktober 1998 hingga sekarang. Ratusan makalah/sambutan, baik yang berupa makalah kunci di berbagai seminar dan konferensi maupun yang berupa buku dan atau artikel di media massa cetak, hampir semuanya mengisyaratkan pandangan dan keyakinan beliau terhadap pentingnya Pendidikan Karakter dalam konteks nation and character building, baik secara eksplisit maupun implisit. Bagi beliau, pendidikan itu secara keseluruhan hendaknya selalu dimaknai sebagai proses pembudayaan, dan bukannya sebagai penjinakkan sosial-budaya.
Untuk itu, pendekatan multikultural merupakan salah satu jalan yang bisa ditempuh. Menekankan pentingnya pemartabatan bangsa, bahwa bangsa yang bermartabat adalah bangsa yang menjunjung tinggi budayanya. Karena, kebesaran atau potensi-potensi kebesaran suatu bangsa tidak hanya ditentukan oleh satu faktor, tapi perlu simultanitas, sinergi, dan bersifat lintas bidang,
Dengan cara demikianlah, suatu bangsa akan mampu menghasilkan suatu warisan yang berharga yang bersifat lintasgenerasi. Dan Ngarsa Dalemsecara konsisten melakukan hal ini.
Layak untuk Gelar Doktor Honoris Causa
Hal tersebut melatarbelakangi kami untuk bersepakat, dalam senat akademik, menganugerahkan gelar doktor honoris causa kepada Sri Sultan Hamengkubuwono X. Beliau melaksanakan perannya sebagai gubernur dan raja laksana jenang -antara gula dan ketannya tak dapat dipisahkan-. Dua peran itu disatukan, dan dalam setiap kebijakannya menyelipkan contoh, tauladan, sekaligus arahan terkait karakter dan kebudayaan.
Kajian kami juga menunjukkan kebijakan konkrit telah diambil oleh Sri Sultan dalam kerangka mendukung ideologi yang ia usung tersebut. Lahirnya Kurikulum Berbasis Budaya melalui Dinas Pendidikan Provinsi DIY, berdirinya Akademi Komunitas, munculnya desa-desa budaya dan para pendampingnya, pemberian penghargaan seni dan budaya secara periodik kepada seniman dan budayawan DIY, dan berbagai macam aktivitas seni budaya lain yang tak terhitung jumlahnya di DIY adalah sedikit contoh nyata. Yang mana semuanya menunjukkan bahwa selaku Gubernur DIY, Sri Sultan HB X tidak hanya bernarasi tentang pentingnya budaya sebagai basis pendidikan karakter, tetapi melaksanakannya.
Bahkan, pendidikan karakter dan budaya tidak hanya melalui jalur formal. Frase “bercermin di kalbu rakyat” yang menjadi judul salah satu bukunya adalah bukti yang tidak terbantahkan. Nilai-nilai yang terdapat dalam “Joget Mataram,” misalnya saja pun tidak berhenti menjadi acuan bagi tari gaya Yogya, tetapi derivatnya menjadi sesuatu yang bisa diimplemantasikan dalam kehidupan sehari-hari di bidang apapun. Makna dan nilai ora mingkuh, misalnya saja, yang gumelaremenjadi sakmangsa kapengkoking pancabaya ubayane datan mblenjani, niscaya menjadi nilai yang penting dalam kehidupan keseharian.
Demikian pula halnya dengan berbagai filosofi yang “mengonstruksi” kejogjaan: tugu golong-gilig, garis imajiner Utara-Selatan. Selaku gubernur, Sri Sultan HB X menyadari bahwa Yogya sebagai “taman sari dunia” nilai-nilainya hanya akan menjadi “wastra lungset ing sampiran” jika tidak diimplementasikan sesuai dengan perkembangan zaman “nuting jaman kalakone”, termasuk bagaimana Pendidikan Karakter dikelola dan dilaksanakan dengan berbasis budaya. Sebagai janma ingkang wus waspadeng semu,Sri Sultan HB X pun mengelolanya secara sinamun ing samudana, yang semuanya bermuara pada situasi sesadone adu manis.
Sebagai Gubernur DIY sekaligus Raja Kasultanan Yogyakarta, Ngarsa Dalemadalah janma ingkang wus waspadeng semu atau tidak menceritakan perbuatan baiknya dan samudanatidak banyak berbicara. Beliau sejatinya adalah sesadon ingadu manisatau sosok yang bijaksana namun selalu mawas diri tanpa berharap pujian.
Harapan
Melalui penganugerahan gelar ini, kami berharap pendidikan karakter dapat dikembangkan lebih jauh lagi. Pendidikan Khas Kejogjaan bisa ditularkan kepada para pengambil kebijakan lainnya sehingga jalan kebudayaan dapat terus dikembangkan. Melalui jalan kebudayaan, suatu bangsa akan mampu menghargai harkat dan martabat dirinya sekaligus menghargai perjalanan historis yang telah dilaluinya. Dengan kemampuan menghormati dan menghargai kebudayaan sendiri, suatu bangsa niscaya akan mampu mempertahankan diri tatkala bergaul dengan bangsa-bangsa lain secara egaliter.
Jalan kebudayaan adalah jalan untuk membangun karakter, sikap, mental, dan kesadaran. Melalui jalan ini suatu bangsa akan mampu melakukan restrospeksi dan rekonstruksi masa lalu demi kehidupan masa kini dan sebagai modal untuk bergerak maju demi pemetaan kehidupan masa depan yang dicita-citakan. Jalan kebudayaan merupakan jalan lintasgenerasi yang di dalamnya transmisi dan transformasi peradaban berlangsung dengan penuh kesadaran. Jalan kebudayaan memungkinkan proses pemberadaban tersebut tidak dipandang sebagai sekadar proses jangka pendek karena jangkauannya bersifat transhistoris.
Hubungan antara individu dan masyarakatnya merupakan hubungan yang resiprokal sehingga secara historis dan sistematis tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Individu-individu akan mampu membangun dan menjaga eksistensinya dalam masyarakat, dan sebaliknya, masyarakat tertentu terepresentasikan melalui individu-individu. Karenanya, eksistensi individual dan sosial itu pada dasarnya merupakan manifestasi yang simultan dan egaliter: di dalamnya terdapat interdependensi. Dalam konteks yang berbasis mutualitas inilah wacana pendidikan karakter berbasis budaya menjadi benar-benar tampak, dan penting untuk diimplementasikan. Mengapa?
Pertama, dalam keseluruhan dan keutuhannya, kebudayaan merupakan lahan dan habitat utama bagi tumbuhnya identitas dan kepribadian. Bersamaan dengannya, kebudayaan memerlukan upaya “perawatan” melalui pendidikan yakni pendidikan yang memberikan pencerahan terhadap pentingnya nilai budaya, baik dalam sifatnya yang preservatif maupun progresif.
Kedua, penyelenggaraan pendidikan tanpa wawasan budaya meniscayakan terasingnya individu yang terlibat di dalamnya dari nilai-nilai. Sementara itu, tanpa para pendukung yang sadar dan terdidik, fungsi kebudayaan sebagai sumber nilai lama kelamaan akan hilang.
Itulah pentingnya hubungan (baca: kesadaran) resiprokal, yang tanpanya, pendidikan sangat mungkin kehilangan hakikat fungsionalnya sebagai medium pembudayaan dan pemberadaban, dan dalam pandangan Foucauldian, ia pun bisa terjebak menjadi sarana penaklukan dan penguasaan yang sistematik. Sri Sultan HB X tidak menghendaki hal ini yang terjadi. Karena, jika itu yang terjadi, pendisiplinan dalam praksis pendidikan — terlebih lagi pendidikan karakter — baik yang menyangkut tubuh, pikiran, maupun emosi, hanya akan menyisakan formasi-formasi hierarkis kekuasaan, yang tidak lagi sanggup menjangkau keseluruhan yang mestinya dijangkau, termasuk gender dan kelas-kelas sosial. Pendidikan pun bisa jadi sangat elitis dan borjuis.
Itu pula sebabnya Sri Sultan HB X memosisikan budaya sebagai basis pengelolaan pendidikan karakter. Dan hal yang sama, hendak kami garis bawahi dan kumandangkan ke seluruh Indonesia lewat penganugerahan gelar ini. Bahwa kita sudah punya teladan dan contoh sukses Pendidikan Karakter dalam karya nyata Ngarsa Dalem.
No Responses