Menjelang Halte Terakhir

 PUISI

Menjelang Halte Terakhir

itu pelukan terakhir tepat pada pukul sembilan
kurang seperempat dan kita sama-sama menatap
wajah jam yang sejak semula memang menengok
ke arah kita berdua

kita tersadar oleh rel yang riuh dan suara
perempuan penanda kedatangan
“mungkin kita akan bertemu pada tahun kesekian
pada tanggal dan hari yang tak ditentukan”

mata siapa yang berkaca? tiada yang menjawab
rasa-rasanya matamu tidak kokoh
menahan ketukan dari dalam dan dari masa silam
yang semakin kencang

kau menitipkan surat dan meminta ketika kereta
sudah menginjakkan kakinya keluar dari Jakarta
agar dibaca dan dilipat kembali seperti semula
—surat yang hanya dimengerti oleh kita

itu pelukan terakhir dan tepat pada pukul
sembilan kurang seperempat, kuteriak
“duh aku nyaris telat!”

Yogyakarta, 2022

Padri

di Luhak Agam, seorang bibi tertikam
mata keponakan mengintai dari balik pintu
di halaman tidak kita temukan sabung ayam
dan gelanggang nyaris sepi setelah berhari-hari

ini serban penuh bercak darah, tuan!
darah seorang pemabuk yang kakinya terkilir
di tengah batang hari, genderang dinyalakan
—jerit perempuan dan petok ayam tidak beraturan

di Luhak Tanah Datar, kita melangkahkan kaki
ke belakang, betapa perkasa tangan kekuasaan

kampung ramai seketika, jeritan demi jeritan
saling susul-menyusul—seorang bibi yang
tertikam mayatnya nyaris tak diapa-apakan
“kita beda paham, paman!”

Yogyakarta, 2022

No Responses

Comments are closed.