Menjelang Halte Terakhir
itu pelukan terakhir tepat pada pukul sembilan
kurang seperempat dan kita sama-sama menatap
wajah jam yang sejak semula memang menengok
ke arah kita berdua
kita tersadar oleh rel yang riuh dan suara
perempuan penanda kedatangan
“mungkin kita akan bertemu pada tahun kesekian
pada tanggal dan hari yang tak ditentukan”
mata siapa yang berkaca? tiada yang menjawab
rasa-rasanya matamu tidak kokoh
menahan ketukan dari dalam dan dari masa silam
yang semakin kencang
kau menitipkan surat dan meminta ketika kereta
sudah menginjakkan kakinya keluar dari Jakarta
agar dibaca dan dilipat kembali seperti semula
—surat yang hanya dimengerti oleh kita
itu pelukan terakhir dan tepat pada pukul
sembilan kurang seperempat, kuteriak
“duh aku nyaris telat!”
Yogyakarta, 2022
Padri
di Luhak Agam, seorang bibi tertikam
mata keponakan mengintai dari balik pintu
di halaman tidak kita temukan sabung ayam
dan gelanggang nyaris sepi setelah berhari-hari
ini serban penuh bercak darah, tuan!
darah seorang pemabuk yang kakinya terkilir
di tengah batang hari, genderang dinyalakan
—jerit perempuan dan petok ayam tidak beraturan
di Luhak Tanah Datar, kita melangkahkan kaki
ke belakang, betapa perkasa tangan kekuasaan
kampung ramai seketika, jeritan demi jeritan
saling susul-menyusul—seorang bibi yang
tertikam mayatnya nyaris tak diapa-apakan
“kita beda paham, paman!”
Yogyakarta, 2022
No Responses