Kesibukan mengajar, mengoreksi pekerjaan mahasiswa, dan kegiatan lain menjadi tantangan tersendiri bagi banyak dosen saat tuntutan untuk menulis artikel ilmiah semakin gencar. Manajemen waktu yang baik diperlukan untuk mengatasi hal itu.
Tantangan menulis jurnal dirasa menjadi arena yang tak lagi menegangkan. Terlebih bagi mereka yang pernah merasakan atmosfer perkuliahan di luar negeri. Menulis menjadi rutinitas yang tak terelakkan. Dengan kondisi demikian, kewajiban menulis bukan lagi menjadi halangan.
Hal lain yang masih menjadi tantangan adalah membudayakan menulis itu sendiri. Koordinator jurnal Pascasarjana UNY Ashadi mengungkapkan hal tersebut. “Alhamdulillah temen-temen dosen yang muda sudah mulai ya. Misal pulang dari luar negeri lumayan (sering menulis.red). Artinya sudah mulai terbiasa dengan kondisi di sana. Dengan kewajiban menulis sudah bukan menjadi halangan. Ada tuntutan publikasi. Tapi memang membudayakan itu yang susah. Kita perlu pelan-pelan“ katanya.
Dirinya mendukung penuh langkah universitas dalam upaya peningkatkan jumlah jurnal yang terindeks Scopus. Sehingga perlu menurutnya upaya-upaya dalam mengatasi tantangan-tantangan menulis yang selama ini dianggap momok bagi sebagian besar dosen. “Makanya Pak Rektor sudah bersemangat untuk ke sana. Ya kami harus mendukung ke sana juga. Pak Rektor sudah mengarahkan kita untuk world ranking makanya seluruh elemen UNY harus allout ke sana. Termasuk dalam konferensi-konferensi hasilnya harus terpublikasi,” tuturnya.
Salah satu tantangan berat adalah masalah waktu. Ashadi melihat beberapa dosen melakukan kesalahan dengan mengubah laporan penelitian menjadi jurnal. Artinya, tidak ada target atau sasaran yang ditentukan sebelum menulis artikel ilmiah. Padahal artikel ilmiah dan laporan penelitian memiliki pola penulisan yang berbeda. Hal itu yang terkdang menjadikan proses penulisan jurnal berlangsung lama. “Jadi kesalahan utamanya ada teman dosen menulis tanpa target. Harusnya target dulu baru kita mulai menulis. Biasanya hanya laporan penelitian dijadikan jurnal. Nah proses merubah itu yang sulit,” keluhnya.
Membagi waktu antara mengajar dan riset merupakan tantangan lain. Menurutnya diperlukan komitmen tinggi untuk menyiasatinya. “Saya kira komitmen kita kok ya. Pekerjaan dosen itu tidak selesai di kantor. Jadi mulai minggu malam itu kita sudah mulai kerja. Mempersiapkan materi mahasiswa, mempersiapkan workshop, PPM, dll. Belum lagi kalau semester pendek. Kompleks, saya kira pengalaman menulis itu sangat penting. Saat kita mendapatkan hasil review yang sangat tajam. Sebenarnya itu masukan yang baik,” ungkapnya.
Menyisihkan waktu untuk riset menjadi cara yang dipilih ketua LPPM UNY, Suyanto. Menurutnya perlu adanya waktu yang cukup bagi para dosen untuk meneliti. Ada pembagian waktu yang baik antara mengajar dan melakukan penelitian. “Harus menyisihkan waktu. Kalau pekerjaan dasarnya terlalu banyak, jadi risetnya lemah. Misalnya ngajar terus. Beban dasarnya ya standarlah, biar bisa riset. Mengajar dan meneliti itu 9 SKS. Kalau ngajar sudah 20 SKS, tidak ada waktu untuk meneliti. Ngajar kan tidak hanya di kelas tapi harus juga menyiapkan dan lain sebagainya,” ungkapnya.
Di tempat lain, salah satu dosen Pendidikan Sosiologi, Adi Cilik menyiasati kendala waktu dengan kepekaan terhadap sesuatu yang berhubungan dengan tulisan, merekamnya kemudian mengolahnya menjadi tulisan. “Sesedikit mungkin kalo ada bahan tertentu kita bisa. Tapi intinya fokus. Kita bisa menulis dengan waktu yang tepat. Ada waktu-waktu tertentu saya merekamnya kemudian transkripkan ide-ide yang saya perlukan,” jelasnya.
Pengelolaan waktu yang baik pada akhirnya tentu akan membantu para peneliti untuk menyelesaikan kewajiban-kewajiban yang diembannya, antara menyampaikan ilmu kepada mahasiswa dan melakukan penelitian untuk dinikmati khalayak luas. Jika tidak, komunikasi akademik lewat tulisan artikel ilmiah akan menemui ajalnya.
No Responses