Andrew Dawis Founder Kaskus – Menyundul Peluang, Berbagi “Cendol”!

 Wawancara Khusus

Film Sundul Gan: The Story of Kaskus, telah mengisahkan bagaimana bilik-bilik asrama berdebu menjadi saksi Andrew Darwis bersama Ken Dean, meluangkan waktunya kala mengenyam pendidikan di Seattle University. Tugas kuliah itu dibuatnya sekadar iseng guna menjadi forum diskusi yang melampiaskan kerinduannya pada Nusantara. Namun kerja keras, hoki, serta berkah dari Tuhan dan kedua orang tuanya, menghantarkan Kaskus tak sekadar berhenti sebagai nilai A dalam manuskrip. Tapi juga menjadi salah satu forum diskusi dan jual beli daring terbesar negeri ini, yang menghadirkan manfaat serta peluang tak terbayangkan sebelumnya.

Kepada Redaktur Pewara Dinamika, Ilham Dary Athallah, Agan Andrew kemudian bercerita secara lebih detil di sela-sela Seminar Startup TOP Coffee Next Generation di Ruang Sidang Utama Universitas Negeri Yogyakarta (UNY). Tentang bagaimana kerja keras, hoki, serta berkah itu bermuara, sekaligus mengungapkan bagaimana potensi UNY sebagai kampus berlandaskan karakter ketaqwaan, kemandirian, dan kecendekiaan, guna menjadikan startup sebagai landasan pacu dalam mencerdaskan kehidupan bangsa lewat setiap civitasnya. Atau dalam istilah Andrew, menyundul peluang dan kesempatan yang lebih tinggi lewat Startup agar bisa berbagi “cendol” lebih banyak.

Dalam beberapa kesempatan maupun di film, anda kerap menyebutkan bahwa Kaskus ada karena hoki. Bagaimana bisa?

Ya bagaimana tidak hoki, wong awalnya gue berkuliah di Seattle itu juga karena dibujuk oleh sahabat-sahabat gue, dan karena dipinjami uang oleh paman yang berprofesi sebagai pedagang mabel. Waktu itu gue statusnya sudah kuliah, di Binus (Bina Nusantara). Tapi gue tergiur dengan Seattle. Alasannya, karena dekat dengan kantor Bill Gates (Microsoft) dan Jeff Bazos (Amazon), dan disana ada internet cepat serta gratis. Jelas gue kepingin, sehingga gue yakin bahwa ada sepercik hoki yang datang dari dua sosok orang terkaya di dunia itu, kepada gue sebagai mahasiswa. Hingga dari situ, gue membuat Kaskus sebagai situs web komunitas waktu deadline tanggal akhir pengumpulan tugas.

Walaupun, bertatap muka dengan keduanya (Bill Gates dan Jeff Bazos), pun aku belum pernah. Tapi kalau gue tidak sempat ke Seattle, tidak akan dapat ide dari deadline seperti ini kan. Termasuk bantuan dari sahabat-sahabat yang gue temui di rantau untuk sama-sama mengembangkan Kaskus. Itulah yang gue sebut bahwa hoki berperan disini.

Tapi apakah hoki semata yang berperan disini?

Tentu tidak, jangan diputar balik kata-kata gue ya. Hoki berperan, tapi kerja keras juga jadi tugas kita. Gue tidak akan ketemu dan sampai berpikir berkongsi dengan Ken (CEO Kaskus, yang juga saudara Andrew), untuk mengembangkan Kaskus lagi, kalau gue gak sempet jadi pengiris tomat dan kasir di restoran cepat saji. Waktu itu gue mahasiswa bokek (berkantong tipis), jadi perlu kerja part-time (paruh waktu). Tanpa kerja keras kita semua untuk dulu mengembangkan Kaskus, termasuk doa dan dukungan dari orang tua serta semua orang tersayang, hoki itu tidak akan tereksekusi.

Lalu dari sudut pandang Gan Andrew, bagaimana mahasiswa selayaknya bersikap dengan peluang yang ditawarkan startup?

Sikap mahasiswa, dan sikap kita anak muda, gue kira selayaknya sama terhadap apapun peluang yang tersaji di atas meja kita. Startup itu kan perkara zaman saja, ia saat ini menjadi peluang dan kesempatan yang besar dan menunggu kita sebagai anak muda untuk menyundulnya. Kalau sudah disundul, kita petik, kita bisa dapat berkah dan rezeki. Istilah Kaskus-nya, dapat cendol (reputasi positif dalam forum tersebut). Cendol yang bisa menyejahterakan kita, dan bermanfaat bagi orang lain.

Tapi lagi-lagi, startup itu kan entitasnya saja. Karakter yang ada dalam jiwa, dan sikap mahasiswa, selayaknya tak boleh terganti. Apapun yang sedang dihadapi mahasiswa, mereka harus selalu lebih berani dan mendewasakan diri dengan pengalaman seiring waktu. Jangan pernah patah semangat, dan kalau ada ide langsung dijalanin.

Juga, jangan pernah dipendam dan jangan pernah takut! Intinya tekad harus ada dan segera eksekusi, karena di era startup dan digitalisasi yang sangat cepat ini, tiada ampun bagi mereka yang pemalas dan peragu. Tidak siap berkompetisi, maka digilas. Kebetulan momentumnya, dengan perusahaan-perusahaan terbesar di dunia kini mulai digeser dan diisi perusahaan teknologi berbasis daring dan big data, dunia digital sekarang jadi ladang kompetisi kita.

Kalau dalam konteks Universitas Negeri Yogyakarta sebagai kampus kependidikan di kota pelajar, bagaimana Gan Andrew memandang potensi yang kita miliki untuk merintis startup?

 

Inspirasi dan sumber hoki, kalau kita bahas yang awal tadi, jelas sudah banyak tersedia disini. Jogja ini begitu luas peluang di bidang kesenian, pariwisata, dan kultural yang menghadirkan potensi tersembunyi. Suasana Jogja saja sudah dirindukan sejak zaman lampau seperti dinyanyikan sama Katon Bagaskara (Kla Project). Apalagi dengan adanya era digital yang sudah menggebu-gebu seperti saat ini, startup bercorak Yogya dan bernafaskan kearifan lokal sungguhlah sangat dinanti.

Dan jangan dikira startup ini hanya dominasi milik kota besar atau negara maju. Gue tahu sendiri bagaimana banyak Startup saat ini memilih Yogyakarta, termasuk juga Bali, sebagai tempatnya beroperasi. Biaya hidup disini sangat murah dan kualitas lingkungan cukup baik. Programmer dari Jogja itu juga luar biasa potensinya. Kalau boleh gue akui, salah satu yang terbaik di negeri ini. Kita punya juga (di Kaskus), programmer asal Jogja. Orang Jogja itu ulet dan berkarakter, dan sikap seperti itu selalu dibutuhkan lintas zaman dalam tantangan apapun.

Apalagi, layaknya tadi disebutkan, UNY ini kan IKIP. Kampus guru. Bahkan telah melahirkan pahlawan nasional yang dulu membela tegaknya NKRI (Prof. Lafran Pane, Dekan FKIS UNY). Itu kurang inspirasi apa. Upaya kita mencerdaskan kehidupan bangsa butuh dobrakan startup dan nuansa teknologi untuk mengejar ketinggalan. Sehingga apa yang ada di UNY ini sudah siap tinggal landas saja. Kamu punya dasarnya. Kamu punya semangatnya. Kamu punya inspirasi dan hokinya. Tinggal kerja keras dan gali ilmunya!

Apa yang kemudian dapat dilakukan sivitas UNY untuk menindaklanjuti potensi tersebut?

Nah, namanya bisnis, kerap ada idealisme yang harus sedikit dikorbankan. Bukan berarti menghilang, tapi apa yang kita produksi harus mendengarkan akar rumput. Apa yang mereka butuhkan, kita sediakan. Sama seperti anak KKN, kalau kamu membawa program sendiri, padahal warga tidak butuh, sulit juga kan?

Mata kuliah kewirausahaan, dan inkubasi pendanaan dan pembinaan wirausaha, juga kemudian jadi penting. Berwirausaha ini memang soal karakter dan tahan banting. Tapi juga harus didampingi ilmu dan manajemen keuangan yang baik. Serta pendekatan psikologis, misalnya bagaimana memahami karakter kustomer, apa yang mereka sukai, dan bagaimana menghadirkan apa yang mereka sukai. Karena pelanggan itu susah yang loyal. Kalau ada yang lebih bagus, kita gagal mendengar mereka, ya mereka bakal pindah.

Intinya peluang sudah ada di kampus ini. Karakter juga sudah ada. Tinggal semangat sundul gan!

Author: 

Mahasiswa Universitas Gadjah Mada. Semua tulisan di laman pewaradinamikauny.com, telah diterbitkan di Majalah Pewara Dinamika, Universitas Negeri Yogyakarta. Untuk membaca versi lengkap dari setiap artikel dengan gambar ilustrasi dan infografis, baca versi (.pdf) majalah yang bisa diakses dan diunduh melalui bilah menu "Download Majalah".

No Responses

Comments are closed.