Merajut SImpul Kekayaan Negeri, Merangkai Kebhinekaan

 LAPORAN UTAMA

Penyegaran Humas Rektorat, Fakultas, Tim Pewara Dinamika UNY

Berpendapat bahwa Bromo tak lagi seindah apa yang dulu digemborkan banyak, tentu sah-sah saja. Boleh jadi, padatnya wisatawan lengkap dengan kendaraan jip sewa maupun pribadi, membuat kemacetan yang menyebalkan. Fasilitas umum yang tersedia pun begitu minim dan terbatas. Membuat para pengunjung yang hendak buang hajat, tak habis pikir dengan biaya empat ribu dan antrean mengular yang harus ditempuhnya untuk menuntaskan kewajibannya tersebut.

Tapi Bromo, tetap punya keindahannya sendiri yang senantiasa melekat di hati siapa pun yang mengunjunginya. Di sanalah, Rara Anteng berhasil menambatkan hatinya dalam pelukan  sang lelaki perkasa bernama Joko Seger.

Di sana pula kami semua; Humas Rektorat, staf Humas fakultas, dan tim Pewara Dinamika UNY, menambatkan hatinya untuk sejenak pada mentari Bromo.

Tepat ketika matahari mulai terbit di ufuk timur, yang dengan malu-malu menampakkan dirinya dari balik persembunyiannya. Meninggalkan kami bersama masyarakat Indonesia yang hadir pagi itu di Puncak Pananjakan, berdecak kagum juga berucap syukur.

Perjalanan itu menjadi destinasi pertama kami dalam menjelajahi keindahan negeri. Dalam upaya merajut simpul kebinekaan, yang coba dirangkai dengan memandang dan memahami betapa kayanya Indonesia Raya.

 

Menghaturkan Doa, Memetik Persahabatan

Di atas bus yang sedang melaju dan mencoba memecah kepadatan Jalan Solo, doa memulai perjalanan dipimpin oleh Dr. Anwar Efendi, Kepala Kantor Humas Promosi dan Protokol UNY. Berharap bahwa perjalanan ini, selain dapat meningkatkan ikatan serta semangat seluruh staf dalam mengabdi pada kampus, juga dapat menghantarkan seluruh rombongan selamat sampai tujuan dalam asanya menyaksikan kekayaan negeri. Perjalanan yang dimulai sekitar pukul tiga siang pada Jum’at (11/08/2017) itu, kemudian sempat berhenti beberapa kali di Sragen serta Ngawi, untuk menunaikan salat lima waktu.

Kami yang tengah terlelap di tengah gelapnya sekeliling jalan, akhirnya terbangun dengan sendirinya seiring menyalanya lampu bus. Menandakan bahwa bus telah terparkir di Terminal Sukapura pada pukul tiga tepat, untuk kemudian berpindah menuju mobil jip yang akan mengantarkannya ke tepi Puncak Pananjakan.

Rombongan yang terdiri atas 21 orang itu, kemudian dibagi menjadi empat mobil jip. Masing-masing dengan warna yang berbeda. Di dalam mobil Toyota FJ itulah, kami diombang-ambingkan di medan berkelok nan menanjak tajam sepanjang dua puluhan kilometer. Walaupun begitu tak nyamannya bagi para penumpang di dalam mobil, toh beberapa diantara kami masih sempat terlelap karena begitu lelah.

Satu setengah jam kemudian, jip memilih untuk menepi di tengah kemacetan pananjakan. Membiarkan kami berjalan sendiri tak begitu jauh, menapaki tanah untuk menyaksikan terbitnya sang mentari. Suasana yang tak begitu dingin hari itu, tercermin dari penjaja kopi hangat dan api unggun di sekitar lokasi yang tak begitu menuai pundi rupiah. Juga dari beberapa di antara kami maupun pengunjung lain, yang memutuskan menanggalkan jaketnya. Membiarkan hembusan angin sejuk merasuk sanubari yang sempat lelah berdesakan dengan pengunjung lain, ketika menyaksikan kekayaan negeri pertama yang kami kunjungi.

Warung kecil di bawah pananjakan, kemudian menjadi tempat persinggahan kami sejenak. Menunggu terurainya kemacetan, sembari sesekali menyeruput kopi hangat dan mi instan. Untuk kemudian melanjutkan perjalanan ke Pasir Berbisik, Sabana luas, dan Bukit Teletubies. Termasuk, beberapa di antara kami yang memutuskan mendaki kawah. Juga naik kuda untuk menjelajahi Bromo, ataupun berbelanja oleh-oleh khas. Seraya menuntaskan pemahaman atas kekayaan nusa, sembari satu dua kali mengambil gambar.

Dalam perjalanan saya menuju ke kawah, bersama dengan Rony K. Pratama yang juga Redaktur Pewara Dinamika, kami menemui Ibu Sumiyatun. Seorang wanita usia 48 tahun yang berkisah dengan kegembiraannya mengantarkan turis Prancis mengenalkan Bromo dan Indonesia. Kegembiraan dan semangatnya dalam bercerita sekaligus menasihati kami yang lebih muda ini, kemudian semakin berkobar ketika kami memperkenalkan diri dan berkisah tentang asal muasal. Bahwa kami berasal dari UNY, sekolah yang sama tempat sang ibu mengenyam bangku kuliah 20-an tahun lalu.

Sumiyatun masih ingat betul, bagaimana hari-harinya di salah satu gedung Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni IKIP Yogya. Prodi itu diambilnya dengan alasan tergiur temannya yang menjadi pemandu wisata para turis. Dan dapat menggaet salah satu di antaranya menjadi jodoh, dari mereka yang silih berganti datang dari Prancis, Kanada, dan Swiss. Untuk berkeliling Yogyakarta, dan juga mengagumi betapa kayanya Indonesia.

Tapi ketika datang di Jurusan Bahasa Prancis, ternyata mempelajarinya tak semudah yang ia bayangkan. Satu dua kali, ia harus menerima teguran dari Madam Sukirah Kustaryo karena tak lekas benar membaca pronounciation. Namun, tanpa teguran itu, Sumiyatun yakin belajarnya takkan lebih giat dan bersemangat. Sehingga dapat mengantarkannya menjadi pemandu wisata di Gunung Bromo, walaupun harus melupakan cita-citanya berjodoh dengan turis layaknya yang dilakoni sang kawan.

Belum sempat pertanyaan lebih jauh tentang apa pun terlontar. Ketika kata itu hendak terucap sembari meminta nomor telepon genggamnya, ia telah sibuk bercakap lagi dengan turis asuhannya yang terlihat bingung dan cemas. Sehingga kami semua sama-sama mengakhiri percakapan bersahabat yang baru berlangsung cukup singkat itu, tanpa sempat mengucap salam perpisahan.

Tapi, ia sempat berpesan bahwa pemandu bahasa Prancis masih sangat dibutuhkan karena suplainya terbatas. Tidak semua turis maupun biro wisata dari Prancis, bersedia berbahasa Inggris. Seraya berpesan bahwa para mahasiswa UNY dapat mencontoh mahasiswa Bahasa Prancis Unej dan Unibraw. Yang kerap mengisi waktu liburannya, dengan menjadi penerjemah serta tour guide bagi para wisatawan mancanegara.

Persahabatan kemudian terus terjalin dengan banyak orang, di sepanjang perjalanan menuju Madura. Sempat berhenti di rumah makan sekitaran Ponorogo, pramusaji makanan serta marbot masjid menjadi jujugan kami untuk saling bertukar kisah. Termasuk, pedagang siomay dan penjaja oleh-oleh yang kami temui ketika menepi di pinggir Jembatan Suramadu. Setelah berdecak kagum atas mahakarya infrastuktur negeri ini, dan sempat merekam dengan telepon genggam sepanjang bis melewati jembatan terpanjang di Indonesia itu.

Tepat ketika senja mulai menghampiri dan menenggelamkan sang surya, bus tengah melaju di tengah kemacetan Surabaya. Dalam perjalanannya menuju ke Madiun, untuk sejenak mampir di rumah keluarga besar Pak Anwar. Menyantap hidangan yang telah disiapkan dengan hati, sembari saling bercerita tentang kebinekaan yang telah masing-masing kami coba simpulkan. Kami bawa pulang sebagai kenangan atas anugerah terindah dari Yang Maha Kuasa, sekaligus harapan untuk kami turut serta dalam mempertahankan kekayaan yang begitu beraneka ragam tersebut dengan bingkai NKRI.

Setidaknya, lewat berkarya dan bertugas dengan sebaik-baiknya dalam masing-masing amanah yang kami emban di UNY.

 

 

 

 

 

 

No Responses

Comments are closed.