Merdeka Belajar Mulai Dari Kampus

 LAPORAN UTAMA

Merdeka Belajar mulai Dari Kampus

Oleh: Prof. Dr. Sutrisna Wibawa, M.Pd.

 

Setelah ditunggu publik, akhirnya dalam Taklimat Media, Rabu (11/12) Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Nadiem Anwar Makarim mengumumkan empat program kebijakan strategis pendidikan yang dinamai “Merdeka Belajar”. Pertama, Ujian Sekolah Berstandar Nasional (USBN). Prinsip dari kebijakan ini adalah sekolah memiliki kemerdekaan untuk menilai kompetensi siswa secara komprehensif dalam bentuk tes tertulis, penilaian portofolio dan penugasan (esai, karya tulis, ataupun projek). Guru juga diberi kemerdekaan untuk menentukan sumber soal ujian sekolah, apakah dibuat sendiri ataupun sumber lainnya.

 

Kedua, Ujian Nasional (UN). Tahun 2020 merupakan akhir dari pelaksanaan UN dan tahun 2021 diubah menjadi Asesmen Kompetensi Minimum dan Survei Karakter. Menariknya, pelaksaan Asesmen diselenggarakan di tengah jenjang sekolah (misal kelas 4,8,11). Hasilnya tidak digunakan untuk seleksi siswa ke jenjang berikutnya. Ia hanya dijadikan instrumen pemetaan kualitas pendidikan secara nasional, sekaligus mendorong guru untuk memperbaiki mutu pendidikan di sekolahnya masing-masing.

 

Ketiga, Rencana Pelaksaan Pembelajaran (RPP). Guru cukup menulis 1 halaman terkait tiga komponen inti RPP sehingga guru memiliki lebih banyak waktu untuk mempersiapkan dan mengevaluasi proses pembelajaran itu sendiri.  Dan Keempat, Peraturan Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) sistem Zonasi. Kebijakan ini akan dibuat lebih fleksibel untuk mengakomodasi ketimpangan akses dan kualitas di berbagai daerah, dengan jalur prestasi antara 0-30 persen disesuaikan dengan kondisi daerah. Daerah berwenang menentukan proporsi final dan menetapkan wilayah zonasi.

 

Dilengkapi dengan “Kampus Merdeka”

 

Keempat kebijakan tersebut membawa tanggapan positif dari masyarakat, politisi, pemerhati dan praktisi pendidikan, terutama terkait UN. Meski begitu penghapusan UN juga mendapat kritikan dari berbagai kalangan termasuk mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla, yang menganggap ketiadaan UN yang menghasilkan generasi yang lembek.

 

Benarkah begitu? Tentu perlu riset untuk menyimpulkan demikian. Namun kritikan JK dan gebrakan Mas Menteri sesungguhnya memiliki titik kesamaan bagaimana kualitas pendidikan Indonesia terus membaik melalui, salah satunya, sistem evaluasi (apapun namanya) yang diselenggarakan oleh negara sebagaimana amanat UU Sisdiknas. Jadi tak perlu bentur-dibenturkan, terlebih bagi Asesmen Kompetensi Minimum dan Survai Karakter akan mengacu pada praktik penyelenggaraan PISA dan TIMSS (Trends in International Mathematics and Science Study).

 

Kita perlu menunggu secara teknis metode penyelenggaraan asesmen tersebut. Perguruan tinggi (PT) memiliki tanggung jawab memberi masukkan sehingga program tersebut (termasuk 3 Program Merdeka Belajar lainnya) betul-betul memberi dampak positif bagi peningkatan mutu pendidikan.

 

UNY Harus Ikut Mencerdaskan Kehidupan Bangsa

 

Memang kabar tentang penurunnya mutu pendidikan Indonesia yang mengacu pada hasil PISA 2018 membuat kita prihatin. Hasil PISA tersebut menunjukkan bahwa kemampuan literasi siswa Indonesia masih rendah. Studi PISA tidak hanya melaporkan capaian literasi setiap negara, namun juga informasi mengenai aspek demografi, kebiasaan, persepsi, serta aspirasi yang diperoleh dari data respon angket sekolah dan siswa. Hasil ini perlu jadi acuan kita dalam memperbaiki diri.

 

Saat ini PT kembali menjadi bagian dari Kemdikbud. Itu artinya, kebijakan “Merdeka Belajar” juga menjadi bagian dari tanggung jawab PT terutama PT Kependidikan (LPTK) seperti UNY.

 

Sebagai produsen tenaga guru, LPTK harus berani mengubah kurikulumnya untuk menghasilkan guru-guru Penggerak dan Merdeka. Konsep Guru Merdeka dan Penggerak harus telah menjadi laboratorium di kelas-kelas mahasiswa pendidikan oleh dosen-dosen merdeka dan penggerak. Kemitraan dengan Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan, Sekolah, PT, Masyarakat, Pemerintah Daerah, dan Swasta tentu tidak bisa diabaikan dalam mendukung kebijakan Mas Menteri. Dengan begitu apapun nama evaluasi pendidikan ke depan, termasuk PISA, insya allah mutu pendidikan Indonesia meningkat. Semoga!

 

 

 

 

 

 

 

 

No Responses

Comments are closed.