Nadiem Makarim Membuka Gerbang Milenial
Darah muda bisa dimanfaatkan sebaik mungkin. Mendikbud Nadiem Makarim menjadi bukti bagaimana dengan usia yang muda, pengabdian tetap mampu dipersembahkannya untuk bangsa
“Izinkan saya berbicara langsung kepada generasi muda negara ini,” kata Mendikbud mengawali pidatonya. Kalimat ini menjadi viral di jagat media Indonesia. Bagaimana tidak, yang berbicara adalah sesama generasi muda. Yaitu Nadiem Makarim, yang baru saja dilantik sebagai menteri termuda di Kabinet Indonesia Maju, kepada khalayak milenial secara luas.
Kehadirannya dalam proses pemerintahan, ia sebutuntuk mewakili generasi milenial ke bawah. Menurut Mendikbud, kehadirannya membuka berbagai macam kesempatan untuk generasi berikutnya.
“Kawan-kawan pemuda, gerbang kita telah terbuka,” ujarnya dengan optimis. Tak jauh beda dengan optimisme yang dibawa para pendahulu bangsa kita, saat mendeklarasikan sumpah pemuda di tahun 1927.
Diragukan Tapi Tak Gentar
Karena tidak berlatarbelakang dunia pendidikan, sebagian orang meragukan kemampuan Nadiem Makarim dalam memimpin Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (kemendikbud) RI lima tahun ke depan. Asosiasi dirinya yang begitu kuat dengan Go-Jek membuat orang khawatir pendidikan difokuskan hanya pada aspek keterampilan.
Kekhawatiran ini tidak berlebihan. Suami Franka Franklin itu mengklaim (paling) tahu bisnis masa depan. Meskipun belum terlalu mengerti dunia pendidikan, dia orang yang belajar cepat sehingga merasa mampu menghubungkan luaran pendidikan dengan kebutuhan dunia kerja.
Nadiem tahu betul tentang hal itu. Ia mengakui, ada pihak-pihak yang mempertanyakan kemampuannya dengan tanggung jawab besar memimpin Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, termasuk dalam memenuhi ekspektasi masyarakat yang begitu tinggi.
“Waktulah yang akan menjawab. Tapi pada saat saya diberikan kesempatan dari Pak Presiden untuk membantu generasi berikutnya, saya tidak berpikir dua kali. Saya melangkah ke depan, apapun risikonya,” tegas Mendikbud dalam pidatonya di hadapan pejabat dan pegawai Kemendikbud.
Menurutnya, saat ini generasi muda Indonesia hidup dalam dunia yang bising karena banyak bisikan, godaan, dan pendapat. Di dalam kegaduhan tersebut sering sekali suara hati generasi muda terabaikan. Ia yakin pemuda Indonesia sadar di hatinya masing-masing, ke mana tujuan mereka ingin melangkah. Namun, kebisingan-kebisingan tersebut membuat generasi muda meragukan dirinya masing-masing, takut dipermalukan, takut dimusuhi, atau takut gagal. Ia pun memberikan motivasi kepada para pemuda.
“Kawan-kawan pemuda, satu-satunya kegagalan adalah kalau kita hanya diam di tempat. Dan satu-satunya kesuksesan adalah kalau kita terus melangkah ke depan. Kita mungkin tersandung-sandung, kita mungkin jatuh, tapi kita tidak akan tiba di tujuan hati kita kalau kita tidak melangkah bersama,” seru Mendikbud dalam pidatonya.
Ia juga mengimbau generasi muda agar tidak hanya menunggu dunia berubah, karena dunia ada di tangan pemuda. “Asal kita berani melangkah, kita tak akan pernah kalah,” tuturnya.
Penting untuk Hadapi Paradigma Pendidikan yang Berubah
Karena seratus hari pertama akan digunakan Nadiem untuk mendengar para ahli dan birokrat pendidikan, juga berbagai pemangku kepentingan, paradigma pendidikan seperti apa yang dibela masih sulit dipastikan. Hal ini disampaikan Yeremias Jena Etikawan di Opini Media Indonesia, Selasa (29/10)
Meski begitu, sebuah asumsi dapat dirumuskan berdasarkan kepingan pernyataan Mendikbud Nadiem di media massa. Sebagaimana karakter kaum milenial pada umumnya yang pragmatis, mendikbud seakan mengirim pesan bahwa pendidikan vokasional dan pendidikan universitas tidak perlu dipertajam pembedaannya. Dalam pendidikan kontemporer, keduanya harus berorientasi kerja.
Itulah sebenarnya preokupasi Mendikbud lima tahun ke depan. Dengan lulusan yang mencapai ratusan ribu setiap tahun, sekolah di era milenial dituntut memikirkan keterserapan tenaga kerja. Hal itu sejalan arahan Presiden Jokowi, bahwa setiap sektor dalam kementerian harus benar-benar memperhatikan pembukaan lapangan kerja.
Sebagai orang yang mengaku sangat mengerti masa depan, Nadiem pasti tahu bahwa keterserapan tenaga kerja tidak bisa dibebankan hanya pada institusi dan/atau perusahaan pencipta lapangan pekerjaan. Jika kreativitas dan bisnis kreatif menjadi sifat utama dunia milenial, kreativitas penciptaan lapangan pekerjaan dapat disebut sebagai kunci keberhasilan seseorang seusai sekolah. Artinya, setiap peserta didik harus dimampukan untuk menciptakan lapangan pekerjaan.
Di sinilah kita mengerti mengapa Nadiem menganggap ilmu dan keterampilan statistika itu penting selain bahasa Inggris, pengodean (coding), dan psikologi. Dirumuskan secara sederhana, apapun ilmu dan pendidikannya, peserta didik harus terampil membaca dan memanfaatkan data (statistik), membaca, mengurai, dan mengodekan program dalam teknologi informasi (coding), mampu memengaruhi orang (psikologi), serta kefasihan berbahasa Inggris sebagai syarat mutlak untuk kerja sama dan berkompetisi dalam dunia global. Itulah profil kelulusan kaum milenial ke depan.
Penampang lulusan seperti itu dibutuhkan sekarang dan ke depan. Kesalinghubungan yang menjadi salah satu watak kaum milenial memungkinkan mereka berjejaring sejak bangku sekolah. Hal inilah yang memampukan mereka bekerja bersama-sama, mencoba jenis pekerjaan baru, dan menciptakan peluang usaha bersama. Bahkan, dengan siapa pun di seluruh dunia. Sekat ruang dan waktu diterobos.
Nadiem Tidak Sendiri
Generasi baru dengan cara pandang dan perilaku berbeda dari generasi sebelumnya mulai dipercaya menjadi pemimpin. Ia adalah generasi milenial, lahir antara Januari 1977 dan Desember 1997.
Nadiem bukanlah sosok satu-satunya. Demikian disebut Samsul Arifin selaku Direktur Konten Komunikonten di Detik.com, Rabu (13/10). Risa Santoso (27 tahun), misalnya, membuat sejarah baru Indonesia. Ia mencatatkan diri sebagai rektor termuda di Indonesia, dengan menjadi Rektor Institut Teknologi Bisnis Asia Malang. Sosoknya pun menjadi viral di media sosial.
Usut punya usut, generasi milenial yang menjadi rektor di sebuah universitas bukan kali ini saja. Sebelumnya, misalnya, ada Riki Saputra (36 tahun), Rektor Universitas Muhammadiyah Sumatera Barat periode 2019-2023.
Presiden Joko Widodo juga telah menunjuk salah satu generasi milenial ini menjadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud). Siapa lagi kalau bukan Nadiem Makarim (35 tahun). Ia mencatatkan diri sebagai menteri termuda di Indonesia.
Generasi ini juga mendapatkan amanah sebagai Kepala dan Wakil Kepala Daerah. Muhammad Nur Arifin (28 tahun), misalnya, menjadi Bupati Trenggalek, Jawa Timur periode 2019-2024. Ia pun tercatat sebagai bupati termuda di Indonesia.
Sementara itu, Emil Dardak (35 tahun) adalah Wakil Gubernur Jawa Timur termuda. Ia lebih muda dibanding tiga Wakil Gubernur dari tiga provinsi lainnya yang terpilih pada Pilkada Serentak 2018 lalu, meski sama-sama masuk usia milenial. Mereka adalah Chusnunia Chalim (37 tahun) dari Provinsi Lampung, Andi Sudirman Sulaiman (36 tahun) dari Sulawesi Selatan, dan Taj Yasin (36 tahun) dari Jawa Tengah.
Kursi DPR periode 2019-2024 juga diwarnai generasi milenial. Mereka adalah Hillary Brigitta Lasut (23 tahun) dari Partai NasDem, Muhammad Rahul (23 tahun) dari Partai Gerindra, Farah Puteri Nahlia (23 tahun) dari PAN, Rizki Aulia Rahman Natakusumah (24 tahun) dari Partai Demokrat, Adrian Jopie Paruntu (25 tahun) dari Partai Golkar, Marthen Douw (29 tahun) dari PKB, Rojih Ubab Maimoen (28 tahun) dari PPP, Paramitha Widya Kusuma (27 tahun) dari PDIP, dan lain-lain.
Keterpilihan generasi milenial di posisi strategis itu perlu kita apresiasi. Tidak mudah meraih posisi itu. Karena itu, hal ini menjadi pembuktian dan pertaruhan kepemimpinan generasi milenial. Terlebih, peran generasi milenial sebagai future leaders menjadi sangat krusial bagi bangsa Indonesia di masa depan.
Pemimpin milenial memiliki pendekatan yang khas. Digitalisasi memungkinkan mereka untuk tidak lagi bekerja dan bertindak secara konvensional. Mereka juga lebih memperhatikan hasil. Lembaga analis ekonomi dan bisnis, Price Waterhouse Cooper (2013) menilai, milenial tidak percaya produktivitas harus diukur dengan jumlah jam kerja di kantor, tetapi dengan output pekerjaan yang dilakukan.
Pemimpin milenial juga perlu mendorong inovasi dan kreativitas dalam lembaga yang dipimpinnya. Ini tak mengherankan, mengingat karakter generasi milenial kreatif dan cenderung berpikir out of the box. Buktinya, banyak tumbuh industri start up dan industri kreatif lain yang dimotori generasi ini. Kreativitas mereka ini juga tampak di media sosial, sehingga banyak di antara mereka menjadi content creator.
Generasi ini juga confidence. Mereka sangat percaya diri, berani mengemukakan pendapat. Mereka juga berani berdebat di media sosial tanpa memandang siapa lawan bicaranya. Connected juga menjadi karakter lain generasi milenial. Mereka pandai bersosialisasi, yang dilihat dari jejak mereka di banyak media sosial.
Tumbuh di era digital, generasi ini terbiasa mendapatkan tanggapan instan dan cepat. Generasi ini pun sangat menyukai segala sesuatu yang bisa diperoleh dengan mudah dan cepat. Budaya lama yang cenderung berbelit-belit tak cocok dan menjadi pemberat bagi generasi ini.
Generasi milenial sangat menghargai perbedaan, lebih memilih bekerja sama daripada menerima perintah dan sangat pragmatis ketika memecahkan persoalan (Lancaster dan Stillman, 2002). Tumbuh di era digital membuat mereka menginginkan kesetaraan.
Neil Howe dan William Strauss (2000) mengungkapkan, generasi milenial menjadi generasi yang peduli pada masalah-masalah sosial. Mereka bisa berkontribusi dan memperkuat lembaga-lembaga sipil dan negara.
Akhirnya, dengan kehadiran pemimpin milenial ini semoga mampu membawa perubahan dan kemajuan dalam berbagai sektor di Indonesia. Bukan tidak mungkin ini bisa terjadi jika mereka adalah generasi yang berkualitas. Bukan sebagai SDM usia produktif yang tak berkualitas sehingga menimbulkan banyak masalah, mulai dari pengangguran hingga tingkat kriminalitas yang tinggi.
No Responses