Guru dan siswa di Finlandia berjalan bersama membangun iklim belajar menyenangkan. Perempuan maupun laki-laki dianggap memiliki
keunikan masing-masing
Kualitas sekolah dasar menjadi penentu sukses tidaknya pendidikan secara global. Selama
hampir tiga dekade, Finlandia meletakan fondasi pendidikan nasionalnya melalui perbaikan pendidikan dasar. Sanni Grahn, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Finlandia, mengakui keberhasilan pendidikan di negeri yang dikenal sebagai Suomen Tasavalta itu. “Sekolah dasar sangat penting dalam reformasi pendidikan. Sebab di sana menentukan kuatlemahnya motivasi belajar ke jenjang berikutnya,” jelasnya, seperti dilansir Helsinki.fi.
Posisi Finlandia di antara pelbagai negara dunia masih unggul. Setelah Programme for International Student Assessment (PISA) mewartakan hasil penilaian matematika, membaca, dan sains, Finlandia masih menyabet peringkat sepuluh besar. PISA
menilai membaca siswa Finlandia di peringkat ke-4, sains urutan ke-5, dan 12 untuk matematika.
Ketercapaian tersebut cenderung menurun bila dibanding tahun 2006. “Sejak awal 2000-an, rangking Finlandia selalu di atas. Tapi sekarang justru merosot tajam,” tulis Kai-Ari Lundell, pemenang Teacher of the Year tahun 2013, pada Puheenvuoro.com. Realitas demikian menjadi pukulan Finlandia untuk mengatur strategi baru demi perbaikan di hari depan.
Finlandia masih diteladani sebagai negara yang sukses dalam melejitkan mutu pendidikan. Uniknya kualitas pendidikan Finlandia ditandai dengan unggulnya kompetensi
siswa perempuan ketimbang laki-laki. Hal tersebut tak sekadar dilihat dari skornya yang tinggi tapi juga kecakapan soft skill dan hard skill yang jempolan. Selain Finlandia, PISA juga mencatat negara-negara seperti Jordan, Qatar, Georgia, Tobago, United Arab Emirates, Albania, Macedonia, dan Albania sebagai negara yang memiliki kapabilitas 15 poin lebih tinggi daripada siswa laki-laki.
Bila kilas balik sepuluh tahun terakhir Finlandia telah menjunjung hak kesetaraan gender. Dalam hal kesempatan Finlandia tak pandang bulu: baik perempuan maupun
laki-laki, keduanya memiliki peluang seimbang., Elena Zozulya, aktivis Tech-Helsinki, menyatakan optimismenya ihwal kebebasan universal bagi perempuan untuk memperjuangkan hak pilih dan bekerja apa pun yang digandrunginya.
“Mayoritas kaum Hawa di Finlandia menyabet pendidikan tinggi,” tutur Jaana Pylvänen, wakil direktur TechHelsinki. Tak heran jika kualitas bekerja mereka diakui, baik oleh
perusahaan negeri maupun swasta. Dibanding negara-negara lain di kawasan Uni-Eropa, pekerja asal Finlandia acap kali dipilih lantaran etos kerja yang cekatan, terampil, dan tak gagap teknologi. Tiga pokok tersebut secara eksplisit telah ditanamkan sejak bangku sekolah dasar
Tanpa Rangking
Finlandia kerap meraih peringkat teratas tapi justru tak memasukan sistem rangking dalam pendidikan formal. Sistem ini dianggap menindas dan malah mengontraskan jurang di antara siswa. Pendidikan di Finlandia tak menghendaki pemisahan antara siswa “pintar” maupun “bodoh”. Keduanya diposisikan setara sehingga siswa tak merasa didiskriminasi hanya karena ia mendapatkan nilai buruk.
Bila terdapat siswa yang tertinggal secara pelajaran maka akan mendapatkan perlakuan khusus. Di sini peran guru sedemikian signifikan. Ia menangani siswa bukan dengan metode diskriminatif: memisahkannya dari kelas. Siswa itu tetap ditempatkan di kelas yang sama. Guru, sebagai pendidik, turut ambil andil melalui pendekatan kultural-personal. Ini karena guru mengetahui: kurang pandai bukan berarti bodoh tapi hanya perlu bimbingan khusus.
Pola pendidikan yang diterapkan di Finlandia cenderung mereduksi kesenjangan di antara siswa. Proses belajar-mengajar lebih menitikberatkan pada kolaborasi dari siswa, oleh siswa, dan untuk siswa. Guru bertugas sebagai subjek aktif yang berada di dalam sistem. Meski ia tak terlibat dominan. Siswa dibimbing sebagai pembelajar utama yang mandiri.
Terkadang, guru di sekolah dasar, mengajak siswanya untuk bersafari ke kelas lain melalui forum temusapa. Kegiatan ini mengajak siswa belajar bersosialisasi. Siswa diajak
berkenalan demi mengetahui kerabat antarkelas. Guru sering kali menugasi mereka proyek bersama sehingga hasil pekerjaannya bersifat kolektif. Akibatnya siswa di Finlandia—khususnya di sekolah dasar—mampu menghasilkan kreativitas yang dibuat bersama. Di sini penilaian bukan dilihat dari siapa yang terbaik, namun sejauh
mana mereka bekerja dalam bentuk kelompok.
Istirahat Sejenak
Tak dinyana pendidikan di Finlandia juga mengurusi waktu istirahat siswa. Bila konsep istirahat di negara lain ditentukan oleh jadwal maka di Finlandia begitu unik: waktu istirahat diserahkan sepenuhnya kepada siswa. Siswa boleh memilih kapan akan istirahat. Jika ia letih atau bosan dianjurkan untuk istirahat. Guru membuka peluang
siswa untuk melakukan kegiatan lain. Kelas menggambar dan olah raga biasanya dipilih siswa karena dapat menjernihkan pikiran atau mereduksi kebosanan.
Kebijakan tersebut sangat unik. Guru tak cenderung “menekan” siswa untuk harus mengikuti pelajarannya sampai selesai. Ia tahu kondisi psikologi siswa: apabila semakin ditekan, bukan transfer ilmu yang akan didapatkan, melainkan justru penolakan, bahkan
bisa sampai ke pemberontakan. Cara tersebut relatif efektif sehingga siswa di Finlandia tak merasa “terpenjara di kelas”. Dampak dari kebijakan ini sekolah menjadi tempat menyenangkan bagi siswa.
Atmosfer pendidikan di Finlandia tersebut senada dengan pendapat Anthony D. Pellegrini. Penulis Recess: Its Role in Education and Development itu menandaskan siswa yang kurang atau ditunda waktu istirahat akan menurunkan daya konsentrasi saat mengikuti
pelajaran. “Persoalannya bukan berapa lama siswa istirahat. Tapi bagaimana ia menikmati istirahat,” jelasnya.
Siswa istirahat tak berarti meninggalkan kegiatan belajar. Justru ia bisa mengembangkan
kompetensi sosialnya. Siswa dapat berinteraksi dengan sahabat lain melalui kegiatan yang disenanginya. Wajar kalau istirahat sama artinya dengan belajar—meski ia berada di
luar kelas.
Cairnya pendidikan Finlandia membuktikan betapa siswa dan guru menjalin hubungan yang setara dan harmonis. Guru tak diposisikan sebagai pihak yang “menuntut dan superior”, sementara siswa tak berada di sisi yang “ditekan dan inferior”. Keduanya saling mendukung dan menguatkan.
No Responses