Scopus eksis di lintasan waktu. Geliatnya bermula dari semangat renaisans ilmu pengetahuan di Eropa. Dulu diasingkan, kini dipuja di dunia akademik.
ASAP hitam pekat itu mengepul lewat cerobong-cerobong korosi. Akibatnya, pada pertengahan abad ke-19, langit Eropa berwarna gelap. Bau polusi itu membuat sesak para warga Anglo-Saxon. Tak peduli kawula atau keturunan darah biru. Semua sama di mata zaman industrialisasi yang sedang membahana itu.
Leiden, Belanda, tahun 1880. Tahun itu, Elsevier, rumah penerbitan terkemuka, didirikan untuk turut merayakan diskursus Abad Kebangkitan. Nama Elsevier diambilkan dari kakek buyutnya bernama Lodewijk Elzevir (1542-1617), pebisnis sukses yang pada 1580 turut bertanggung jawab terhadap distribusi buku-buku populer maupun ilmiah.
Kiprah Elsevier terus meroket hingga pertengahan 90-an. Mega perusahaan yang menyediakan referensi ilmiah lintas disiplin itu merupakan induk dari Scopus—pangkalan dan sitiran daring terkemuka saat ini. Selain Scopus, Elsevier memproduksi jurnal The Lancet dan Cell, Science Direct, serta Trends dan Current Opinion, baik cetak maupun elektronik.
Tod A. Carpenter dalam ulasan populernya bertajuk Plum Goes Orange: Elsevier Acquires Plum Analytics menyebut kiprah Elsevier dalam jagat akademik. “Perusahaan besar itu juga mempunyai produk barang dan jasa seputar penelitian, manjemen data, dan alat penilaian ilmiah,” tulisnya, seperti dikutip scholarlykitchen.sspnet.org.
Pangkalan Ilmiah
DI tanah air nama Elsevier kurang terdengar. Publik, khususnya di kalangan akademik, cenderung mengenal Scopus ketimbang Elsevier. Lima tahun terakhir, dunia perguruan tinggi, baik negeri maupun swasta, dibuat ketar-ketir oleh Scopus. Ia hadir bak menara gading yang sukar direngkuh. Tapi di balik kecemasan itu tersirat tantangan prestisius.
Tahun 1995 Scopus resmi berdiri. Dampaknya langsung menggema ke santero dunia. Hadirnya Scopus di dunia literasi ilmu pengetahuan turut menengahi konflik kepentingan di antara ilmuan. “Scopus didirikan atas inisiasi para masyarakat ilmiah dunia guna mengatur dan menyediakan bank pustaka yang independen dan transparan,” kata CSAB, seperti dilansir elsevier.com.
Karena lembaga mandiri, Scopus, dikelola oleh ilmuan dan pustakawan lintas disiplin. Mereka berada di bawah naungan Elsevier. Namun, dalam proses penyeleksian artikel ilmiah, akademikus papan atas yang bertanggung jawab. Ia berada di meja editor untuk mempertimbangkan apakah paper ilmuan itu layak dimuat atau ditolak. Di situ esensi eksklusivitasnya.
Scopus juga menyediakan kolom khusus. Data penulis, sitasi, jumlah publikasi, maupun afiliasi termuat lengkap guna kepentingan tegur-sapa ilmiah. Sekilas mirip LinkedIn—media sosial untuk mempromosikan diri seluas-luasnya. Perbedaannya terletak pada informasi primer yang disediakan: Scopus cenderung mengulas karya ilmiah, sedangkan LinkedIn penuh informasi personal.
Lembaga penelitian internasional, Resendeve, mengulas kontribusi Scopus bagi perkembangan ilmu pengetahuan dunia. “Pusat data ini memungkinkan peneliti dari seluruh dunia menyaksikan sejauh mana kajian keilmuan tertentu diteliti,” jelasnya. Tak dinyana bila seorang peneliti di suatu negara saling pantau-memantau hasil riset orang lain di belahan pulau lain.
Komunikasi antarperiset itu dianggap Resendeve krusial dan akan lekas memajukan disiplin ilmu tertentu. Melalui bejibun literatur yang dimuat Scopus, mahasiswa, misalnya, dapat melihat apakah penelitiannya telah atau sedang dilakukan orang lain. Bila sudah dilakukan, maka tak ada pilihan lain, kecuali mengeksplorasi kajian berbeda. “Jangan sampai ada penelitian ganda,” tambahnya.
Scopus bisa menilai artikel ilmiah yang berkualitas melalui data agregat. Informasi ini mampu menujukan pengaruh suatu jurnal (journal impact) dan institusi (institutional impact) dalam ranah publikasi ilmiah. Ini didasarkan atas relasi antara pengutipan satu dengan yang lain, baik diterbitkan institusi maupun jurnal independen.
Wilayah kajian yang terindeks Scopus meliputi empat kategori. Pertama, ilmu hayati seperti pertanian, biologi, ilmu syaraf/neurosains, dan farmakologi. Kedua, ilmu sosial mencakup seni dan humaniora, bisnis dan manajemen, sejarah, serta ilmu informasi.
Ketiga, ilmu fisik atau hitung seperti kimia, rekayasa, teknik, dan matematika. Keempat, ilmu kesehatan seperti paramedik, kedokteran gigi, keperawatan, dan kedokteran hewan. “Selain disiplin ilmu, Scopus menyediakan informasi ihwal hak-hak paten dunia,” pungkas Resendeve.
No Responses