Pembangunan Merekah, Komitmen Penghijauan Tetap Lanjut

 LAPORAN UTAMA

GGedung Proyek IDB ditargetkan menjulang megah paling lambat Agustus 2018. Tingkat tiga menjadi minimal jumlah lantai untuk gedung-gedung yang akan dibangun. Beberapa bahkan berlantai empat dan lima, dengan luas total bangunan 34.328 meter persegi. Memakan tapak kosong dan menggilas sebagian lahan hijau kampus Karangmalang, sembari menghancurkan sebagian gedung yang lebih kecil lainnya. Pertanyaannya adalah bagaimana komitmen untuk menjadikan UNY sebagai kampus hijau (green campus) tetap diwujudkan di tengah Project IDB UNY yang tidak memuat program penghijauan sama sekali.

Belum adanya program penghijauan tersebut diamini oleh Dr. Slamet Widodo, Ketua IDB Project Implementation Unit UNY. Program yang direncanakan sejak tahun 2006 dengan menggunakan dana dari bank Islam multilateral tersebut memang tidak memuat program penghijauan secara umum. Baik secara desain gedung, pemanfaatan energi, hingga pengolahan limbah, seluruhnya mengacu pada standar detail engineering design pada umumnya.

“Jadi memang kalau smart building dan lain lain belum. Program ini tidak ada program penghijauan secara umum. Tapi bukan berarti kita tidak ramah lingkungan. Ya ini bangunan biasa gitu saja,” ungkap Slamet.

Walaupun tidak memiliki program penghijauan secara spesifik, Slamet menegaskan bahwa hal tersebut tidak bisa diinterpretasikan bahwa proyek IDB ini tidak memperhatikan lingkungan. Secara regulasi dan prinsip, UNY sudah memiliki komitmen bahwa ketika pembangunan menebang setidaknya satu pohon, maka universitas wajib melakukan penanaman pohon di tempat lain. Dan dalam komitmen jangka panjang UNY, program penghijauan akan menjadi fokus utama universitas secara keseluruhan dalam upayanya menjaga lingkungan maupun mewujudkan diri sebagai World Class University.

“Dan itu komitmen kita. Satu pohon pun. Itu (penanaman kembali pohon) di peraturan daerah juga ada, dan kita mengacu pada peraturan-peraturan yang ada. Untuk program penghijauan, universitas tetap berkomitmen dan dijadikan program universitas secara umum. Kebetulan proyek IDB tidak memuat itu,” ujarnya.

Hal senada juga diungkapkan oleh Prof. Sutrisna Wibawa, Rektor UNY. Dikarenakan sifat dana IDB yang merupakan loan ataupun pinjaman yang dibebankan pada negara, maka UNY mencari titik temu dari prinsip yang telah ditelurkan oleh bank tersebut. Dalam perjanjian internasional, sifat saling menguntungkan memang penting agar hubungan antar pihak dapat terjalin lebih harmonis lagi.

“Dan semua standar kita itu menyesuaikan IDB. Standar lingkungan, standar pembangunan, standar difabel, termasuk standar perencanaan proyek. Misalnya saja dalam lelang pengadaan proyek ini. Kita mengadakan International Competitive Bidding sesuai standar IDB. Kita undang semua kontraktor sedunia untuk lelang, hingga akhirnya Waskita Karya muncul sebagai pemenang tender,” ungkap Sutrisna.

 

Lahan Terbuka Hijau Masih Dominan di UNY

Peraturan pemerintah yang menetapkan Koefisien Dasar Bangunan (KDB) suatu kampus, yang mewajibkan maksimal hanya 40% dari lahan kampus keseluruhan digunakan sebagai bangunan, juga masih dipenuhi oleh UNY. Secara statistik, UNY baru memiliki luas tapak bangunan sebesar 20-an% dari keseluruhan lahan. Keberadaan lapangan olahraga dan pepohon di ujung-ujung kampus menyokong hal ini. Dan penggunaan kembali lahan dari gedung lama yang dirobohkan untuk pembangunan gedung proyek IDB, juga menjaga rasio KDB tidak meningkat secara drastis.

“Dan bahkan dengan program IDB ini pun nanti hanya 27% saja KDB. UNY ini masih banyaklah ruang terbuka hijau, masih dalam batas aman. Dan secara program keseluruhan UNY komit untuk terus menghijaukan kampus,” ungkap Slamet.

Begitu pula dengan aturan Greenmetric yang dirumuskan Universitas Indonesia dan telah jamak jadi ukuran standar mengukur kampus hijau di penjuru dunia. UNY memang belum menggunakan standar yang terdiri atas pengaturan infrastuktur, penggunaan energi, pengolahan limbah, penggunaan air, manajemen transportasi, dan pengembangan pendidikan lingkungan sebagai acuan dalam proyek IDB. Tapi Slamet mengungapkan bahwa dirinya yakin bahwa standar tersebut sejalan dengan apa yang telah dijalankan UNY selama ini, serta beriringan dengan kewajiban lingkungan hidup yang telah ditetapkan oleh pemerintah

“Sepanjang ini saya dan kami di IDB lihatnya aturan pemerintah. Belum melihat Greenmetric. Tapi sejalan lah,” ungkap Slamet yakin.

Diwawancarai terpisah via sambungan telepon oleh reporter PEWARA DINAMIKA, Prof Riri Fitri Sari, Ketua dan Perumus UI Greenmetric, juga mengungkapkan bahwa standar greenmetric sedikit banyak memang sejalan dengan program penghijauan yang telah berjalan selama ini. Bahkan Prof Riri menyebutkan, pada dasarnya program penghijauan tak harus selalu dikaitkan dengan pembangunan berbiaya tinggi untuk mewujudkan infrastuktur ramah lingkungan dan sebagainya.

“Memang ketika kita membuat standar, di kepala kita itu kan seperti Stanford University. Ya luas, indah, besar, banyak tanaman di tengah-tengahnya. Standar-standar ditelurkan dari itu. Tapi kan infrastuktur itu hanya salah satu komponen. Ada juga aspek penggunaan energi, dan pendidikan, yang itu juga signifikan dalam penilaian,” ungkap Riri.

Riri mengambil contoh aspek pengembangan pendidikan yang berdasarkan standar greenmetric bernilai 18%. Standar ini bisa dipenuhi dengan aksi yang paling kecil laiknya kegiatan mahasiswa dan kesadaran sivitas akademika yang baik. Semisal kampanye tidak menggunakan botol plastik air minum dan melakukan kampanye membawa tumblr, penanaman pohon dan tidak memaku pohon, menggunakan kembali serta mendaur ulang bahan sampah, dan gerakan kesadaran lainnya. Begitu pula dengan kemauan para mahasiswa untuk meneliti tentang lingkungan hidup lewat PKM, maupun upaya para dosen dan peneliti kampus untuk mendalami studi tersebut dan mempublikasikannya hingga di jurnal internasional

Hal sederhana yang sama juga dapat ditempuh di bidang transportasi maupun energi. Karena standar Greenmetric UI juga mengalkulasi penggunaan kendaraan pribadi, emisi, serta jejak karbon sivitas suatu kampus, penyediaan transportasi publik layaknya bis kampus atau kendaraan ramah lingkungan layaknya sepeda bisa jadi langkah konkrit untuk memenuhi komitmen penghijauan. Mematikan lampu ataupun pendingin ruangan setelah tidak lagi digunakan, juga bisa jadi langkah konkrit yang dirasakan manfaatnya secara nyata oleh kampus dalam bentuk pengurangan tagihan listrik. Sekaligus, meningkatkan penilaian dalam standar greenmetric yang salah satunya juga memuat penggunaan energi.

“Jadi jangan mengeluh dulu. Banyak juga kampus dari Amerika Selatan yang mengeluh, ah itukan kampus pasti pendanaan masif. Harus gedungnya bersumber energi alternatif dan smart building, teknologi terkini, yang jadi heavy ke pendanaan. Padahal sebenarnya, green movement ini perlu dimaknai bukan sekadar pendanaan. Tapi yang penting bagaimana sivitas dan gerakannya untuk menghijaukan dan menjadi champion di bidangnya. Belum tentu juga banyak uang bisa hijau kalau tidak ada kemauan,” pungkas Riri.

No Responses

Comments are closed.