Zonasi meniscayakan peserta didik melanjutkan sekolah tanpa lagi didasarkan atas nilai numerik-akademik, tetapi diproyeksikan karena jarak tempat tinggal
Masyarakat di Indonesia sudah lama mengenal sekolah unggulan dan rendahan. Pandangan ini muncul di tengah keanekaragaman kualitas sekolah, baik sarana maupun prasarana, yang timpang sehingga tidak mengherankan kalau orang tua peserta didik cenderung menyekolahkan anaknya ke sekolah favorit. Situasi demikian dianggap lazim terjadi di kalangan orang tua dan siswa. Mereka mengehendaki layanan pembelajaran yang prima dan demi mendapat posisi itu persaingan dalam rangka merebut sekolah favorit seakan-akan dianggap lazim.
Problem sekolah favorit yang diperebutkan jamak peserta didik dari berbagai wilayah itu pada titik tertentu memunculkan masalah laten. Pertama, sekolah dengan stigma unggulan akan terus dicari dan dikontestasikan sebagai ruang perebutan. Kedua, sekolah berkualitas di bawah rata-rata sering kali mendapat peserta didik “kelas dua” yang semula tidak diterima di sekolah pilihan pertama. Dua hal tersebut makin menegaskan betapa pendidikan pada akhirnya menimbulkan friksi di satu sisi, sementara di sisi lain peserta didik sekaligus orang tua terjebak di kubangan dikotomis.
Masalah krusial mengenai pendidikan favorit dan rendahan itu seperti menjadi problem tahunan yang tidak kunjung usia menuai solusi praktis. Pemerintah akhirnya memberikan solusi penengah agar stigma dikotomis tersebut terhapuskan. Kebijakan pemerintah akhirnya meneken mekanisme Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) berbasis zonasi. Anggapan sekolah favorit yang banyak diperebutkan itu oleh pemerintah hendak dibongkar melalui demokratisasi peserta didik.
SOSIALISASI SISTEM ZONASI DARI MENDIKBUD.
Dengan zonasi peserta didik yang hendak mendaftarkan diri ke sekolah tidak lagi didasarkan lagi atas nilai numerik-akademik, tetapi diproyeksikan berdasarkan jarak tempat tinggal. Perebutan sekolah yang sebelumnya ditempuh sengit, oleh karena kebijakan PPDB berbasis zonasi itu, akhirnya diperlunak dengan variabel utama jarak rumah perserta didik dengan sekolah. Dengan demikian, kebijakan zonasi dari pemerintah ini meniscayakan peserta didik tidak menempuh jarak relatif jauh dengan sekolahnya.
Kebijakan pemerintah tentang PPDB tersebut secara implisit hendak mendekonstruksi sekolah unggulan dan rendahan. Sekolah yang sebelumnya dinyatakan jempolan di suatu daerah tidak lagi dimiliki oleh peserta didik yang unggul nilai akademiknya. Sekolah itu terbuka bagi peserta didik umum tanpa memandang angka di atas rata-rata sesuai standar yang sebelumnya ditentukan oleh kebijakan sekolah terkait. Hal terpenting, sekali lagi, adalah jarak sekolah, sehingga sekalipun peserta didik tidak memiliki nilai cukup, tetapi bila jarak rumahnya dengan sekolah berkait, maka besar kemungkinan ia akan diterima.
Secara yuridis, PPDB berbasis zonasi ini menginduk pada Surat Edaran Nomor 01 Tahun 2019 dan Nomor 420/2973/SJ. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Muhadjir Effendy dan Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tjahjo Kumolo adalah dua menteri yang berada di balik kebijakan tersebut. Surat edaran ini ditunjukkan kepada Kepala Daerah agar wilayah kepengurusannya menetapkan kebijakan PPDB berdasarkan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 51 Tahun 2018 sesuai kewenangan masing- masing.
Pada Permendikbud tersebut PPDB yang diterapkan Pemerintah Kabupaten/Kota untuk pendidikan dasar maupun Pemerintah Provinsi untuk pendidikan menengah dieksplanasikan kalau jalur PPDB memiliki tiga halauan: jalur zonasi yang paling sedikit penerimaannya sembilan puluh persen, jalur prestasi berjumlah lima persen, dan jalur perpindahan orang tua/ wali dengan kuantitas paling besar lima persen. Peraturan ini menghapuskan prasyarat nilai ujian nasional yang semula menjadi parameter PPDB. Langkah strategis demikian merupakan kesungguhan pemerintah dalam menyiapkan mekanisme pendaftaran sekolah sekaligus pemerbaikan kualitas pendidikan di Indonesia.
Kalau kilas balik tiga tahun sebelumnya, kebijakan PPDB berbasis zonasi ini telah diimplementasikan sejak tahun 2016. Tiap tahun ia mengalami perubahan dalam rangka memperbaiki secara konseptual dan praksis PPDB. Hal lain yang menjadi fondasi utama kenapa ia tetap diterapkan sebagai kebijakan nasional adalah PPDB berbasis zonasi memungkinkan pemerataan akses layanan dan kualitas pendidikan terpenuhi.
Pada konteks demikian, Muhadjir Effendy menegaskan, “Kita menggunakan zonasi mulai dari penerimaan siswa baru, terutama untuk memberikan akses yang setara, akses yang adil, kepada peserta didik tanpa melihat latar belakang kemampuan ataupun perbedaan status sosial ekonomi. Karena pada dasarnya anak bangsa memiliki hak yang sama. Karena itu, tidak boleh ada diskriminasi, hak ekslusif, kompetisi yang berlebihan untuk mendapatkan layanan pemerintah.” (Kemendikbud, 2019).
Praktik zonasi dalam PPDB sesungguhnya merupakan titik pijak utama untuk memperbaiki standar nasional pendidikan di Indonesia. Hal berikutnya usai kebijakan zonasi itu diterapkan, sesuai dengan orientasi Kemendikbud, selain sarana maupun prasarana, adalah peningkatan tentang standardisasi kurikulum, redistribusi guru, hingga pemerataan peserta didik. Kesemua itu akhirnya akan menentukan sejauh mana kualitas pendidikan di Indonesia ke depan.
Jika menengok ke lapangan, banyak lulusan guru yang enggan mengajar di sekolah kurang berkualitas. Mereka kalau ditanya kenapa alasannya: mendidik peserta didik yang cerdas lebih mudah ketimbang siswa yang di bawah rata-rata.
Pandangan seperti itu acap kali muncul di tengah krisis kepercayaan di antara tenaga pendidik itu sendiri. Padahal, pemerintah sendiri tidak memandang preferensi sekolah dalam persepktif hitam dan putih.
Bagi pemerintah, semua sekolah, baik kota maupun desa, memiliki kesempatan yang sama dan memiliki peluang setara dalam rangka menyukseskan pendidikan nasional.
Konsekuensi logis dari negara demokrasi memosisikan Indonesia agar terus memproduksi kebijakan yang setara tanpa memandang perbedaan preferensi. Itu kenapa persaingan memperebutkan sekolah pada kesempatan PPDB sesungguhnya tidak boleh dikompetisikan. Apalagi praktik di lapangan yang cenderung sekolah favorit didominasi kelompok atau golongan tertentu saja hendaknya didekonstruksi ulang. Hal itu semata- mata dalam rangka menyiapkan sekolah tanpa tebang pilih. Muhadjir Effendy menuebut sekolah sebagai layanan publik itu harus memiliki tugas aspek, yakni non-rivalry, non- excludable, dan non-discrimination.
Riset mengenai kebijakan pendidikan yang meliputi bagaimana konsep besar tentang PPDB berbasis zonasi dirumuskan sampai diterapkan di lapangan belum banyak diteliti. Apalagi wacana PPDB 2019/2020 yang baru saja selesai dirayakan di tiap provinsi di Indonesia masih menyisakan sisa-sisa selebrasi, baik pemerintah daerah, sekolah, orang tua, dan peserta didik.
No Responses