Perjuangan Tiada Putus: Kisah Guru di Pinggiran Desa Gunungkidul

 LAPORAN UTAMA

Perubahan merupakan suatu hal yang pasti dan semua orang bisa untuk melakukannya. Menjadi seorang pengajar di daerah pinggiran menjadi tantangan bagi para guru dalam mengupayakan sebuah perubahan. Kesenjangan dan letak geografis sulit dilepaskan dalam pembahasan sekolah pinggiran. Daerah Gunungkidul merupakan daerah perbukitan yang kondisi geografis penduduknya menyebar.

Gunungkidul merupakan daerah pegunungan kars yang secara geografis dikelilingi bukit dengan sistem pemukimannya yang menyebar pada bagian luar ibu kotanya. Sistem pemukiman yang menyebar ini menjadi sebuah kendala saat kebijakan zonasi pertama kali diterapkan. Masih banyak daerah yang berada di black zone meskipun daerah sekitarnya tidak ada fasilitas sekolah.

Sekolah dasar di Gunungkidul saat ini mengalami masa kritis. Target peserta didik masih menjadi persoalan pelik yang kerap dihadapi di beberapa sekolah. Penutupan sekolah menjadi mimpi buruk yang terus menghantui mereka. Belum lagi masalah fasilitas sekolah yang belum maksimal. Pengadaan barang di sekolah pinggiran jauh lebih sulit dilakukan mengingat kondisi sekolah yang jauh dari pusat kota, sehingga kurang mendapatkan atensi.

SDN Karangduwet 1 terletak di perbatasan Kapanewon Karangmojo dengan Ponjong. Lokasinya sebenarnya tidak begitu pinggiran untuk dikatakan pelosok. Hanya saja memang dari akses jalan raya memang sedikit masuk ke dalam. Bangunan satu lantai dengan luasnya yang tidak begitu luas ini membuat sekolah hanya mampu memiliki lahan kosong untuk lapangan upacara saja.

Raficha merupakan guru honorer yang mengajar di SDN Karangduwet 1. Raficha menjadi guru di SD ini sejak tahun 2014 sebagai guru kelas menempati posisi yang kosong. Setelah adanya peraturan mengenai guru harus selinear dengan yang diajarkan, maka Raficha berhenti menjadi guru kelas.

Sistem pemukiman yang menyebar ini menjadi sebuah kendala saat kebijakan zonasi pertama kali diterapkan.

“Mulai jadi guru dari 2014 sekitar bulan Januari. Jadi saya itu daftar. Kan di sini dulu kebetulan ada yang pensiun terus saya ya diterima. Karena ijazah saya PAI to, terus yang kosong kan guru kelas jadi terpaksa saya ngajar sebagai guru kelas. Jadi ya harus belajar lagi. Pada tahun 2019 kan sudah tidak boleh lintas jurusan, harus selinear, jadi saya menjadi guru PAI. Kebetulan guru PAI waktu itu diangkat jadi kepala sekolah.
Nah, saya kemudian menggantikan beliau,” terang Raficha.

Sembilan tahun mengabdi menjadi guru Raficha telah melalui beberapa kebijakan. Dari mulai KTSP, kurikulum 2013, hingga kurikulum merdeka. Perubahan dari guru kelas menjadi guru PAI tentunya memerlukan waktu untuk penyesuaian. Ia ikut menyaksikan perubahan SD Karangduwet 1 dari waktu ke waktu. Di sekolah ini tiap kelasnya hanya berisi kurang dari 13 siswa, bahkan ada yang hanya 3 siswa.

“Waktu pertama saya ke sini tu masih 70-an anak. Semakin lama semakin berkurang. Bukan karena sekolahnya yang ngga bagus, tapi karena lingkungannya tu ngga ada anaknya. Apalagi kalau yang jauh.
Sekolah ini kan agak masuk dari jalan raya,” jelas Raficha.

Kekurangan peserta didik tidak hanya dialami di SDN Karangduwet 1, melainkan di beberapa sekolah pinggiran yang ada di Gunungkidul. Permasalahan ini juga terjadi di daerah Kapanewon Rongkop. SDN Melikan juga mengalami hal yang sama. Setiap tahunnya jumlah peserta didik yang masuk bisa dalam jumlah satuan atau terkadang belasan.

Faktor demografi dan letak geografis sangat mempengaruhi permasalahan ini. Pada daerah yang jauh dari kota saat ini sangat sulit ditemukan anak-anak usia sekolah. Penduduk desa yang produktif lebih banyak yang memilih tinggal di daerah pusat kota. Hal ini membuat banyak sekolah di desa-desa yang tidak bisa mendapatkan murid dan akhirnya ditutup.

Primarita juga membagikan pengalamannya mengajar di SDN Karangduwet 1 selama 15 tahun. Bermula dari guru kelas yang mengajar bahasa Inggris, ia kemudian melanjutkan pendidikannya agar bisa selinear dengan bidang yang diampu dengan menggunakan beasiswa Kemendikbud. Beasiswa ini diberikan pada untuk wiyata bakti guru yang telah lama mengajar.

“Dulu kita digaji dari dana BOS dengan gaji Rp.50.000 perbulan yang kami rasa masih kurang. Kemudian mulai cukup saat sudah menjadi Rp.150.000,” tambah Primarita.

Meskipun demikian, hal ini tidak membuat mereka berhenti menjadi guru. Saat ditanya mengenai kendala yang dialami, Primarita dan Raficha berpendapat meski dari segi materi kurang, tapi mereka suka saat melihat para siswa belajar.

Pada daerah yang jauh dari kota saat ini sangat sulit ditemukan anak-anak usia sekolah. Penduduk desa yang produktif lebih banyak yang memilih tinggal di daerah pusat kota.

“Menyenangkan bertemu dengan siswa. Senangnya tu bukan sekedar materi. Mungkin dari materi memang sih kurang, tapi Insya Allah rezeki selalu ada,” tutur Raficha.

Wahyu Puspayani, guru SDN Melikan, juga sependapat dengan pernyataan Raficha.

“Kalau didasari mendidik anak dengan Ikhlas semua akan lancar. Walaupun guru honor tapi harus mengembangkan ilmu agar bermanfaat,” ujar Wahyu Puspayani guru SDN Melikan.

Primarita yang saat ini mengikuti Program PPG mengatakan bahwa dari tingkat kesejahteraan guru honorer saat ini sebenarnya sudah cukup baik daripada dulu. Ia juga mengungkapkan bahwa PPG dirasa mampu menambah tingkat kesejahteraan para guru lewat sertifikasi.

“…Kita nanti dapat sertifikat pendidik yang nantinya menambahkan kesejahteraan juga. Dan juga bisa membuat kita diakui keprofesionalan kita,” tambah Primarita.

Guru-guru dan calon guru saat ini berbondong-bondong mengikuti ujian masuk PPG. Raficha dan Wakyu
Puspayani merupakan salah satu contoh guru yang saat ini menunggu pemanggilan untuk lanjutan untuk
PPG.

No Responses

Comments are closed.